Minggu, 16 Oktober 2011

HUKUM KAMMA

Perbuatan yang dilakukan oleh jasmani, perkataan dan pikiran yang baik maupun yang jahat disebut Kamma. Keadaan yang menghasilkan perbuatan juga disebut Kamma.
Sang Buddha pernah bersabda :
kehendak untuk berbuat (cetana) itulah yang dinamakan Kamma.
"Sesuai dengan benih yang telah ditabur, Begitulah buah yang akan dipetiknya, Pembuat kebaikan akan mendapatkan kebaikan, Pembuat kejahatan akan mendapatkan kejahatan pula, Taburlah biji-biji benih, dan Engkau pula yang akan merasakan buah-buah dari padanya".
Sebagaimana telah diterangkan'di atas, perbuatan yang dilakukan oleh jasmani (kaya), perkataan (vaci) dan pikiran (mano) yang baik (kusala) maupun yang jahat (akusala) disebut Kamma, Jadi, Kamma itu dapat timbul dari tiga jalan, yaitu :
1. Kaya- Kamma (Perbuatan dari jasmani)
2. Vaci-Kamma (Perbuatan dari perkataan)
3. Mano-Kamma (Perbuatan dari pikiran)
Bila ketiga macam Kamma tersebut di atas dihubungkan dengan yang baik (kusala) dan yang jahat (akusala), maka Kamma tersebut menurut kedudukannya (pakatthanacatukka) digolongkan dalam 4 (empat) bagian, yaitu:
1. Akusala-Kamma (Perbuatan jahat)

Akusala-Kamma terbagi 3 bagian, yaitu :
a. Akusala-Kaya-Kamma (Perbuatan jahat melalui jasmani) yang terdiri atas 3 macam :
1. Panatipata: Pembunuhan
2. Adinnadana: Pencurian
3. Kamesumicchacara: Perzinaan.
b. Akusala-Vaci-Kamma (Perbuatan jahat melalui perkataan) yang terdiri atas 4 macam:
1. Musavada: Berdusta
2. Pisunavaca: Berbicara memfitnah
3. Pharusavaca: Bicara kasar
4. Samphappalapa: Bicara hal-hal yang tidak perlu atau omong kosong.
c. Akusala-Mano-Kamma (Perbuatan jahat melalui pikiran) yang terdiri atas 3 macam :
1. Abhijjha: Napsu lobha.
2. Byapada: Dendam/kemauan jahat
3. Miccha-ditthi: Pandangan salah.
Kamavacarakusala-Kamma terbagi dalam 3 bagian, yaitu :
a. Kusala-Kaya-Kamma (Perbuatan baik melalui jasmani) yang terdiri atas 3 macam:
1. Panatipata veramani : Menahan diri dari pembunuhan.
2. Adinnadana veramani : Menahan diri dari pencurian.
3. Kamesumicchacara veramani Menahan diri dari perzinaan.
b. Kusala-Vaci-Kamma (Perbuatan balk melalui perkataan) yang terdiri atas 4 macam :
1. Musavada veramani : Menahan diri dari berdusta.
2. Pisunaya vacaya veramani : Menahan diri memfitnah.
3. Pharusaya vacaya veramani : Menahan diri dari bicara kasar.
4. Samphappalapa veramani : Menahan diri dari bicara hal-hal yang tidak perlu atau omong kosong.
c. Kusala-Mano-Kamma (Perbuatan baik melalui pikiran) yang terdiri atas 3 macam:
1. Anabhijjha: Tidak mempunyai napsu loba.
2. Abyapada: Tidak mempunyai kemauan jahat.
3. Samma-ditthi: Berpandangan benar.
4. Rupavacarakusala-Kamma (Perbuatan baik yang berkenaan dengan Rupa-Jhana)Y
5. Arupavacarakusala-Kamma (Perbuatan baik yang berkenaan dengan Arupa-Jhana)

Kamma menurut jangka waktu bekerjanya dapat dibagi dalam tiga (3) golongan besar

I. Pakakala-catukka (Menurut jangka waktunya).
1. DITTHA DHAMMA VEDANIYA KAMMA adalah Karma yang memberikan hasil dalam kehidupan sekarang ini. Kamma ini terbagi 2 macam, yaitu :
a. Paripakka Dittha Dhammavedaniya Kamma adalah Karma yang memberikan hasil dalam kehidupan sekarang ini, termasuk yang sudah masak betul.
b. Aparipakka Dittha Dhammavedaniya adalah Karma yang memberikan hasil setelah lewat tujuh hari.
2. UPPAJJA VEDANIYA KAMMA adalah Karma yang memberikan hasil dalam kehidupan yang akan datang, yaitu dalam kehidupan kedua.
3. APARAPARAVEDANIYA KAMMA adalah Karma yang memberikan hasil dalam kehidupan berikutnya berturut-turut, yaitu dalam kehidupan ketiga dan seterusnya.
4. AHOSI KAMMA adalah Karma yang tidak menimbulkan akibat, karena :
a. Jangka waktunya untuk memberikan hasil telah habis, atau
b. karma yang menghasilkan akibatnya telah habis, atau karma tersebut telah menghasilkan akibatnya secara penuh.
II. Kicca-catukka (Menurut sifat kerjanya)
  • JANAKA KAMMA adalah Karma yang menyebabkan timbulnya syarat untuk terlahir kembali suatu makhluk. Jika disingkatkan artinya disebut kamma melahirkan. Karma ini menimbulkan Nama-Khandha (Kelompok Bathin) dan Kammaja-Rupa (Materi/ Jasmani). Bila dibicarakan secara paramattha-sacca (kebenaran tertinggi) adalah Akusala-kamma 12, dan Lokiyakusala-kamma 17 (Kamavacarakusalakamma 8, Rupavacaraku-sala-kamma 5 dan Arupavacarakusala-kamma 4). Janaka-Kamma ini menjalankan tugas melahirkan makhluk-makhluk di 31 alam kehidupan.
  • UPATTHAMBHAKA KAMMA adalah Karma yang membantu mendorong terpeliharanya satu akibat dari sebab yang telah timbul. Jika disingkatkan artinya disebut kamma membantu.
Kamma ini adalah membantu Janaka Kamma, yaitu :
a. Membantu Janaka Kamma yang belum mempunyai waktu menimbulkan hasil, memberikan waktu menimbulkan hasil/akibat.
b. Membantu Janaka Kamma yang sedang mempunyai waktu menimbulkan hasil memberikan kekuatan untuk menimbulkan hasil secara sempurna.
c. Membantu Rupa-Nama (Lahir-Bathin) yang dilahirkan Janaka Kamma menjadi maju dan bertahan lama.
  • UPAPILAKA KAMMA adalah Karma yang menekan satu akibat dari satu sebab. Jika disingkat artinya disebut kamma menekan.
Kamma ini adalah menekan Janaka Kamma, yaitu :
a. Menekan Janaka Kamma yang mempunyai keadaan bertentangan.
b. Menekan Rupa-Nama (Lahir-Bathin) yang dilahirkan Janaka Kamma.
Yang (a) di atas, yaitu "menekan Janaka Kamma yang mempunyai keadaan bertentangan" terbagi dalam dua macam, yaitu :
1. Menekan Janaka Kamma supaya tidak ada waktu menimbulkan hasil.
2. Menekan Janaka Kamma yang mempunyai waktu menimbulkan hasil, supaya mempunyai kekuatan menurun dan tidak menimbulkan hasil sepenuhnya.
Maka itu, penekanan dari Upapilaka Kamma terbagi menjadi 3 macam, yaitu :
a. Upapilaka Kamma yang menekan Janaka Kamma supaya tidak ada waktu menimbulkan hasil.
b. Upapilaka Kamma yang menekan Janaka Kamma yang mempunyai waktu menimbulkan hasil supaya mempunyai kekuatan menurun.
c. Upapilaka Kamma yang menekan Rupa-Nama (Lahir-Bathin) yang dilahirkan Janaka Kamma.
  • UPAGHATAKA KAMMA adalah karma yang memotong kekuatan akibat dari satu sebab yang telah terjadi. Jika disingkatkan artinya disebut kamma memotong.
Kamma ini adalah memotong Janaka Kamma yang terdiri atas dua macam, yaitu :
1. Memotong Janaka Kamma supaya tidak ada waktu menimbulkan hasil untuk selamanya (KAMMANTARA-UPAGHATAKA).
2. Memotong Rupa-Nama (Lahir-Bathin) yang dilahirkan Janaka Kamma sampai rusak (KAMMANEBBATTAKHANDHASANTANAUPAGHATAKA).

III.Pakadanaparidya-catukka (Menurut sifat hasilnya)

Golongan Karma ini dapat dibagi dalam empat jenis :
  • GARUKA KAMMA adalah Karma berat, yang mampu mcnimbulkan hasil dalam kehidupankedua, yang karma lain tidak mampu untuk mencegahnya. Perbuatan jahat yang berat disebut Akusala Garuka Kamma. Akibatnya adalah tumimbal-Iahir di alam Apaya (Alam yang menyedihkan, yaitu alam neraka, alam setan, alam binatang dan alam asura).

  • ASANNA KAMMA adalah kusala-kamma (perbuatan baik) dan akusala-kamma (perbuatan jahat) yang dilakukan seseorang sebelum saat ajalnya, yang dapat dilakukan dengan lahir dan bathin. Yang dimaksudkan Asanna-Kamma adalah Akusala. Kamma 12 (tidak termasuk Niyatamicchaditthi-Kamma dan Pancanantariya-Kamma) dan Mahakusala-kamma 8.
  • ACINNA KAMMA adalah Karma kebiasaan, yaitu perbuatan baik dan jahat yang merupakan kebiasaan bagi seseorang karena sering dilakukan.
  1. Seseorang melakukap salah satu kejahatan. Walaupun hanya sekali saja, orang itu selalu memikirkan perbuatan jahatnya itu. Kemudian timbul kegelisahan dan ketakutan. Ini juga disebut Akusala Acinna Kamma.
  2. Seseorang melakukan salah satu kebaikan. Walaupun melakukan kebaikan hanya sekali saja, orang itu selalu ingat akan perbuatan baiknya itu, dan kemudian timbul rasa kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaan atas perbuatan baiknya itu. Ini juga disebut Kasala Acinna Kamma.
  • KATATTA KAMMA adalah Karma yang tidak begitu berat dirasakan akibatnya.
Karma ini yang paling lemah di antara semua karma.
Jadi, perbuatan baik (kusala kamma) dan perbuatan jahat (akusala-kamma) yang pemah dibuat dalam kehidupan lampau dan kehidupan sekarang ini yang belum mencapai Garuka Kamma, Asanna Kamma dan Acinna Kamma, yang si pembuatnya tidak melakukan dengan cetana atau kehendak yang sepenuhnya. Ini disebut Katatta Kamma. Katatta Kamma ini adalah karma yang tidak begitu berat (paling lemah) jika dibandingkan dengan Garuka Kamma, Asanna Kamma dan Acinna Kamma.

Sabtu, 15 Oktober 2011

PUJA

I. Pengertian dan Makna Puja
Puja adalah upacara pemujaan atau penghormatan kepada sesuatu atau benda yang dianggap suci maupun keramat. dalam Agama Buddha, kata Puja berbeda arti, makna, cakupan, serta penulisannya. Dalam agama Buddha ditulis Pūjā yang artinya menghormat. Kata Pūjā dapat ditemukan dalam “Mangala Sutta”: “Pūjā ca pūjanīyānam etammangalamuttamam” yang artinya : menghormat kepada yang layak dihormati merupakan berkah utama. yang patut dihormati adalah, Buddha, orang tua, guru, orang suci dan orang yang memiliki moral baik.
Puja sebagai penghormatan memungkinkan untuk dilakukan dengan berbagai cara dapat berupa persembahan dengan materi seperti dengan persembahan makanan, buah, dupa, bunga, dll, maupun perilaku seperti sopan santun, ramah tamah, rendah hati; secara fisik, seperti bersikap anjali, namaskara, maupun mental seperti praktik cinta kasih, kasih sayang serta memiliki pandangan benar.
Penghormatan yang diperkenankan oleh Buddha adalah penghormatan yang wajar serta didasari oleh pengertian yang benar, dan ditujukan kepada “sesuatu” yang memang layak untuk dihormati.
II. Jenis Puja
Ada 2 macam puja (penghormatan) dalam agama Buddha, yaitu :
  • Amisa Puja, artinya menghormat dengan materi atau benda, misalnya memuja dengan mempersembahkan bunga, lilin, cendana/dupa, dll.
Amisa Puja dilaksanakan bermula dari kebiasaan bhikkhu Ananda, yang setiap hari mengatur tempat tidur, membersihkan tempat tinggal, membakar dupa, menata bunga, dan lain-lain, mengatur penggiliran umat untuk menemui umat untuk menemui atau menyampaikan dana makanan.kepada Buddha.
  • Patipati Puja artinya menghormat dengan melaksanakan ajaran (Dhamma), mempraktekkan sila, samadhi, dan panna.
Kebaktian merupakan salah satu praktik Patipati puja. Patipati puja merupakan cara menghormat yang paling tinggi kepada Buddha, dengan melaksanakan ajaran Buddha berarti telah menghormati Buddha. seperti kisah Bhikkhu Atadata yang berusaha keras mencapai arahat sebelum Buddha Parinibbana
III. Sarana dan Prasarana Puja
Sikap batin dalam melaksanakan Puja: puja dapat dilaksanakan secara perorangan atau kelompok, maka yang melaksanakan puja perlu mempersiapkan batinnya untuk dipusatkan kepada objek tertinggi yaitu Triratna (Buddha, Dhamma, dan Sangha)
  1. Buddha dihormati sebagai objek tertinggi karena kata Buddha yang dimaksud adalah mencakup pengertian pencapaian penerangan sempurna. Buddha adalah penemu jalan kesucian, guru, dan penunjuk jalan ke kesucian.
  2. Dhamma dihormati sebagai objek tertinggi sebagai kebenaran mutlak yang telah ditemukan oleh Buddha. Dhamma adalah jalan kesucian itu sendiri.
  3. Sangha dihormati sebagai objek tertinggi karena Sangha merupakan pasamuan para makhluk suci (Ariya Puggala), mereka telah mencapai tujuan atau telah memasuki jalan untuk mencapai tujuan. Ariya Sangha adalah pengikut sejati dari ajaran itu.
Sikap fisik dalam melaksanakan Puja :
  • Anjali
Yaitu merangkapkan kedua belah tangan di depan dada, membentuk kuncup bunga teratai, baik dalam posisi berdiri, berjalan, maupun duduk bersimpuh/bersila.
  • Namaskara
Yaitu bersujud tiga kali dengan lima titik (lutut, ujung jari-jari kaki, dahi, siku, telapak tangan) menyentuh lantai, dengan disertai sikap anjali dan membaca parita Namaskara-Gatha.
  • Padakhina (pradaksina)
Dengan tangan beranjali beranjali mengelilingi objek pemujaan dengan searah jarum jam (dari kiri ke kanan) sebanyak tiga kali. dan pikiran terpusat pada TRIRATNA
TEMPAT MELAKSANAKAN PUJA  


1. Vihara 
adalah Tempat pelaksanaan Puja yang merupakan kompleks bangunan yang mempunyai sana lengkap, yang meliputi :
  • Uposathagara (Gedung Uposatha) : Uposathagara memiliki kegunaan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara pentahbisan Bhikkhu/Bhikkhuni, Samanera/Samaneri ; tempat mempersembahkan Jubah Kathina ; tempat membacakan Patimokkha ; Tempat membahas pelanggaran yang dilakukan Bhikkhu/bhikkhuni
  • Dhammasala, adalah tempat untukmendengarkan dhamma dan juga tempat untuk melaksanan puja bakti
  • Kuti, adalah tempat untuk bhikkhu/bhikkhuni berdiam/ tinggal
  • Perpustakaan, adalah tempat untuk menyimpan satu set Tripitaka
2. Cetiya
adalah bangunan yang lebih kecil daripada Vihara, yang biasanya hanya terdapat Bhaktisala, untuk melaksanakan kebaktian. ada beberapa macam cetya.
  • Dhamma Cetya, adalah cetya yang memiliki satu set Tripitaka lengkap
  • Dhatu Cetya, adalah cetya yang memiliki Relik Buddha
  • Paribhoga Cetya, adalah cetya yang memiliki barang-barang peninggalan Buddha
  • Uddesika Cetya, adalah cetya yang hanya memiliki gambar Buddha ataupun Rupang Buddh
3. Altar
Altar merupakan tempat meletakkan simbol-simbol/lambang-lambang kesucian agama Buddha, seperti :
- Patung Buddha melambangkan penghormatan kepada Sang Buddha
- Lilin melambangkan penerangan dhamma Sang Buddha.
- Dupa/hio yang melambangkan keharuman Dhamma Sang Buddha.
- Bunga, melambangkan anicca atau ketidakkekalan.
- Air, yang dianggap memiliki sifat-sifat seperti : dapat membersihkan noda-noda, dapat memberikan tenaga kepada makhluk-makhluk, dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan, selalu mencari tempat yang rendah (tidak sombong)
-Buah, melambangkan buah dari kamma-kamma kita, selain itu sebagai lambang dari rasa terima kasih.
4. Stupa
Bentuk stupa melambangkan pemikiran terpusat.
Merupakan tempat untuk menyimpan relik Buddha atau para arahat. 

5. Pagoda
Memliki fungsi yang sama dengan Stupa, yaitu untuk menyimpan relik orang suci, dan merupakan budaya dari Cina, bangunannya selalu ganjil dan ujungnya runcing.

Minggu, 11 September 2011

KIASAN KARUNG GONI

            Dalam bukunya “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2” Ajahn Brahm memberikan banyak sekali pandangan-pandangan dan pelajaran-pelajaran tentang bagaimana memahami diri sendiri dan berinteraksi didalam kehidupan dengan cinta tanpa ego, damai tanpa syarat sehingga dapat menjadi pribadi yang bijak dengan memiliki hati bebas dan lepas dengan tidak memaksakan ancaman dogma keagamaan atau paksaan arogansi keimanan. Ketika menemukan tuturan-tuturan kalimat yang sederhana, apa adanya namun begitu jenaka, tak pelak saya terbahak dan tatkala masuk kedalam kalimat-kalimat cintanya yang indah dan jernih saya pun menitikkan airmata. Begitu indah ia bertutur melalui 108 cerita yang mencerahkan agar dapat menginspirasi untuk menyikapi kerentanan raga, perubahan dan noda batin.
Dalam salah satu ceritanya yang berjudul “ KIASAN GONI” , Ia bertutur ;
“Sering kali kita memiliki rasa enggan untuk berubah. Berikut ini adalah kisah yang sederhana, namun kemanjurannya telah bertahan selama berabad-abad, dan mengungkapkan mengapa orang jadi begitu keras kepala sehingga kadang mereka tidak mau mendengar sama sekali.
Ada dua orang yang memutuskan menempuh perjalanan jauh untuk mencari harta. Mereka mendengar ada kota yang ditinggalkan, dan ketika orang-orang meninggalkan kota, mungkin ada barang tertinggal yang bisa mereka temukan. Mereka pun pergi ke kota ini. Ketika sedang berjalan-jalan disana, mereka menemukan goni. Pada zaman itu, goni dipakai untuk membuat benang goni, yang mirip dengan kain yang digunakan untuk membuat celana jin.
Mereka menemukan goni tercecer, mengumpulkannya, dan masing-masing membawa sebuntal goni. Setelah beberapa lama, seorang dari mereka menemukan sebuntal benang goni. Tentu benang goni adalah apa yang kita ingin buat dari goni. Jadi salah satu dari mereka berkata, “Kini aku bisa membuang goniku, aku akan mengambil benang goni ini.” Namun temannya berkata, “Tidak ah, aku sudah menetapkan mengambil ini. Ini cukup buat ku.”
Jadi yang satu mengganti dengan barang yang lebih berharga, sedangkan yang satu tetap menyimpan yang lama. Setelah beberapa lama, mereka menemukan kain goni. Orang yang mengubah bawaannya membuang benang goninya dan mengambil kain goni ini, sedangkan yang satunya berkata, “Tidak ah, sebuntal goniku tersayang ini sudah cukup bagus.”
Lalu mereka menemukan rami yang dipakai untuk membuat kain linen. Pria yang membawa kain goni berkata, “Kini aku tidak butuh ini. Rami jauh lebih berharga.” Sementara orang yang masih memanggul goni mengatakan, “Tidak, ini sudah cukup bagiku.”
Lalu mereka mengalami serangkaian penemuan benda yang lebih berharga, yang mana satu orang ini terus mengubah dari goni kebenang goni, ke kain goni, ke rami, ke benang linen, ke kain linen, kemudian mereka menemukan perak, lalu akhirnya emas. Dan karena yang satunya terus tidak mau berubah, maka dia tiba dirumah hanya dengan sebuntal goni, sedangkan kawannya pulang dengan sebuntal emas.
Disebutkan dalam kitab bahwa orang yang kembali ke rumah membawa sebuntal emas disambut sangat meriah oleh keluarga dan sahabatnya, namun pria yang kembali dengan sebuntal goni tidak memberikan kepuasan atau kesenangan kepada siapa pun. Ini adalah kiasan kuno mengenai penyebab kita tidak pernah mau mengganti pandangan dan gagasan kita. Mengapa ketika kita memiliki gagasan tertentu, kita begitu sulit atau keras untuk mengubahnya padahal sesuatu yang lebih baik datang ? Ini sungguh suatu pertanyaan yang menarik.
Alasannya adalah, ketika kita sudah memiliki sesuatu, “Itu goni yang kutemukan.” goni itu nyaris menjadi diri Anda. Goni adalah aku. Aku akan mati jika aku mendapat jati diri lain, identitas lain. Banyak orang ketika mendapat gagasan baru mereka berkata, “Tidak ah, paham ini cukup bagi saya…,” atau semacamnya. Kita begitu resisten terhadap perubahan, meski kita tahu bahwa ada yang lebih baik. Jika kita memahami kiasan ini, kita akan tahu apa esensi pencarian kebenaran itu.”

Selasa, 05 Juli 2011

CATTARI ARIYA SACCANI (Empat Kesunyataan Mulia)

DALAM khotbah-Nya yang pertama di Tamari Rusa Isipatana yang terkenal dengan nama Dhamma Cakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma), Sang Buddha Gotama telah mengajarkan secara singkat Empat Kesunyataan Suci (Cattari Ariya Saccani), yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.
Empat Kesunyataan Suci tersebut adalah :
A. KESUNYATAAN SUCI TENTANG DUKKHA (Dukkha Ariyasacca)
Kata "dukkha" disini, yang menyatakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dan dunia, mempunyai pengertian filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang amat luas.
Dalam khotbah-Nya yang pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna, Beliau merumuskan dukkha dengan istilah sebagai berikut :
"Kelahiran, usia tua dan kematian adalah dukkha; kesakitan, keluh kesah, ratap tangis, kesedihan dan putus asa adalah dukkha; berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang tidak disenangi, dan tidak memperoleh apa yang diingini adalah dukkha. Dengan ringkas, jasmani dan bathin (segala bentuk kehidupan) adalah dukkha".
Banyak orang salah mengerti terhadap Ajaran ini, dan beranggapan bahwa Buddha Dhamma adalah ajaran pesimistis, yang memandang dunia ini dari sudut negatif. karena itu disini perlu ditegaskan bahwa Buddha Dhamma bukanlah Ajaran yang bersifat pesimistis atau optimistis. Sang Buddha adalah seorang realis dan obyektif; Beliau memandang segala sesuatu menurut hakekat yang sebenarnya berdasarkan Pandangan Terang (Yathabhutamnanadassanam).
Sewaktu menerangkan dukkha, Beliau juga mengakui adanya berbagai bentuk "kebahagiaan", material dan spiritual. Akan tetapi, kebahagiaan-kebahagiaan itu sendiri adalah bersyarat, selalu berubah-ubah dan tidak kekal, karena itu harus digolongkan dalam dukkha (Anicca, Dukkha Viparinamadhamma); dukkha bukan merupakan "penderitaan" dari arti kata umum, tetapi karena "segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha" (yad aniccam tamdukkham).
Karenanya, dukkha disini mempunyai tiga pengertian :
1. Dukkha yang nyata, yang benar-benar dirasakan sebagai derita tubuh atau derita bathin, seperti lahir, menjadi tua, sakit, mati, berkumpul dengan yang tidak disukai, (dukkha-dukkha).
2. Semua perasaan senang dan bahagia berdasarkan sifat tidak kekal, yang di dalamnya terkandung benih-benih dukkha (viparinama dukkha).
3. Sifat tertekan dari semua sankhara (bentuk/keadaan yang bersyarat) yang selalu muncul dan lenyap, seperti pancakkhandha (lima kelompok kehidupan) atau nama-rupa (Sankhara dukkha).
B. KESUNYATAAN SUCI TENTANG ASAL MULA DUKKHA (Dukkhasamudaya Ariyasacca)
Asal-mula dukkha ialah "keinginan rendah" (Tanha), yang menyebabkan kelahiran berulang-ulang bersama dengan hawa napsu yang mencari kenikmatan ke sana ke mari (ponobhavika nandiragasahagata tatratatrabhinandini), yang terdiri atas :
1. Keinginan akan nafsu indera (kama-tanha)
2. Keinginan akan penjelmaan (terlahir)  (bhava-tanha)
3. Keinginan akan pemusnahan (vibhava-tanha)
Setiap orang mengakui bahwa semua kejahatan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Hal ini tidak sulit untuk dimengerti. Tetapi bagaimana tanha ini dapat mengakibatkan "kelahiran berulang-ulang" (ponobhavika) bukanlah dengan mudah dapat dimengerti. Maka di sini kita akan membicarakan sudut falsafah yang lebih dalam dari kesunyataan Suci kedua yang berhubungan dengan Kesunyataan Suci pertama.
Terdapat empat macam "makanan" (ahara) dalam pengertian sebab atau kondisi yang diperlukan untuk kelangsungan makhluk-makhluk:
1. Makanan material (kabalikarahara)
2. Kontak dari enam indera kita dalam menyentuh obyek (phassahara)
3. Kesadaran yang menimbulkan nama dan rupa (vinnanahara)
4. Kehendak bathin yang menimbulkan perkataan dan perbuatan (manosancetanahara)
Ahara 4 macam ini merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk lahir kembali, untuk berlangsung, untuk menjadi lebih sempurna. Ia menciptakan akar dari kelahiran dan kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk (kusala - akusala kamma).
C. KESUNYATAAN SUCI TENTANG LENYAPNYA DUKKHA (Dukkhanirodha Ariyasacca)
Lenyapnya dukkha, berarti  bebas dari semua kekotoran batin dan terbebas dari  keinginan rendah (tanha) ini; atau dengan kata lain: tercapainya Nibbana.sehingga tidak terlahir lagi di lingkaran kehidupan di 31 alamkehidupan
 Terdapat dua macam Nibbana, yaitu:
  1. Sa-upadisesa-Nibbana adalah padamnya kilesa (kekotoran batin) secara total, tetapi pancakkhandha (lima kelompok kehidupan) masih ada
  2. An-upadisesa-Nibbana adalah padamnya kilesa (kekotoran batin) secara total danjuga pancakkhandha (lima kelompok kehidupan) padam
D. KESUNYATAAN SUCI TENTANG JALAN MENUJU LENYAPNYA DUKKHA (Dukkhanirodha-gamini-patipada Ariyasacca)
Jalan untuk menuju lenyapnya dukkha ialah "Jalan Mulia Berunsur Delapan" (Ariya Atthangika Magga). Jalan Mulia Berunsur Delapan ini dikenal juga sebagai "Jalan Tengah" (Majjahima Patipada), oleh karena "Jalan" ini menghindari dan berbeda di luar cara hidup yang ekstrim, yaitu : pemuasan napsu indera yang berlebih-lebih dan penyiksaan diri; dan sekaligus mengajarkan suatu cara berpikir di tengah-tengah yang menghindari kedua kutub pandang, yaitu pandangan tentang "kekekalan" (sassataditthi) dan "kemusnahan" (ucchedda-ditthi).
Dengan ajaran ini kita dapat membedakan antara unsure-unsur berikut : suci dan tidak suci" (ariya dan anariya), baik dan buruk (kusala dan akusala), berguna dan tidak berguna (attha dan anattha), benar dan salah (dhamma dan adhamma), tercela dan tidak tercela (savajja dan anavajja), jalan hidup yang terang dan jalan hidup yang gelap (tapaniya dan anatapaniya) dan sebagainya.
Perlu ditekankan bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan ini bukanlah terdiri atas delapan buah jalan, yang harus diikuti satu demi satu atau dilaksanakan secara terpisah. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini sebenarnya adalah "satu jalan" yang mempunyai delapan faktor di dalamnya. Karenanya, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.

Jalan Mulia Berunsur Delapan tersebut terdiri atas :

1. Samma-ditthi (Pandangan Benar)
Terdapat tiga macam pandangan yang benar yaitu :
  1. Pandangan yang benar terhadap Karma.
Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Semua makhluk adalah merupakan karmanya sendiri.
2. Semua makhluk adalah merupakan ahli waris dari karmanya sendiri.
3. Semua makhluk adalah lahir dari karmanya sendiri.
4. Semua makhluk adalah keluarga dari karmanya sendiri.
5. Semua makhluk adalah di topang oleh karmanya sendiri.
6. Karma apa saja yang dibuatnya, yang baik atau buruk, terhadap itu ia akan menjadi ahli warisnya.
2. Pandangan yang benar mengenai sepuluh persoalan.
Hal ini dapat diperinci sebagai berikut :
1. Adanya kebajikan yang tinggi dalam berdana.
2. Adanya kebajikan dalam pemberian yang banyak.
3. Adanya kebajikan dalam pemberian yang sedikit.
4. Adanya akibat dari perbuatan yang buruk maupun yang baik.
5. Adanya kebajikan dalam perbuatan yang dilakukan terhadap ibu.
6. Adanya kebajikan dalam perbuatan yang dilakukan terhadap ayah.
7. Adanya makhluk-makhluk yang lahir secara spontan.
8. Adanya dunia ini.
9. Adanya makhluk-makhluk yang lahir secara spontan.
10. Adanya dunia atau alam-alam kehidupan yang lain.
11. Adanya para Buddha dan Arahat yang melakukan latihan yang benar, yang memiliki pencapaian yang benar, yang mendapatkan kesunyataan melalui usahanya sendiri, di dunia ini maupun di alam-alam kehidupan yang lainnya, dan mengajarkan kesunyataan itu kepada makhluk-makhluk lainnya.

3. Pandangan yang benar mengenai Empat Kesunyataan Suci, yaitu :
  • Tentang adanya Dukkha.
  • Tentang Asal Mulanya Dukkha.
  • Tentang lenyapnya Dukkha.
  • Tentang Jalan yang menuju lenyapnya Dukkha.

2. Samma-Sankapa (Pikiran Benar)
Pikiran yang benar adalah pikiran yang menghindari kejahatan dan pikiran yang cenderung kepada kebajikan, yaitu :
  • Pikiran yang bebas dari Akusalamula 3 (3 akar kejahatan) yaitu lobha (ketamakan), doa (kebencian), moha (kebodohan bathin).
  • Pikiran yang berisi metta (cinta kasih).
  • Pikiran yang berisi karuna (belas kasihan).

3. Samma-vaca (Ucapan Benar).
Ucapan yang benar dapat diperinci sebagai berikut :
  • Ucapan yang terbebas dari kebohongan (kepalsuan).
  • Ucapan yang terbebas dari memfitnah (adu domba).
  • Ucapan yang terbebas dari kekerasan (kekejaman).
  • Ucapan yang terbebas dari kerewelan (cerewet/bawel).

4. Samma-kammanta (Perbuatan Benar).
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang tidak merugikan makhluk lain dan hal ini dapat diperinci sebagai berikut :
  • Perbuatan yang menghindari pembunuhan atau penyiksaan makhluk lain.
  • Perbuatan yang menghindari pencurian atau mengambil barang yang bukan miliknya.
  • Perbuatan yang menghindari perzinaan.

5. Samma-ajiva (Pencaharian Benar)
Pencaharian yang benar adalah pencaharian yang tidak merugikan makhluk lain dan juga tidak merugikan diri sendiri. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut :
  • Pencaharian yang tidak mengakibatkan pembunuhan.
  • Pencaharian yang wajar atau halal.
  • Pencaharian yang tidak berdasarkan penipuan.
  • Pencaharian yang tidak berdasarkan ilmu yang rendah (black-magic).

6. Samma-vayama (Usaha Benar).
Usaha yang benar adalah usaha untuk membersihkan diri dan mengembangkan kebaikan. Hal ini dapat diperinci sebagai berikut :
  • Usaha untuk menghindari kejahatan yang belum ada dalam diri.
  • Usaha untuk menghilangkan kejahatan yang sudah ada dalam diri.
  • Usaha untuk menumbuhkan kebaikan yang belum ada dalam diri.
  • Usaha untuk mengembangkan kebaikan yang sudah ada dalam diri.

7. Samma-sati (Perhatian Benar).
Perhatian yang benar adalah perhatian yang ditujukan kedalam diri sendiri, untuk melihat proses kehidupan ini, yang selalu dalam keadaan berubah, yakni :
  • Perhatian terhadap jasmani (Kayanupassana).
  • Perhatian terhadap perasaan (Yedananupassana).
  • Perhatian terhadap pikiran (Cittanupassana).
  • Perhatian terhadap bentuk-bentuk pikiran (dhammanupassana).

8. Samma-samadhi (Meditasi Benar).
Meditasi yang benar adalah meditasi untuk membersihkan bathin, guna menuju kesejahteraan hidup atau kesucian atau kebebasan dari penderitaan. Meditasi yang benar ada 2 (dua) macam, yaitu :
  1. Samatha- Bhavana, adalah meditasi untuk mengembangkan ketenangan bathin guna mencapai jhana-jhana dan kekuatan bathin (abhinna).
  2. Vipassana-Bhavana, adalah meditasi untuk mengembangkan pandangan terang guna mencapai kebijaksamian dan kesucian serta terbebas dari dukkha (nibbana).
Keterangan mengenai delapan faktor ini :
  1. Pandangan Benar dan Pikiran Benar adalah kelompok dalam perkembangan Panna.
  2. Pembicaraan Benar, Perbuatan Benar dan Pencaharian Benar adalah kelompok dalam perkembangan Sila.
  3. Usaha Benar, Perhatian Benar dan Meditasi Benar adalah kelompok dalam perkembangan Samadhi

untuk versi data langsung dowload disini

Jataka (VIDHURA YANG BIJAK)

Permaisuri Naga Mahukan Jantung Vidhura 

Pada suatu masa, Bodhisatta dilahirkan sebagai seorang yang sangat bijak, bernama Vidhura Pandita, di dalam bandar Indapatta, dalam negeri Kuru yang diperintah oleh raja bernama Dhananjaya. Vidhura Pandita sungguh bijak mengajar ajaran-ajaran yang mulia kepada orang ramai dan semua raja dari Jambu-dipa datang untuk mendengar khutbahnya.
Suatu hari, empat orang pertapa turun dari Gunung Himalaya untuk meminta sedekah di Kala-campa, dalam negeri Amga. Empat orang penduduk di situ nampak pertapa itu dan merasa senang hati dengan keadaan rupa paras pertapa-pertapa itu. Mereka memberi makanan dan membina tempat tinggal untuk pertapa-pertapa itu di dalam taman mereka. Selesai makan, pertapa-perapa itu pergi dari situ untuk meneruskan penghijrahan dan amalan mereka. Seorang daripada mereka pergi ke Syurga Tiga Puluh Tiga Dewa-Dewa, seorang pergi ke alam Naga-Naga, yang seorang lagi ke alam Supannas (pari burung-burung), dan yang keempatnya pergi ke taman Migacira kepunyaan Raja Dhananjaya.
Sekembalinya dari sana, tiap-tiap orang pertapa itu bercerita tentang perkara-perkara yang mengkagumkan di tempat-tempat yang mereka lawati. Keempat-empat orang biasa tadi mempunyai hasrat supaya ia dilahirkan semula di tempat-tempat itu. Mereka membuat berbagai-bagai amalan seperti bersedekah; dan setelah mereka mati, salah seorang daripadanya dilahirkan sebagai Raja Sakka, seorang dilahirkan di alam Naga, seorang lagi dilahir semula di dalam istana Raja Supanna dan yang keempat sebagai putera Raja Dhananjaya. Keempat-empat pertapa dilahirkan semula di dunia Brahma.
Putera Raja Dhananjaya juga bernama Dhananjaya. Selepas Raja mangkat, Putera Dhananjaya menjadi raja. Baginda merupakan raja yang baik dan termasyhur kerana kemahiran baginda bermain buah dadu. Baginda mengikut kata-kata nasihat Vidhura Pandita. Baginda memberi sedekah, mematuhi Sila dan mengamalkan Sila pada hari Uposatha. Pada suatu hari Uposatha, Raja pergi ke taman untuk bertafakur ,Raja Sakka mendapati diri baginda tidak dapat bersemadi di syurga lalu turun ke taman itu. Varuna, raja Naga juga tidak dapat bertafakur di alam Naga dan datang ke taman yang sama. Dan Raja Supana juga turun untuk bersemadi di taman raja itu. .
Apabila senja menjelang, keempat-empat mereka tadi bangun dari tempat duduk masing-masing dan berdiri di pinggir tasik diraja. Mereka memandang antara satu sama lain dengan penuh kasih sayang, kerana mereka telah bersahabat baik sebelum itu. Raja Sakka memulakan perbualan, "Kita adalah empat orang raja sekarang, apakah kebaikan yang paling unggul dan mumi daripada setiap orang daripada kita ini ?"
Varuna, raja Naga menjawab, "Raja Supanna ini musuh kami. Tetapi bila beta memandangnya, beta tidak menaruh apa-apa kemarahan. Oleh itu kebaikan betalah yang paling unggul."
Mendengar kata-kata Raja Naga, Raja Supanna berkata, "Naga adalah makanan utama beta; tapi walaupun beta nampak makanan itu di sana, beta menahan kelaparan dan tidak membunuhnya untuk dijadikan makanan. Oleh itu kebaikan betalah yang paling finggi. "
Kemudian Raja Sakka pula menyambungi "Beta meninggalkan segala-gala yang gemilang di syurga, dan turun ke dunia untuk berbuat baik. Oleh yang demikian, kebaikan betalah yang paling agung."
Akhimya Raja Dhananjaya berkata: "Hari ini beta meninggalkan istana serta enam belas ribu gadis-gadis penari untuk menjadi pertapa di taman ini. Dengan itu, kebaikan betalah yang paling murni.
"Jadi tiap-tiap orang raja itu mengaku kebaikan diri mereka masing-masing yang paling agung. Mereka bertanya Raja Dhananjaya, "0 Raja! Adakah sesiapa yang bijak di istana ini yang boleh menyelesaikan masalah kita ?"
" Ya, sahabatku. Saya mempunyai Vidhura Pandita yang boleh menyelesaikan kesangsian kita; kita akan ke tempatnya," kata Raja Dhananjaya.
Keempat-empat raja itu pun pergi berjumpa Vidhura Pandita serta mengemukakan masalah mereka. Selepas mendengar keterangan daripada mereka, Vidhura menerangkan kebaikan setiap orang daripada mereka itu adalah satu dan sama saja. Raja-raja itu sungguh gembira dengan jawapannya. Raja Sakka menghadiahkan sehelai jubah sutera yang sangat indah kepada Vidhura. Raja Supanna memberinya kalungan bunga keemasan. Raja Varuna pula memberi sebiji permata dan Raja Dhananjaya menghadiahkan seribu ekor lembu dan barang-barang lain.
Apabila permaisuri Raja Naga, Vimala, melihat permata yang dipakai di leher suaminya sudah tiada lagi, baginda bertanyakan suaminya ke manakah permata itu. Raja menerangkan bahawa baginda sungguh suka hati dengan Vidhura Pandita lalu memberi kepadanya. Setelah permaisuri mendengar tentang keagungan Vidhura Pandita daripada raja, baginda juga berniat hendak mendengar khutbah beliau.
Selepas itu Permaisuri berfikir, "Kalau beta memberitahu raja beta hendak mendengar Vidhura Pandita berkhutbah berkenaan Dhamma, dan menyuruh Vidhura dibawa ke mari, mungkin baginda tidak akan membawanya ke mari. Lebih baik beta berpura-pura gering." Dengan itu baginda pun berbaring di atas katil berpura-pura gering.
Apabila Raja tidak melihat Permaisuri, baginda bertanya kalau apa-apa yang tak kena. Dayang-dayang menyatakan permaisuri sedang gering. Raja segera pergi ke tempat permaisuri sedang berehat dan bertanya tentang kegeringannya. Permaisuri menyatakan baginda inginkan jantung Vidhura dan akan mati jika tidak mendapatnya.
Raja Varuna mempunyai seorang puteri yang cantik bernama Irandati. Raja menyuruh puteri mencari seorang suami yang dapat membawa jantung Vidhura Pandita kepada baginda. Dengan itu puteri pergi memetik bunga di Gunung Himalaya dan menaburkannya di atas tanah. Kemudian, dia menari dan menyanyi dengan merdu sekali sambil berkata, "Siapa yang menjadi suamiku, aku akan buatkan dia amat bahagia !"
Pada ketika itu, seorang jeneral bernama Punnaka sedang menunggang kuda melalui tempat itu. Jeneral itu ialah anak saudara kepada Raja Vessavana yang agung itu. Semasa dia melalui Gunung Hitam, Punnaka terdengar dendangan puteri Irandati. Suara puteri itu meresap masuk ke dalam kulitnya hinggalah ketulangnya kerana dia pemah mendengar suara itu dalam kehidupannya yang lampau. "0 Puan ! Usahlah risau. Saya akan membawa jantung Vidhura untukmu."
Punnaka tidak berani hendak pergi mendapatkan jantung Vidhura tanpa kebenaran Raja Vessavana. Punnaka pergi berjumpa Raja tetapi pada saat itu Raja sedang sibuk menyelesaikan pergaduhan di antara dua dewa. Raja Vessavana tidak mendengar apa yang Punnaka katakan. Kemudian raja bertitah kepada salah satu daripada dewa-dewa itu, "Pergilah kamu tinggal di dalam istanamu."Apabila Punnaka mendengar perkataan "kamu pergilah", dia berpura-pura seolah-olah raja membenarkan dia pergi. Maka dia pun menunggang kuda ajaibnya pergi dari situ.
Ketika dalam penerbangannya ke udara, dia berfikir, "Vidhura Pandita mempunyai ramai pengikut, tentu dia tidak boleh diambil dengan paksaan; tetapi Raja Dhananjaya tekenal dengan kemahiran baginda dalam
perjudian. Saya akan mengalahkan baginda dan mengambil Vidhura Pandita. Saya akan membawa sebiji permata kepunyaan pemerintah dunia. Tentu raja itu mahukannya." Punnaka kemudiannya menyamar diri menjadi seorang Brahmin yang bernama Kaccayana dan pergi mengadap Raja Dhananjaya.
Punnaka mempunyai seekor kuda ajaib. la boleh terbang dan lari dengan sungguh pantas, dan apabila Punnaka menghulurkan tangannya, kuda itu dapat berdiri di atas tapak tangannya. Raja Dhananjaya lebih berminat kepada permata ajaib itu. Bermacam-macam benda boleh dilihat di dalamnya- orang-orang, binatang-binatang, alat-alat muzik, gunung-ganang dan sebagainya.
Kata Punnaka, "0 Tuanku! Jika Tuanku menang dalam perjudian dengan patik, patik akan memberi permata ajab ini kepada Tuanku. Tetapi apakah yang Tuanku akan beri sekiranya patik menang ?"
"Beta akan memberi apa saja yang kamu pinta, kecuali badan dan payung putih beta." jawab Raja.
Akhimya Raja dan Punnaka masuk ke dewan perjudian dan mengeluarkan sebuah meja perak serta sebiji dadu emas. Bonda kepada raja itu adalah dewi yang menjaga baginda. Dewi ini menolong baginda supaya memenangi permainan itu. Apabila Punnaka sedar bonda raja itu sedang menggunakan kuasanya untuk menolong baginda, dia mencelikkan matanya dengan luas seperti orang yang marah dan memandang kepada dewi itu. Dewi itu menjadi takut dan terus berundur dari situ. Oleh yang demikian, raja pun kalahlah dalam perjudian yang menggunakan buah dadu itu.
Vidhura Dan Yakkha
Setelah Raja Dhananjaya kalah kepada Punnaka dalam perjudian yang. menggunakan buah dadu itu, baginda bertanya apakah hadiah yang Punnaka mahu. Jawab Punnaka, dia mahukan menteri baginda, Vidhura Pandita. Raja sungguh terperanjat dan berkata, "Dia adalah menteri beta yang tidak boleh dibandingkan dengan harta benda !"
"Adakah kamu ini hamba atau kerabat diraja?" Punnaka menyoal Vidhura. Vidhura menjawab, bahawa dia adalah hamba raja dan boleh diberi kepada sesiapa saja. Oleh itu Punnaka pun mengambilnya. Tetapi sebelum meninggalkan negerinya, Vidhura meminta izin untuk berkhutbah kepada isteri-isteri dan anak-anaknya terlebih dahulu. Pada hari ketiga, setelah habis memberi tunjuk ajar dan nasihat kepada keluarganya, dia dengan tenangnya mengikuti Punnaka.
Kemudian Vichura pergi mengadap raja untuk mengucapkan selamat tinggal. Raja amat sedih dan hiba kerana Vidhura terpaksa pergi. "Beta akan menghantar seorang Brahmin muda untuk melakukan sesuatu, kemudian kita akan membunuh Punnaka." Tetapi Vidhura menasihati raja, bahawa seseorang raja tidak patut membuat pekerjaan yang keji seperti itu. Akhirnya Punaka pun membawa Vidhura pergi dari situ.
Punnaka memandang Vidhura lalu berkata, "Kamu sekarang ini sedang mengorak langkah daripada hidup kepada mati; perjalanan yang jauh sedang menunggumu. Peganglah ekor kuda ajaibku; kamu tidak akan dapat melihat dunia manusia lagi.
Jawab Vidhura, "Saya tidak takut kepada sesiapapun sebab saya tidak pernah mengkhianati sesiapa sama ada dengan cara pemikiran, percakapan atau perlakuan saya. Oleh itu, tiada sesiapapun yang boleh mengkhianati saya ". Kemudian dia pun memegang ekor kuda itu. Dengan keadaan demikian, mereka berkuda di angkasa menuju ke Gunung Hitam. Vidhura tidak pun tercedera disebabkan oleh pokok-pokok atau batu-batu.
Punnaka seterusnya cuba menakutkan Vidhura. Dia menjelma dirinya. menjadi hantu, tetapi Vidhura tidak takut sedikit pun. Kemudian dia bertukar menjadi singa, kemudian menjadi seekor gajah; selepas itu menjadi seekor ular yang sangat besar. Vidhura. masih juga tidak gentar. Punnaka cuba pula membuat
angin yang bertiup kencang, tetapi Vidhura tetap membisu. Lepas itu dia meletakkan Vidhura di atas puncak gunung dan menukar dirinya menjadi seekor gajah yang amat besar. Dia menggegarkan dan menggoyang gunung itu dari kiri ke kanan, dan dari kanan ke kiri tak ubah seperti sebatang pokok palma. Namun demikian Vidhura tidak takut. Seterusnya Punnaka masuk ke dalam gunung itu dan membuat suatu bunyi yang sungguh kuat dan menakutkan; tetapi semua usahanya gagal untuk menakutkan Vidhura.
Dia terlintas suatu fikiran, "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!" Dia menangkap Vidhura, sambil berdiri di atas kemuncak gunung itu, Punnaka menghayun Vidhura dalam keadaan kepalanya ke bawah. Semasa ianya dihayun sedemikian, Vidhura menyoal Punnaka, "Apakah sebabnya maka kamu hendak membunuh saya ?" Selepas sebab-musababnya diberitahu, Vidhura pun fahamlah bahawa kata-kata Permaisuri itu telah disalah tafsir. Permaisuri itu bukannya inginkan jantung di dalam badan Vidhura. Apa yang baginda mahukan ialah jantung kebijaksanaannya.
Vidhura meminta Punnaka mendengar dia berkhutbah terlebih dahulu. Selepas itu dia rela memberi jantungnya. Setelah Punnaka mendengar khutbah Vidhura, dia menyedari tentang kejahatan yang telah dilakukannya. Lantarannya dia telah membebaskan Vidhura. Walau bagaimanapun Vidhura tidak terus pulang ke negerinya. Sebaliknya dia menyuruh Punnaka membawanya ke alam naga untuk membetulkan segala sangkaan yang salah itu.
Punnaka membawa Vidhura berjumpa Raja Naga. Vidhura berdiam diri sahaja, dan Raja Naga sangkakan dia takut. Tetapi Vidbura menjelaskan, dia tidak takut walaupun kepada mati. Vidhura seterusnya bertanya Raja Naga, sama ada baginda tahu bagaimana baginda boleh dilahirkan dalam dunia yang penuh kegembiraan, dengan berbagai-bagai perkara yang gilang-gemilang. Raja Naga menerangkan baginda telah membuat amalan-amalan yang baik di masa silam. "Semasa kami menjadi manusia dulu," kata raja, "isteri beta dan beta sendiri hidup dengan penuh keimanan. Kami menjaga sami-sami dan Brahmin di rumah kami. Kami menghadiahkan bunga malai, air wangi, ubat-ubatan, lampu-lampu, kerusi-kerusi, tempat-tempat berehat, kain baju, katil-katil, makanan dan minuman. Disebabkan pemberian itulah kami dilahirkan di alam Naga dan di istana yang indah permai ini.
"Oleh itu Tuanku patutlah meneruskan amalan baik itu supaya Tuanku akan dapat tinggal di istana lagi."
"Tetapi di sini tiada sami atau Brahmin yang mana beta boleh memberi sedekah,"jawab Raja.
"Naga-naga di sini mempunyai anak-anak dan isteri-isteri mereka. Hindarilah daripada melakukan kejahatan terhadap mereka, sama ada dari segi perlakuan atau percakapan. Dengan itu Tuanku akan tetap di sini sepanjang hayat; dan selepas mangkat, akan pergi ke dunia dewa-dewa.
Raja Naga sungguh suka hati mendengar ajaran Vidhura itu. Fikir baginda, "Beta akan membawanya kepada Vimala dan biarkan dia mendengar nasihat-nasihatnya." Apabila Vimala melihat Vidhura, baginda menyembah memberi hormat. Alangkah bahagianya hati baginda ketika itu. Vidhura berkhutbah kepada permaisuri Vimala. Selepas itu ia berkata, "Usahlah risau, 0 Naga! Saya sudah ke mari untuk apa jua pun puan hendak guna badan patik, atau jantung dan daging patik, patik sedia menyerah diri dan akan menurut segala hasrat puan."
"Kebijaksanaanmu laksana jantung bagi orang-orang yang arif," kata Raja Naga. "Kami sungguh bahagia hari ini kerana kebijaksanaanmu. Biarlah orang yang membawa tuan ke mari mendapatkan bakal isterinya dan membawa tuan pulang ke negeri Kuru hari ini juga. "
Pada awal pagi, hari yang sama. Raja Dhananjaya bermimpi. Mimpi baginda begini: Di pintu istana raja terdapat sebatang pokok besar yang mana dahannya umpama kebijaksanaan, rantingnya umpama
kebaikan, serta buah-buahnya terdiri daripada lima hasil tenusu (susu, minyak sapi, dadih susu, mentega dan susu cair yang lemaknya telah diasingkan)
Pokok ini ditutup dengan gajah-gajah, kuda-kuda yang dihiasi dengan kain-kain penutup yang indah-indah. Ramai orang yang datang menyembahnya dengan penuh hormat. Tiba-tiba datang seorang berkulit hitam memakai kain merah, subang yang terdiri daripada bunga merah, membawa senjata di tangannya lalu menebang pokok itu di umbinya. Orang ramai merayu supaya jangan dipotong pokok itu, tetapi tidak dihiraukannya. Kemudian diheretnya pokok itu pergi dari situ.
Raja Dhananjaya tahu maksud mimpi baginda. Vidhura diibaratkan sebagai pokok itu dan Punnaka orang yang memotongnya. Raja menitahkan rakyat jelata berkumpul di dalam Dewan Kebenaran menunggu kepulangan Vidhura Pandita dan Punnaka. Apabila Vidhura tiba. Raja menyuruh beliau duduk berhampiran dengan pintu di tengah-tengah majlis perhimpunan di dalam Dewan Kebenaran itu. Kemudian Punnaka dan Puteri Irandati meninggalkan mereka untuk pulang ke kota mereka di kayangan.
Setiap orang sangat sukahati dapat bertemu dengan Vidhura Pandita semula. Raja bertanya kepada Vidhura, "Bagaimana Brahmin muda itu boleh melepaskan kamu?" Lalu diterang oleh Vidhura segala apa yang telah berlaku:
"O Tuanku! Orang yang tuanku katakan orang muda itu bukannya sembarangan orang. Beliau ialah Punnaka, menteri kepada Raja Vessanvana. Punnaka mencintai puteri Irandati, iaitu puteri Raja Naga yang bernama Varuna. Dia bercadang hendak membunuh patik untuk mendapatkan puteri yang dicintainya itu. Sekarang dia sudah pun beristerikan puteri idamannya itu. Patik dibenarkan pulang. Raja Naga juga memberi permata kepada baginda patik." Vidhura juga menjelaskan bagaimana Raja Nagatsalah paham akan kehendak permaisuri yang sebenarnya. Bukannya jantung Vidhura yang dikehendaki baginda; tetapi kebijaksanaan serta khotbah Vidhura yang baginda ingin mendengamya.
Raja beserta sekalian rakyat begitu gembira sekali, sehinggakan mereka mengadakan perayaan sebulan lamanya. Bodhisatta berkhutbah kepada Raja dan sekalian orang dengan menyuruh mereka melakukan perbuatan yang baik serta memberi sedekah. Selepas raja mangkat, baginda dilahirkan di alam surga
Jika seseorang mendampingi dan mengikuti orang bijak yang sudi membetulkan kesalahannya,
diumpamakan dia telah menjejakkan langkah ke khazanah.
Dia akan mendapat keuntungan dan bukannya kerugian.
( Dhammapada, ayat 76 )
Orang yang bijak harus menasihati orang lain,
memberi tunjuk ajar demi mencegah mereka melakukan kejahatan.
Ia dipandang mulia oleh orang baik-baik, sebaliknya dicemuhi oleh orang yang jahat.
( Dhammapada, ayat 77 )

Selasa, 24 Mei 2011

CANDI-CANDI BUDDHIS INDONESIA

1. Candi Borobudur


Ciri-Ciri nya :
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.

2. Candi Mendut


Ciri-Ciri nya :
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi Borobudur.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.

3. Candi Ngawen


Ciri-Ciri nya :
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M.

4. Candi Lumbung


Candi Lumbung adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan dari satu candi utama (bertema bangunan candi Buddha)
Ciri-cirinya :
Dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.

5. Candi Banyunibo


Candi Banyunibo yang berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) adalah candi Buddha yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur dari kota Yogyakarta ke arah kota Wonosari. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini terdapat sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha.
Ciri-cirinya:
Keadaan dari candi ini terlihat masih cukup kokoh dan utuh dengan ukiran relief kala-makara dan bentuk relief lainnya yang masih nampak sangat jelas. Candi yang mempunyai bagian ruangan tengah ini pertama kali ditemukan dan diperbaiki kembali pada tahun 1940-an, dan sekarang berada di tengah wilayah persawahan.

6. Kompleks Percandian Batujaya


Kompleks Percandian Batujaya adalah sebuah suatu kompleks sisa-sisa percandian Buddha kuna yang terletak di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan candi yang tersebar di beberapa titik.
Cirri-cirinya:
Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan.
Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama.

7. Candi Muara Takus


Candi Muara Takus adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia. Kompleks candi ini tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, Riau. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan.
Ciri-cirinya:
Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter diluar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.

8. Candi Sumberawan


Candi Sumberawan hanya berupa sebuah stupa, berlokasi di Kecamatan Singosari, Malang. Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari. Candi ini Merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu.
Candi Sumberawan terletak di desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, +/- 6 Km, di sebelah Barat Laut Candi Singosari, candi ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran P. 6,25m L. 6,25m T. 5,23m dibangun pada ketinggian 650 mDPL, di kaki bukit Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi Rawan.
Cirri-cirinya:
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.

9. Candi Brahu


Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Buddha, didirikan abad 15 Masehi. Pendapat lain, candi ini berusia jauh lebih tua ketimbang candi lain di sekitar Trowulan. Menurut buku Bagus Arwana, kata Brahu berasal dari kata Wanaru atau Warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci seperti disebutkan dalam prasasti Alasantan, yang ditemukan tak jauh dari candi brahu. Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok pada tahun 861 Saka atau 9 September 939,
Cirri-cirinya:
Candi Brahu merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja Brawijaya. Anehnya dalam penelitian, tak ada satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Lebih lebih setelah ada pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1990 hingga 1995.

10. Candi Sewu


Candi Sewu adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks candi Prambanan (hanya beberapa ratus meter dari candi utama Roro Jonggrang). Candi Sewu (seribu) ini diperkirakan dibangun pada saat kerajaan Mataram Kuno oleh raja Rakai Panangkaran (746 – 784). Candi Sewu merupakan komplek candi Buddha terbesar setelah candi Borobudur, sementara candi Roro Jonggrang merupakan candi bercorak Hindu.
Menurut legenda rakyat setempat, seluruh candi ini berjumlah 999 dan dibuat oleh seorang tokoh sakti bernama, Bandung Bondowoso hanya dalam waktu satu malam saja, sebagai prasyarat untuk bisa memperistri dewi Roro Jonggrang. Namun keinginannya itu gagal karena pada saat fajar menyingsing, jumlahnya masih kurang satu.