Dalam bukunya “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2” Ajahn Brahm memberikan banyak sekali pandangan-pandangan dan pelajaran-pelajaran tentang bagaimana memahami diri sendiri dan berinteraksi didalam kehidupan dengan cinta tanpa ego, damai tanpa syarat sehingga dapat menjadi pribadi yang bijak dengan memiliki hati bebas dan lepas dengan tidak memaksakan ancaman dogma keagamaan atau paksaan arogansi keimanan. Ketika menemukan tuturan-tuturan kalimat yang sederhana, apa adanya namun begitu jenaka, tak pelak saya terbahak dan tatkala masuk kedalam kalimat-kalimat cintanya yang indah dan jernih saya pun menitikkan airmata. Begitu indah ia bertutur melalui 108 cerita yang mencerahkan agar dapat menginspirasi untuk menyikapi kerentanan raga, perubahan dan noda batin.
Dalam salah satu ceritanya yang berjudul “ KIASAN GONI” , Ia bertutur ;
“Sering kali kita memiliki rasa enggan untuk berubah. Berikut ini adalah kisah yang sederhana, namun kemanjurannya telah bertahan selama berabad-abad, dan mengungkapkan mengapa orang jadi begitu keras kepala sehingga kadang mereka tidak mau mendengar sama sekali.
Ada dua orang yang memutuskan menempuh perjalanan jauh untuk mencari harta. Mereka mendengar ada kota yang ditinggalkan, dan ketika orang-orang meninggalkan kota, mungkin ada barang tertinggal yang bisa mereka temukan. Mereka pun pergi ke kota ini. Ketika sedang berjalan-jalan disana, mereka menemukan goni. Pada zaman itu, goni dipakai untuk membuat benang goni, yang mirip dengan kain yang digunakan untuk membuat celana jin.
Mereka menemukan goni tercecer, mengumpulkannya, dan masing-masing membawa sebuntal goni. Setelah beberapa lama, seorang dari mereka menemukan sebuntal benang goni. Tentu benang goni adalah apa yang kita ingin buat dari goni. Jadi salah satu dari mereka berkata, “Kini aku bisa membuang goniku, aku akan mengambil benang goni ini.” Namun temannya berkata, “Tidak ah, aku sudah menetapkan mengambil ini. Ini cukup buat ku.”
Jadi yang satu mengganti dengan barang yang lebih berharga, sedangkan yang satu tetap menyimpan yang lama. Setelah beberapa lama, mereka menemukan kain goni. Orang yang mengubah bawaannya membuang benang goninya dan mengambil kain goni ini, sedangkan yang satunya berkata, “Tidak ah, sebuntal goniku tersayang ini sudah cukup bagus.”
Lalu mereka menemukan rami yang dipakai untuk membuat kain linen. Pria yang membawa kain goni berkata, “Kini aku tidak butuh ini. Rami jauh lebih berharga.” Sementara orang yang masih memanggul goni mengatakan, “Tidak, ini sudah cukup bagiku.”
Lalu mereka mengalami serangkaian penemuan benda yang lebih berharga, yang mana satu orang ini terus mengubah dari goni kebenang goni, ke kain goni, ke rami, ke benang linen, ke kain linen, kemudian mereka menemukan perak, lalu akhirnya emas. Dan karena yang satunya terus tidak mau berubah, maka dia tiba dirumah hanya dengan sebuntal goni, sedangkan kawannya pulang dengan sebuntal emas.
Disebutkan dalam kitab bahwa orang yang kembali ke rumah membawa sebuntal emas disambut sangat meriah oleh keluarga dan sahabatnya, namun pria yang kembali dengan sebuntal goni tidak memberikan kepuasan atau kesenangan kepada siapa pun. Ini adalah kiasan kuno mengenai penyebab kita tidak pernah mau mengganti pandangan dan gagasan kita. Mengapa ketika kita memiliki gagasan tertentu, kita begitu sulit atau keras untuk mengubahnya padahal sesuatu yang lebih baik datang ? Ini sungguh suatu pertanyaan yang menarik.
Alasannya adalah, ketika kita sudah memiliki sesuatu, “Itu goni yang kutemukan.” goni itu nyaris menjadi diri Anda. Goni adalah aku. Aku akan mati jika aku mendapat jati diri lain, identitas lain. Banyak orang ketika mendapat gagasan baru mereka berkata, “Tidak ah, paham ini cukup bagi saya…,” atau semacamnya. Kita begitu resisten terhadap perubahan, meski kita tahu bahwa ada yang lebih baik. Jika kita memahami kiasan ini, kita akan tahu apa esensi pencarian kebenaran itu.”