A. Delapan anugerah yang diminta Pangeran Siddharta kepada Raja Suddhodana :
1.Anugerah supaya tidak menjadi tua
2.Anugerah supaya tidak sakit
3.Anugerah supaya tidak mati
4.Anugerah supaya ayah tetap bersamaku
5.Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama kerabat lain tetap hidup
6.Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang
7.Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan
semua nafsu keinginannya
8.Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua dan mati
B. Sikap Raja Suddhodana setelah Panngeran Siddharta meminta delapan anugerah
Raja Suddhodana menjadi kaget dan kecewa. Raja menjawab bahwa hal-hal yang berada di atas berada diluar kemampuannya dan masih mencoba membujuknya dengan mengatakan “Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut.Tunggu saja dan tangguhkan kepergianmu sampai aku sudah mangkat.”
“Ayah relakan kepergianku justru sewaktu ayah masih hidup. Aku berjanji bila sudah berhasil akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat yang telah ku temukan kehadapan ayah.”
C. Peristiwa kepergian Pangeran Siddharta di tengah malam
Pada tengah malam Pangeran terbangun dan memandang kesekelilingnya. Pangeran melihat gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang siur yang tergeletak di lantai dalam sikap yang beraneka ragam, ada yang terlentang ada yang tengkurap, ada yang mengigau dan lain-lain. Pangeran merasa seperti dipekuburan dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Pemandangan ini membuat pangeran jijik dan muak, sehingga beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan istana pada malam itu juga.
Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Kanthaka, kuda kesayangannya. Pangeran kemudian pergi kekamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutup sang bayi sehingga muka bayi tidak dapat terlihat.
Setelah itu Pangeran meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka yang berbulu putih diikuti oleh Channa yang memegang buntut kuda. Seolah-olah sudah diatur terlebih dulu oleh para dewa, Pangeran Siddharta tidak mendapat kesukaran waktu hendak keluar dari pintu gerbang istana dan waktu hendak keluar dari pintu tembok kota.
Ketika itu Pangeran dicegat oleh dewa Mara yang jahat dan membujuknya untuk kembali ke istana dan ia berjanji bahwa dalam waktu satu minggu Pangeran akan menjadi raja negara Sakya. Pangeran tidak menggubris bujukan dewa Mara yang membuat dewa Mara menjadi marah dan mengancam akan terus membuntutinya.
Setelah sampai diluar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali. (ditempat itu didirikan sebuah cetiya yangdinamakan Kanthakanivattana-cetiya). Saat itu terang bulan di bulan Asalha dan Pangeran berusia 29 tahun. Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya dan Malla dan kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi sungai Anoma.
D. Peristiwa yang terjadi di tepi sungai Anoma
Pangeran menghentikan kuda istananya di tepi sungai Anoma. Pangeran merenungkan arti dari nama sungai itu sebagai tanda pelepasannya. Beliau mengucap tekad: “semoga pelepasanku tidaksia-sia, namun bersifat luhur.” (Anoma berarti “tidak sia-sia”). Lalu Pangeran turun dari kuda, mencopot semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut dikepalanya dengan pedang dan melemparkannya keudara (yang disambut oleh dewa Sakka dan membawanya ke sorga Tavatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya). Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli (+ dua inci) semasa hidupnya sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi.
Selanjutnya, Brahma Chatikara mempersembahkan kepada pangeran keperluan seorang bhikkhu yang terdiri dari delapan rupa barang, yaitu: jubah luar, jubah dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan saringan air, setelah menukar pakaiannya dengan jubah bhikkhu pangeran memerintahkan Channa untuk kembali ke istana, namun Channa hendak mengikuti Pangeran tetapi Pangeran menolak dan menyuruh Channa membawa pakaian dan perhiasan pulang dan memberikan kepada Raja Suddhodana.
Kembalinya Channa bersama Kanthaka (tanpa Pangeran) ke Kapilavatthu disambut oleh Raja dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dantangisan. Channa menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada bagindaRaja dan menyampaikan salamperpisahan Pangerankepada ibunya dan Yasodhara beserta segenapkeluarga. Selanjutnya Channa memberitahukan bahwa Pangeran berada di tepi sungai Anoma di Negara Malla.
untuk melihat VIDEO RIWAYAT SINGKAT BUDDHA GOTAMA silahkan KLIK DI SINI
Jumat, 10 Desember 2010
Senin, 06 Desember 2010
soal tes contoh
TES AKHIR SEMESTER
dapat di unduh di sini
Mata Pelajaran : Pendidikan Agama BuddhaKelas : X (Sepuluh)Hari / Tanggal :Waktu : (60 Menit)
- Tulislah terlebih dahulu Nama, Kelas, Nomor Tes Anda pada lembar jawaban yang telah tersedia.
- Periksalah soal dengan teliti sebelum anda menjawabnya.
- Laporkan kepada pengawas bila terdapat tulisan yang kurang jelas, rusak, atau jumlah soal kurang.
- Jenis soal pilihan ganda, sebanyak 50 butir soal.
- Tulislah jawaban Anda pada lembar jawab yang tersedia.
- Dahulukan menjawab soal yang Anda anggap mudah.
- Periksalah pekerjaan Anda sebelum diserahkan kepada pengawas tes.
1. Dibawah ini yang merupakan pengertian agama secara umum adalah....
2. Kebebasan warga negara Indonesia diatur pemerintah dalam….a Ajaran para Nabib. Ajaran kebenaran cara beribadah
c. Kumpulan ajaran moral dan spiritual
d. Kumpulan ajaran Buddha Gotama
e. Sarana beribadah
a. Pancasila d. Keppres No 70 Thn 19783. Agama yang diakui pemerintah Indonesia saat ini sesuai undang-undang adalah berjumlah....
b. UUD 1945 pasal 29 e. GBHN
c. Pembukaan UUD 1945
a. 9 d. 64. Terciptanya Ti Kerukunan Umat Beragama ditentukan oleh....
b. 8 e. 5
c. 7
a. Pemerintah d. Pemuka Agama5. makna dari mengembangkan kerukunan intern umat beragama adalah untuk menjaga…
b. Polisi e. Pemeluk Agama
c. Presiden
a. Kerukunan antar pemeluk agama6. Buddha mengajarkan toleransi kepada para siswanya dengan memberi contoh seperti ketika
b. Kerukunan antarpemeluk satu agama
c. Kerukunan antar pemeluk agama dengan pemerintah
d. Kerukunan antar pemeluk agama dengan pemuka agama
e. Kerukunan antar pemuka agama
menerima murid yang bernama…
a. Ananda d. Visaka7. Kerukunan umat beragama pada jaman majapahit dituliskan dalam kitab karangan Μpu
b. Chana e. Sigala
c. Upali
Tantular yang berjudul.…
a. Primbon d. Sutasoma8. Dasar Keyakinan umat Buddha meliputi tiga komponen,yaitu…
b. Negarakertagama e. Jawa Kawi
c. Sanghyang Kamahayanikan
a. Sadha, Sacca, Barhma Vihara d. Buddha, Dhamma, Sangha9. Sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha adalah seperti berikut, kecuali…
b. Sila, Samadhi, panna e. Sadha, Sila, Bhakti
c. Mano, Vaci, Kaya
a. Parama Buddha d. Yang Esa10. Keyakinan dalam agama Buddha diistilahkan dengan sebutan…
b. Sanghyang Adi Buddha e. Maha Pencipta
c. Hyang Tathagata
a. Saddha d. Panna11. Di bawah ini yang bukan merupakan bagian dari hukum kesunyataan adalah.…
b. Sila e. Viriya
c. Samadhi
a. Cattari Ariya Saccani d. Paticcasamupada12. Kesunyataan Mulia Tentang Akhir Dukkha adalah…
b. Kamma Dan Punarbhava e. Tri Ratna
c. Tilakhana
a. Dukkha Ariya Sacca d. Dukkha Niroda Gaminipatipada13. Sebab utama penderitaan dalam Cattari Ariya Saccani adalah…
b. Dukkha Samudaya Ariya Sacca e. Dukha-Dhukha ariya Sacca
c. Dukkha Niroda Ariya Sacca
a. Lobha d. Karma14. Melatih Samma Vaca dalam pengembangan Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah
b. Dosa e. Tanha
c. Moha
mengembangkan.…
a. Pandangan Benar d. Pikiran Benar15. Pengertian Arya Athangika Magga adalah....
b. Ucapan Benar e. Perhatian Benar
c. Perbuatan Benar
a. 8 jalan pokok d. Jalan utama berunsur 816. Segala sesuatu yang terkondisi adalah tanpa inti yang kekal, merupakan pengertian dari…
b. 8 jalan utama e. 8 jalan keberan
c. Jalan utama berjumlah 8
a. Sabbe Sankhara Anicca d. Sabbe Sankhara Anatha17. Tilakhana adalah hukum tentang…
b. Anicca Vatha Sankhara e. Sabbe Dhamma Anatha
c. Sabbe Sankhara Dukkha
a. Tiga akar kejahatan d. Tiga Mustika
b. Tiga Corak Kehidupan e. Tiga Alam kehidupan
c. Tiga Perlindungan
18. Buddha sebagai guru pembimbing mengajarkan dhamma yang indah pada awal, pada
pertengahan, pada ahir. dhamma yang indah pada awalnya memiliki makna…
pertengahan, pada ahir. dhamma yang indah pada awalnya memiliki makna…
a. Mengundang orang untuk mempraktikan dhamma19. Raja Asoka melaksanakan Dharmayatra untuk pertama kalinya pada tahun....
b. Orang yang telah mendengan dhamma akan merasa tentram dan tenang
c. Orang yang telah mendengan dhamma akan bebasdari penderitaan
d. Orang yang telah mendengan dhamma akan memperoleh pahala
e. Setelah praktik dhamma akan memperoleh kebahagiaan
a. 256 M d. 623 M20. Raja asoka mendukung penuh penyelengaraan siding sangha yang dipimpin oleh bikkhu
b. 249 SM e. 588 M
c. 543 SM
moggaliputta.sidang sangha keberapakah itu…
a. 2 d. 521. Kumarajiva merupakan guru dari aliran…
b. 3 e. 6
c. 4
a. Mahayana d. Sarvastivada22. Karya Kumarajiva adalah sebuah kitab yang berjudul…
b. Madyamika e. Staviravada
c. Zen
a. Mahaprjanaparamita Sutra d. Saddharmapundarika sutra23. Ketuhanan dalam agama Buddha adalah ajatam, abbhutam, akatam, asamkhatam.Abhutam
b. Mahaprajnaparamita Sastra e. Sata sutra
c. Gandavyuha Sutra
adalah…..
a. Tidak dilahirkan d. Yang tunggal24. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha dicapai bukan melalui proses
b. Tidak tercipta e. Tidak menjelma
c. Yang Mutlak
evolusi dan penalaran melainkan melalui bodhi, yaitu…..
a. Pembebasan Mutlak d. Maha Parinibbana25. Kepercayaan terhadap Tuhan dalam agama Buddha dijelaskan di dalam kitab....
b. Nibbana e. Benih Kebuddhaan
c. Penerangan Sempurna
a. Udana VIII.3 d. Vinaya Pitaka26. Dhammaniyama di uraikan Buddha dalam kotbah yang disebut Dhamaniyama Sutta, yang
b. Udana III.8 e. Udana VIII.13
c. Sutta Pitaka
terdapat dalam kitab….
a. Digha Nikaya d. Samyutta Nikaya27. Kitab yang menguraikan Dhammaniyama menjadi bermacam-macam ilmu hukum adalah….
b. Majjhima Nikaya e. Kudhaka Nikaya
c. Anguttara Nikaya
a. AnguttaraNikaya I d. Abhidhamma Pitaka28. Dalam Anguttara Nikaya Buddha Gotama menyebutkan seribu tata surya kecil yang
b. AnguttaraNikaya II e. Dhammasangani Atthakatha
c. Samyutta Nikaya
dinamakan……
a. Sahassi Majjhimakalokadhatu d. Sahassi Culadhatu29. Alam semesta dibabarkan Buddha dalam Anguttara Nikaya Kepada Bhikkhu Ananda dalam…..
b. Sahassi Catummaharajika e. Culanikalokadhatu
c. Sahassi Culanikalokadhatu
a. Cula Vagga d. Ananda vagga30. “Ada banyak system dunia yang jumlahnya bagaikan pasir sungai gangga”. Ungkapan mengenai
b. Ananda Sutta e. Bhikkhu Vagga
c. Ananda Pitaka
alam semesta tersebut disampaikan Buddha gotama dalam….
a. Maha Parinibbana Sutta d. Dhammaniyama Sutta31. Perhatikan macam-macam Sutta di bawah ini!
b. Mahaprajnaparamita Sutra e. Lankavatara Sutra
c. Aganna Sutta
1. Aganna Sutta
2. Patika Sutta
3. Brahmajala Sutta
4. Dhammaniyama Sutta
5. Karaniya Metta Sutta
Sutta yang menyebutkan tentang kejadian bumi dan manusia adalah….
a. 1 dan 3 d. 2 dan 432. Aganna Sutta memuat tentang percakapan Buddha dengan….
b. 1 dan 4 e. 3 dan 5
c. 2 dan 5
a. Bhikkhu Ananda d. Vasettha33. Penyebab terjadinya perbedaan bentuk fisik manusia pada awal mula kehidupan disebabkan
b. Bhikkhu Sariputra e. Suku Kalama
c. Bhikkhu Moggalana
oleh....
a. Keserakahan d. Nafsu34. Delapan sebab gempa bumi diuraikan Buddha Gotama kepada bhikkhu Ananda dalam kotbah....
b. Kemunafikan e. Makanan
c. Iri Hati
a. Brahmajala Sutta d. Mahaprajnaparamita Sutra35. Teori Darwin dan Buddhime sedikit ada persamaan mengenai Evolusi. Keduanya sepakat bahwa yang mempengaruhi evolusi adalah....
b. Aganna Sutta e. Dhammaniyama Sutta
c. Mahaparinibbana Sutta
a. Adaptasi d. Lingkungan36. Apa yang paling berpengaruh terhadap percepatan kehancuran bumi ?
b. Keanekaragaman Hayati e. Suhu Bumi
c. Gen
a. Moral manusia yang buruk d. Kebodohan Manusia37. Dalam reproduksi terdapat proses genetika yaitu pewarisan sifat-sifat keturunan, proses tersebut
b. Kemajuan teknologi e. Keserakahan Manusia
c. Efek rumah kaca
termasuk dalam….
a. Utu Niyama d. Citta Niyama38. Utu Niyama membantu proses Bija Niyama pada tumbuhan dalam proses….
b. Bija Niyama e. Dhamma Niyama
c. Kamma Niyama
a. Perkembangan d. Peremajaan39. Kamma Niyama sebagai bagian dari Dhammaniyama memiliki dua aspek, yaitu:
b. Pertumbuhan e. Penyerbukan
c. Pembiakan
a. Kosmis dan Moral d. Sekarang dan akan datang40. Karma dilakukan melalui tiga saluran yaitu…
b. Fisik dan Psikis e. Kekal dan tidak kekal
c. Sebab dan Akibat
a. Ucapan, Perkataan, Perbuatan d. Badan jasmani, ucapan, kehendak41. Suatu kediaman yang penuh dengan kebahagiaan dapat disebut sebagai…
b. Ucapan, Pikiran, badan jasmani e. Perkataan, pikiran, ucapan
c. Pikiran, Kehendak, Perbuatan
a. Brahma Vihara d. Panna42. Metta dan Karuna berperan dalam usaha melenyapkan kekotoran batin, yaitu:
b. Nibbana e. Samadhi
c. Kamma
a. Moha da Avija d. Lobha dan Dosa43. Salah satu cara mengatasi kemarahan dan kebencian dalam diri adalah dengan....
b. Tanha dan moha e. Lobha danTanha
c. Dosa
a. Menyadari bahwa kita menanggung dosa orang tua.44. Untuk menghayati metta adalah dengan mengamalkan kotbah Buddha yang terdapat dalam
b. Saling memaafkan.
c. Memperhatikan keburukan orang yang dibenci.
d. Menyadari bahwa kita adalah pewaris karmanya sendiri.
e. Mengurung diri.
parita….
a. Brahmavihara d. Mangala Sutta45. Pengembangan meditasi dengan obyek brahma vihara maksimal hanya bisa sampai tingkat jhana
b. Karaniya Metta Sutta e. Jaya Mangala Gatha
c. Ratana Sutta
III adalah dengan obyek…..
a. Metta, karuna, mudita d. Metta, karuna, upekha46. Pernyataan di bawah ini mana yang merupakan pengembangan mudita adalah....
b. Metta,mudita, upekha e. Jawaban a,b,c,dan d benar
c. Mudita, upekha, karuna
a. Iri melihat teman juara kelas dan diri sendiri rangking dua47. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah dengan mengembangkan...
b. Senang mengetahui teman remidi dan diri sendiri tidak
c. Sedih melihat tetangga beli motor baru karena diri sendiri tidak punya
d. Bahagia melihat musuh meninggal
e. Bahagia melihat orang lain menjadi Bhikkhu
a. Pancasila dan Pancadhamma d. Pancasila dan Panca Niyama48. Kamma Niyama tidak berlaku lagi bila makhluk hidup…..
b. Pancasila dan Brahma Vihara e. Pancadhamma dan BrahmaVihara
c. Panca Niyama Dan Brahma Vihara
a. Terlahir di alam Surga49. Agama Buddha memandang Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai….
b. Tidak terlahir di 31 alam kehidupan/nibbana
c. Terlahir di alam arupa
d. Terlahir di 31 alam kehidupan
e. Terlahir di alam brahma
a. Yang Maha Agung d. Dewa penolong50. berikut ini yang merupakan syarat umum terjadinya pelangaran pancasila buddhis adalah....
b. Maha Pencipta e. Yang Abstrak dan Absolut
c. Yang Tunggal
a. Ada Obyek, Ada Usaha, Terlaksana d. Ada Subyek, Ada Niat, Ada Usaha
b. Ada Usaha, Ada Niat, Terlaksana e. Ada Obyek, Ada Pelaku, Ada Usaha
c. Ada Obyek, Ada Subyek, AdaUsaha
MANGGALA SUTTA (Sutta tentang Berkah Utama)
EVAMME SUTAM,
EKAM SAMAYAM BHAGAVA, SAVATTHIYAM VIHARATI, JETAVANE ANATHAPINDIKASSA ARAME.
ATHA KHO ANATHARA DEVATA, ABHIKKANTAYA RATTIYA ABHIKKANTAVANNA KEVALAKAPPAM JETAVANAM OBHASETVA. YENA BHAGAVA TENUPASANKAMI, UPASANKAMITVA BHAGAVANTAM ABHIVADETVA EKAMANTAM ATTHASI, EKAMANTAM THITA KHO SA DEVATA BHAGAVANTAM GATHAYA AJJHABASI:
BAHU DEVA MANUSSA CA
MANGALANI ACINTAYUM
AKANKHAMANA SOTTHANAM
BRUHI MANGALAMUTTAMAM
ASEVANA CA BALANAM
PANDITANANCA SEVANA
PUJA CA PUJANIYANAM
ETAMMANGALAMUTTAMAM
PATIRUPADESAVASO CA
PUBBE CA KATAPUNNATA
ATTASAMMAPANIDHI CA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
BAHUSACCANCA SIPPANCA
VINAYO CA SUSIKKHITO
SUBHASITA CA YA VACA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
MATAPITU UPATTHANAM
PUTTADARASSA SANGAHO
ANAKULA CA KAMMANTA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
DANANCA DHAMMACARIYA CA
NATAKANANCA SANGAHO
ANAVAJJANI KAMMANI
ETAMMANGALAMUTTAMAM
ARATI VIRATI PAPA
MAJJAPANA CA SANNAMO
APPAMADO CA DHAMMESU
ETAMMANGALAMUTTAMAM
GARAVO CA NIVATO CA
SANTUTTHI CA KATANNUTA
KALENA DHAMMASAVANAM
ETAMMANGALAMUTTAMAM
KHANTI CA SOVACASSATA
SAMANANANCA DASSANAM
KALENA DHAMMASAKACCHA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
TAPO CA BRAHMACARIYANCA
ARIYASACCANA DASSANAM
NIBBANASACCHIKIRIYA CA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
PHUTTHASSA LOKADHAMMEHI
CITTAM YASSA NA KAMPATI
ASOKAM VIRAJAM KHEMAM
ETAMMANGALAMUTTAMAM
ETADISANI KATVANA
SABBATTHAMAPARAJITA
SABBATTHA SOTTHIM GACCHANTI
TANTESAM MANGALAMUTTAMAM` TI.
Demikianlah telah kudengar :
Pada suatu ketika Sang Bhagava menetap di dekat Savatthi, dihutan Jeta di Vihara Anathapindika. Maka datanglah dewa, ketika hari menjelang pagi, dengan cahaya yang cemerlang menerangi seluruh hutan Jeta menghampiri Sang Bhagava, menghormat Beliau lalu berdiri di satu sisi. Sambil berdiri disatu sisi, dewa itu berkata kepada Sang Bhagava dalam syair ini :
“Banyak Dewa dan manusia
Berselisih paham tentang berkah
Yang diharapkan membawa keselamatan;
Terangkanlah, apa Berkah Utama itu ? “
“Tidak bergaul dengan orang yang tidak bijaksana
Bergaul dengan mereka yang bijaksana.
Menghormat mereka yang patut dihormat ,
Itulah Berkah Utama
Hidup di tempat yang sesuai
Berkat jasa-jasa dalam hidup yang lampau
Menuntun diri ke arah yang benar
Itulah Berkah Utama
Memiliki pengetahuan dan keterampilan
Terlatih baik dalam tata susila
Ramah tamah dalam ucapan
Itulah Berkah Utama
Membantu ayah dan ibu
Menyokong anak dan isteri
Bekerja bebas dari pertentangan
Itulah Berkah Utama
Berdana dan hidup sesuai dengan Dhamma
Menolong sanak keluarga
Bekerja tanpa cela
Itulah Berkah Utama
Menjauhi, tidak melakukan kejahatan
Menghindari minuman keras
Tekun melaksanakan Dhamma
Itulah Berkah Utama
Selalu menghormat dan rendah hati
Merasa puas dan berterima kasih
Mendengarkan Dhamma pada saat yang sesuai
Itulah Berkah Utama
Sabar, rendah hati bila diperingatkan
Mengunjungi para pertapa
Membahas Dhamma pada saat yang sesuai
Itulah Berkah Utama
Bersemangat dalam menjalankan hidup suci
Menembus Empat Kesunyataan Mulia
Serta mencapai Nibanna
Itulah Berkah Utama
Meski tergoda oleh hal-hal duniawi
Namun batin tak tergoyahkan,
Tiada susah, tanapa noda, penuh damai
Itulah Berkah Utama
Karena dengan mengusahakan hal-hal itu
Manusia tak terkalahkan di mana pun juga
Serta berjalan aman ke mana juga
Itulah Berkah Utama.
EKAM SAMAYAM BHAGAVA, SAVATTHIYAM VIHARATI, JETAVANE ANATHAPINDIKASSA ARAME.
ATHA KHO ANATHARA DEVATA, ABHIKKANTAYA RATTIYA ABHIKKANTAVANNA KEVALAKAPPAM JETAVANAM OBHASETVA. YENA BHAGAVA TENUPASANKAMI, UPASANKAMITVA BHAGAVANTAM ABHIVADETVA EKAMANTAM ATTHASI, EKAMANTAM THITA KHO SA DEVATA BHAGAVANTAM GATHAYA AJJHABASI:
BAHU DEVA MANUSSA CA
MANGALANI ACINTAYUM
AKANKHAMANA SOTTHANAM
BRUHI MANGALAMUTTAMAM
ASEVANA CA BALANAM
PANDITANANCA SEVANA
PUJA CA PUJANIYANAM
ETAMMANGALAMUTTAMAM
PATIRUPADESAVASO CA
PUBBE CA KATAPUNNATA
ATTASAMMAPANIDHI CA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
BAHUSACCANCA SIPPANCA
VINAYO CA SUSIKKHITO
SUBHASITA CA YA VACA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
MATAPITU UPATTHANAM
PUTTADARASSA SANGAHO
ANAKULA CA KAMMANTA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
DANANCA DHAMMACARIYA CA
NATAKANANCA SANGAHO
ANAVAJJANI KAMMANI
ETAMMANGALAMUTTAMAM
ARATI VIRATI PAPA
MAJJAPANA CA SANNAMO
APPAMADO CA DHAMMESU
ETAMMANGALAMUTTAMAM
GARAVO CA NIVATO CA
SANTUTTHI CA KATANNUTA
KALENA DHAMMASAVANAM
ETAMMANGALAMUTTAMAM
KHANTI CA SOVACASSATA
SAMANANANCA DASSANAM
KALENA DHAMMASAKACCHA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
TAPO CA BRAHMACARIYANCA
ARIYASACCANA DASSANAM
NIBBANASACCHIKIRIYA CA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
PHUTTHASSA LOKADHAMMEHI
CITTAM YASSA NA KAMPATI
ASOKAM VIRAJAM KHEMAM
ETAMMANGALAMUTTAMAM
ETADISANI KATVANA
SABBATTHAMAPARAJITA
SABBATTHA SOTTHIM GACCHANTI
TANTESAM MANGALAMUTTAMAM` TI.
Demikianlah telah kudengar :
Pada suatu ketika Sang Bhagava menetap di dekat Savatthi, dihutan Jeta di Vihara Anathapindika. Maka datanglah dewa, ketika hari menjelang pagi, dengan cahaya yang cemerlang menerangi seluruh hutan Jeta menghampiri Sang Bhagava, menghormat Beliau lalu berdiri di satu sisi. Sambil berdiri disatu sisi, dewa itu berkata kepada Sang Bhagava dalam syair ini :
“Banyak Dewa dan manusia
Berselisih paham tentang berkah
Yang diharapkan membawa keselamatan;
Terangkanlah, apa Berkah Utama itu ? “
“Tidak bergaul dengan orang yang tidak bijaksana
Bergaul dengan mereka yang bijaksana.
Menghormat mereka yang patut dihormat ,
Itulah Berkah Utama
Hidup di tempat yang sesuai
Berkat jasa-jasa dalam hidup yang lampau
Menuntun diri ke arah yang benar
Itulah Berkah Utama
Memiliki pengetahuan dan keterampilan
Terlatih baik dalam tata susila
Ramah tamah dalam ucapan
Itulah Berkah Utama
Membantu ayah dan ibu
Menyokong anak dan isteri
Bekerja bebas dari pertentangan
Itulah Berkah Utama
Berdana dan hidup sesuai dengan Dhamma
Menolong sanak keluarga
Bekerja tanpa cela
Itulah Berkah Utama
Menjauhi, tidak melakukan kejahatan
Menghindari minuman keras
Tekun melaksanakan Dhamma
Itulah Berkah Utama
Selalu menghormat dan rendah hati
Merasa puas dan berterima kasih
Mendengarkan Dhamma pada saat yang sesuai
Itulah Berkah Utama
Sabar, rendah hati bila diperingatkan
Mengunjungi para pertapa
Membahas Dhamma pada saat yang sesuai
Itulah Berkah Utama
Bersemangat dalam menjalankan hidup suci
Menembus Empat Kesunyataan Mulia
Serta mencapai Nibanna
Itulah Berkah Utama
Meski tergoda oleh hal-hal duniawi
Namun batin tak tergoyahkan,
Tiada susah, tanapa noda, penuh damai
Itulah Berkah Utama
Karena dengan mengusahakan hal-hal itu
Manusia tak terkalahkan di mana pun juga
Serta berjalan aman ke mana juga
Itulah Berkah Utama.
Selasa, 23 November 2010
MEDITASI SAMATHA BHAVANA SESUAI WATAK
Jalan Utama Berunsur Delapan mengajarkan mengenai Samma Samadhi (meditasi benar). Buddha menegaskan bahwa keberhasilan dalam meditasi juga dipengaruhi oleh pemilihan obyek yang sesuai. untuk itu penting adanya mengetahui diri sendiri agar bisa menentukan obyek yang cocok. adanya kalyana mitta juga penting. pada dasarnya manusia memiliki watak berbeda-beda yang kesemuanya ada tujuh macam. watak merupakan pembawaan yang dihasilkan oleh karmanya. orang yang ingin bermeditasi bila obyek meditasinya tidak sesuai watak dirinya maka akan sulit untuk berkonsentrasi. watak manusia secara umum dibedakan menjadi tujuh buah, ada yang kuat dan ada yang merupakan campuran beberapa watak. berikut ini macam-macam watak manusia dan obyek meditasi yang cocok dari 40 macam obyek meditasi samatha bhavana.
1. Raga Carita (Watak penuh nafsu)
Mereka yang berwatak seperti ini sangat sensitif terhadap nilai-nilai keindahan dan keharmonisan, mudah terpengaruh oleh kecantikan wanita atau ketampanan pria, juga akan keindahan musik, literatur, dan lain-lain, yang pada umumnya memuaskan nafsu indera. dalam memenuhi nafsunya orang berwatak raga carita akan melakukan apa saja. Orang berwatak raga carita bila bermeditasi hendaknya memilih obyek salah satu dari 10 Asubha dan Kayagatasati. 10 asubha merupakan sepuluh obyek yang menjijikkan dan berupa mayat. 10 Asubha adalah dengan melihat perkembangan mayat, mulai dari mayat masih baru, membengkak, pecah, bernanah, berbelatung, sampai hanya tinggal tengkorak saja. Kayagatasati merupakan perhatian terhadap badan jasmani dengan memperhatikan badan jasmani ini tidak indah dan tidak menarik yang hanya merupakan kumpulan dari macam-macam unsur yang sangat menjijikkan
2. Dosa carita (membenci)
Watak dosa carita pada umumnya mudah tersinggung oleh masalah sangat kecil sekalipun dan juga mudah bosan, jenkel, kesal, marah, cemburu, iri hati, membenci dan dendam. orang dengan watak dosa carita akan nampak selalu marah, tidak ramah kepada orang lain, sehingga tidak suka bersahabat atau mendekati orang lain. watak dosa carita bila bermeditasi watak yang cocok ada 8 buah, yaitu 4 kasina warna (merah, putih, biru, kuning) dan 4 Appamana / Brahma vihara (metta, karuna,mudita, upekkha)
3. Moha carita (ketidaktahuan / kebodohan)
Orang yang berwatak moha carita ditandai dengan kurangnya kekuatan kecerdasan yang harus diimbangi dengan usaha belajar dan mendekati serta meminta penjelasan orang-orang mulia yang berpengetahuan lebih baik. orang berwatak moha carita biasanya berperilaku konyol, karena tindakannya yang nampak tidak wajar. obyek yang cocok untuk orang berwatak moha carita adalah Anapanasati (memperhatiak pernafasan). memperhatikan keluar dan masuknya nafas.
4. Vitakacarita (khawatir)
Orang berwatak vitaka carita pikirannya sering tidak terkendali atau kacau, sering cemas akan kesukaran-kesukaran, mudah sekali merubah prinsip, sehingga berperangai sebagai orang yang tidak punya pendirian tetap. orang seperti ini sulit dipegang pernyataannya, sebab ia selalu nampak gelisah, takut dan tidak tenang. obyek yang cocok untuk orang berwatak moha carita adalah Anapanasati (memperhatiakan pernafasan). memperhatikan keluar dan masuknya nafas.
5. Saddhacarita (mudah percaya)
Mudah percaya merupakan tanda kurangnya kecerdasan. Segala sesuatu yang didengar walaupun belum jelas asal-usulnya ia akan mudah percaya begitu saja dan diterima seperti sudah terbukti. sehingga orang berwatak saddha carita mudah sekali tertipu. orang berwatak seperti ini dalam meditasinya mengembangkan obyek 6 Anussati (perenungan), yatu perenungan tentang Buddha, Dhamma, Sangha, Sila, Caga, dan Devata
6. Buddhicarita (intelek)
Kecerdasan tidak selalu menjadi kuntungan. kelebihan darinya dapat menjadi suatu kerugian apabila tidak disertai sikap batin yang pantas atau tidak berdasar pada pengetahuan benar. kelbihan tersebut justru bisa menyeret kedalam jurang pandangan salah. orang berwatak seperti ini akan selalu menolak pandangan atau informasi yang kurang masuk akal. dia akan selalu menganggap pandangan dirinya yang paling benar. obyek yang cocok untuk orang berwatak ini adalah maranasati (perhatian terhadap kematian), upasamanussati (perenungan tentang ketenangan), aharepatikkulasanna (perenungan terhadap kejijikan makanan), catudhatu-vavatthana (analisa empat unsur pembentuk tubuh).
7. Sabbacarita (campuran/kombinasi dari 6 watak)
Tipe ini dapat berwatak intelek, mudah marah, nafsu besar, bodoh, mudah percaya, atau khawatir. obyek meditasi yang cocok adalah 6 kasina (pathavi, apo, tejo, vayo, akasa, aloka) dan 4 Arupa (Akasanancayatana, Vinnanancayatana, Akincannayatana, N'evasanna N'asannayatana)
31 ALAM KEHIDUPAN
Dalam Agama Buddha dipercayai adanya 31 Alam Kehidupan yang secara garis besarnya terbagi atas:
1. Empat Alam Kemerosotan (apâyabhûmi),
2. Satu Alam Manusia (manussabhûmi),
3. Enam Alam Dewa (devabhûmi),
4. Enam Belas Alam Brahma Berbentuk (rûpabhûmi), dan
5. Empat Alam Brahma Nirbentuk (arûpabhûmi).
I. Empat Alam Kemerosotan (Apâyabhûmi)
Istilah 'apâyabhûmi' terbentuk dari tiga kosakata, yakni 'apa' yang berarti 'tanpa, tidak ada', 'aya' yang berarti 'kebajikan', dan 'bhûmi' yang berarti 'alam tempat tinggal makhluk hidup'. Apâyabhûmi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan. Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan tidak ada satu makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian dalam kehidupan sekarang. Alam ini juga sering disebut sebagai 'dugga-tibhûmi'.
'Duggati' terbentuk dari dua kosakata, yakni 'du' yang berarti 'jahat, buruk, sengsara', dan 'gati' yang berarti 'alam tujuan bagi suatu makhluk yang akan bertumimbal lahir'. Duggatibhûmi adalah suatu alam kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai se-bagai suatu padanan, duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama persis cakupannya dengan apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri atas empat alam, yakni:
a) Alam Neraka (Niraya),
b) Binatang (Tiracchâna),
c) Setan (Peta),
d) Iblis (Asurakâya).
Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam duggatibhûmi secara tidak menyeluruh dan langsung.
Empat Alam Kemerosotan, alam manusia dan enam alam dewa termasuk sebagai Alam Nafsu Inderawi (kâmabhûmi).
a) Alam Neraka 'Niraya' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'ni' yang berarti 'bukan, tidak ada' dan 'aya' yang berarti 'kebajikan, kebahagiaan, perkembangan'. Niraya atau neraka adalah suatu alam kehidupan yang penuh derita dan siksaan, tanpa kesempatan untuk berbuat kebajikan, tanpa kebahagiaan, tanpa perkembangan. Neraka dalam pandangan Agama Buddha bukanlah suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Apabila akibat buruk dari suatu kejahatan telah terlunasi, mereka yang terjatuh ke dalam neraka akan dapat terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih tinggi tergantung perbuatan-perbuatan lain yang pernah mereka lakukan sepanjang kehidupan-kehidupan lampau. Konon dikisahkan bahwa Mallikâ, yang pernah melakukan perzinahan dengan seekor anjing, berada dalam alam neraka hanya dalam waktu tujuh hari. (Mallikâ adalah permaisuri kesayangan Raja Pasenadi Kosala). Atas kematiannya, raja bertanya kepada Sang Buddha ke alam manakah gerangan istrinya terlahirkan kembali. Beliau tidak menjawab meskipun ditanya setiap hari selama seminggu penuh karena khawatir kalau raja akan bersedih hati mengetahui penderitaan yang harus ditanggung oleh Mallikâ. Baru setelah Mallikâ keluar dari neraka Avîci dan terlahirkan kembali di Surga Tusita, Beliau memberikan jawaban.) Tidaklah 'adil' untuk menjebloskan suatu makhluk sepanjang hidup (selamanya) dalam neraka hanya karena suatu kejahatan yang pernah dilakukannya dengan mengabaikan semua kebajikannya dan tanpa memberi peluang sedikit pun untuk memperbaiki kehidupannya. Neraka bukanlah suatu tempat pelampiasan kesewenang-wenangan suatu Pencipta Adikodrati yang murkah karena diabaikan atau dikhianati oleh makhluk-makhluk ciptaannya.
Neraka terbagi menjadi dua bagian, yaitu Neraka Besar (Mahâ-niraya)
dan Neraka Kecil (Ussadaniraya).
Neraka besar terdiri atas delapan alam:
1) Sañjîva
alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi dibantai dengan pelbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat kamma yang ditanggung. Mereka yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyiksa makhluk lain yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
2) Kâïasutta
alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji dan sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau para bhikkhu-sâmaóera yang suka melanggar vinaya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
3) Saõghâta
alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga luluh lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pemburu, penjagal dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
4) Dhûmaroruva
alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepengapan. Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau nelayan yang menangkap ikan dengan mempergunakan racun dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
5) Jâlaroruva
alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan. Mereka yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau mencoleng benda-benda yang dipakai untuk pemujaan kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
6) Tâpana
alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di atas besi membara. Mereka yang membakar kota, vihâra, sekolahan dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
7) Patâpana
alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak terpancang di bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa pemberian dâna tidak membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mestika tidak berguna, penghormatan kepada dewa tidak berakibat, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk, ayah-ibu tidak berjasa, tidak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
8) Avîci
alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka yang pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu atau Arahanta, melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah pasamuan Saõgha niscaya akan terlahirkan di alam ini. Avîci kerap diang-gap sebagai alam kehidupan yang paling rendah.
Neraka kecil terdiri atas delapan alam:
1) Angârakâsu
alam neraka yang terpenuhi oleh bara api
2) Loharasa
alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair
3) Kukkula:
alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara
4) Aggisamohaka
alam neraka yang terpenuhi oleh air panas
5) Lohakhumbhî
alam neraka yang merupakan panci tembaga
6) Gûtha
alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk
7) Simpalivana
alam neraka yang merupakan hutan pohon ber-duri
8) Vettaranî
alam neraka yang merupakan air garam berisi duri rotan
b) Alam Binatang 'Tiracchâna' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'tiro' yang berarti 'melintang, membujur', dan 'acchâna' yang berarti 'pergi, berjalan'. Tiracchâna atau binatang adalah suatu makhluk yang umumnya berjalan dengan melintang atau membujur, bukan berdiri tegak seperti manusia.
Dengan pengertian lain, binatang disebut Tiracchâna karena merintangi
jalan menuju pencapaian Jalan dan Pahala. Binatang sesungguhnya tidak
mempunyai alam khusus milik mereka sendiri melainkan hidup di alam
manusia. Binatang memiliki hasrat untuk menikmati kesenangan inderawi
serta berkembang-biak; naluri untuk mencari makan, bersarang, dan
sebagainya; dan perasaan takut mati, mencintai kehidupannya. Binatang
tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan kebajikan dari kejahatan,
kebenaran dari kesesatan, dan sebagainya (dhammasaññâ, conscience) kecuali kalau terlahirkan sebagai calon Buddha (bodhisatta) yang sedang memupuk kesempurnaan. Bodhisatta tidak akan terlahirkan sebagai binatang yang lebih kecil dari burung puyuh [semut misalnya] atau lebih besar dari gajah [dinosaurus misalnya].
Binatang mempunyai banyak jenis yang tak terhitung jumlahnya, namun secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi Empat Macam, yakni:
1. yang tak berkaki seperti ular, ikan, cacing dan lain-lain (apada),
2. yang berkaki dua seperti ayam, bebek, burung dan lain-lain (dvipada),
3. yang berkaki empat seperti gajah, kuda, kerbau dan lain-lain (catuppada),
4. yang berkaki banyak seperti kelabang, udang, kepiting dan lain-lain
(bahuppada).
Dalam pandangan Kristen serta beberapa agama Theistik lainnya,
semua binatang akan musnah setelah kematian. Binatang tidak mempunyai roh. Binatang hanya diakui memiliki naluri (instinct), tanpa akal budi. Karena itu, mereka tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Kebahagiaan maupun penderitaan yang dialami bukan ditentukan oleh perbuatan mereka baik dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan kehidupan yang lampau; melainkan merupakan wewenang serta kehendak Tuhan. Binatang diciptakan semata-mata untuk kepentingan umat manusia yang lebih luhur. Tidak ada surga maupun neraka bagi binatang. Ini menimbulkan dilemma bagi umat Kristen yang menginginkan agar binatang peliharaannya dapat hidup bersama lagi di surga sebagaimana di bumi.
c) Alam Setan 'Peta' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'pa' yang berarti 'ke depan, menyeluruh', dan 'ita' yang berarti 'telah pergi, telah meninggal'. Berbeda dengan makhluk yang berada di alam neraka yang menderita karena tersiksa, peta atau setan hidup sengsara karena kelaparan, kehausan
dan kekurangan. Kejahatan yang membuat suatu makhluk terlahirkan sebagai setan ialah pencurian dsb. Seperti binatang, setan tidak mempunyai alam khusus milik mereka sendiri. Mereka berada di dunia ini dan bertinggal di tempat-tempat seperti hutan, gunung, tebing, lautan, kuburan, dan sebagainya. Beberapa jenis setan mempunyai kemampuan untuk menyalin rupa dalam wujud seperti dewa, manusia, pertapa, binatang, atau hanya menampakkan diri secara samar-samar seperti bayang-bayang gelap dan lain-lain.
Setan terbagi menjadi empat jenis, yakni:
1. yang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa dan sebagainya (paradattupajîvika),
2. yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppîpâsika),
3. yang senantiasa terberangus (nijjhâmataóhika),
4. yang tergolong sebagai iblis atau makhluk yang suram (kâlakañcika).
Jenis yang pertama itu dapat menerima penyaluran jasa karena mereka
bertinggal di sekitar atau di dekat manusia, sehingga dapat mengetahui
pemberian ini dan beranumodanâ [menyatakan kenuragaan atas kebajikan yang diperbuat oleh makhluk lain]. Apabila tak tahu dan tak beranumodanâ, penyaluran jasa ini tidak dapat diterima. Orang yang pada saat-saat menjelang kematian mempunyai ke-31 melekatan yang amat kuat pada kekayaan, harta benda, sanak-keluarga, dan sebagainya niscaya akan terlahirkan di alam setan ini.
Dalam Vinaya dan Lakkhaóa-samyutta, disebutkan adanya 21 macam setan, yaitu:
1. yang hanya bertulang tanpa daging (aööhisaõkha-sika),
2. yang hanya berdaging tanpa tulang (maõsapesika),
3. yang berdaging benjol (maõsapióòa),
4. yang tak berkulit (nicchavirisa),
5. yang berbulu seperti pisau (asiloma),
6. yang berbulu seperti tombak (sat-tiloma),
7. yang berbulu seperti anak panah (usuloma),
8. yang berbulu seperti jarum (sûciloma),
9. yang berbulu seperti jarum jenis kedua (duti-yasûciloma),
10. yang berpelir besar (kumbhaóòa),
11. yang terbenam dalam tahi (gûthakûpanimugga),
12. yang makan tahi (gûthakhâdaka),
13. yang berjenis betina tanpa kulit (nicchavitaka),
14. yang berbau busuk (duggandha),
15. yang bertubuh bara api (ogilinî),
16. yang tak berkepala(asîsa),
17. yang berperawakan seperti bhikkhu,
18. yang berperawakan seperti bhikkhunî,
19. yang berperawakan seperti calon bhikkhunî(sikkhamâna),
20. yang berperawakan seperti sâmanera,
21. yang berperawakan seperti sâmanerî.
Sementara itu, Kitab Lokapaññatti serta Chagatidîpanî menyebutkan
adanya 12 macam setan, yaitu:
1. yang makan ludah, dahak dan mun-tahan(vantâsikâ),
2. yang makan mayat manusia atau binatang(kuópâsa),
3. yang makan tahi (gûthakhâdaka),
4. yang berlidah api(ag-gijâlamukha),
5. yang bermulut sekecil lubang jarum (sûcimukha),
6. yang terdorong keinginan tiada habis (taóhaööita),
7. yang bertubuh hitam pekat (sunijjhâmaka),
8. yang berkuku panjang dan runcing (satthaõga),
9. yang bertubuh sangat besar (pabbataõga),
10. yang bertubuh seperti ular piton (ajagaraõga),
11. yang menderita di siang hari tetapi menikmati kesenangan surgawi di malam hari (vemânika),
12. yang memiliki kesak-tian(mahiddhika).
d) Alam Iblis 'Asurakâya' terbentuk atas tiga kosakata, yaitu 'a' yang merupakan unsur pembalik, 'sura' yang berarti 'cemerlang, gemilang', dan 'kâya' yang berarti 'tubuh'. Namun, yang dimaksud dengan 'tak cemerlang' di
sini bukanlah tidak adanya cahaya yang memancar dari tubuh, melainkan
suatu kehidupan yang merana dan serba kekurangan sehingga membuat
batin tidak berceria. Istilah 'asura' mungkin juga berasal dari kisah
kejatuhan dari Surga Tâvatimsa [terkalahkan oleh Sakka dan pengikutnya]
akibat minuman memabukkan (surâ). Sejak itu, mereka bersumpah untuk
tidak meminumnya lagi. Karena sebelumnya pernah bertinggal di alam
kedewaan, asurakâya kadangkala juga disebut sebagai 'pubbadevâ'.
Asurakâya atau iblis terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. iblis berupa dewa(deva-asurâ)
2. iblis berupa setan (peti-asurâ),
3. iblis berupa penghuni neraka (niraya-asurâ).
Deva-asurâ terdiri atas vepacitti, râhu, subali,pahâra, sambaratî, dan vinipâtika. Peti-asurâ terdiri atas kâlakañcika,vemânika, dan âvuddhika. Niraya-asurâ hanya terdiri atas satu jenis, yaitu yang menderita kelaparan dan hidupnya bergelantungan seperti kelelawar.
II. Satu Alam Manusia (manussabhûmi)
Manussa' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'mano' yang berarti 'pikiran, batin' dan 'ussa' yang berarti 'tinggi, luhur, meningkat, berkembang'. Manussa atau manusia adalah suatu makhluk yang berkembang serta kukuh batinnya [mano ussanti etesanti=manussâ], yang tahu serta memahami sebab yang layak [kâranâkaranam manatijânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang bermanfaat dan tak bermanfaat [atthânattam manati jânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang merupakan kebajikan dan kejahatan [kusalâkusalam manati jânâtîti=manusso]. Manusia bertinggal di empat tempat, yaitu Uttarakurudîpa, Pubbavidehadîpa, Aparagoyânadîpa, dan Jambudîpa. Umat manusia yang berada di Uttarakurudîpa berusia sampai seribu tahun, yang berada di Pubbavidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun, yang berada di Aparagoyânadîpa berusia sampai lima ratus tahun, sedangkan yang berada di Jambudîpa berusia tidak menentu, tergantung kadar kebajikan serta kesilaan yang dimiliki. Pernah terjadi bahwa umat manusia tidak begitu mengindahkan kebajikan serta kesilaan sehingga usia rata-rata umat manusia menjadi sependek 10 tahun. Pada zaman Buddha Gotama, usia rata-rata umat manusia ialah 100 tahun. Diprakirakan bahwa setiap satu abad, usia manusia memendek selama satu tahun. Karena Buddha Go-tama telah mangkat sejak dua puluh lima abad
yang lampau, usia rata-rata umat manusia pada saat sekarang ini ialah 75 tahun.
Seorang Sammâsambuddha tidak akan muncul apabila usia rata-rata manusia
lebih pendek dari 100 tahun karena kesempatan bagi kebanyakan orang untuk dapat memahami kebenaran Dhamma terlalu singkat, tetapi juga tidak akan muncul apabila lebih panjang dari 100,000 tahun karena kebanyakan orang akan merasa sulit untuk dapat menembus hakikat ketakkekalan atau kefanaan hidup. Beliau hanya terlahirkan di Jambudîpa, tidak pernah terlahirkan di tiga tempat lainnya apalagi di alam-alam kehidupan selain alam manusia.
Kitab Majjhima Nikâya bagian Mûlapannâsaka memberikan penjelasan secara terinci mengapa manusia mempunyai keadaan yang berbeda. Orang yang dalam kehidupan lampau suka membinasakan atau membunuh makhluk lain niscaya akan terlahirkan sebagai manusia dengan umur pendek; yang suka menganiaya atau menyiksa makhluk lain niscaya akan dihinggapi banyak penyakit; yang suka murkah atau marah niscaya akan berparas buruk; yang suka cemburu atau irihati nis-caya akan tak berwibawa; yang suka berdana atau murah hati niscaya
akan memiliki kekayaan melimpah; yang suka bersikap angkuh atau sombong niscaya akan terlahirkan di keluarga yang rendah; yang tak gemar menimba ilmu pengetahuan atau memperdalam pengertian Dhamma niscaya akan terlahirkan dengan sedikit kebijaksanaan. Demikian pula kebalikannya. Selaras dengan ilmu pengetahuan modern, dalam Aggañña Sutta disebutkan bahwa umat manusia di bumi ini adalah suatu hasil evolusi yang panjang. Manusia bukanlah suatu makhluk yang pada saat pertama kali muncul / lahir di dunia ini sudah berbentuk, berupa atau berwujud sebagaimana yang tertampak pada saat sekarang ini. Dalam wejangan tersebut juga dijelaskan bahwa bumi beserta isinya ini terbentuk dalam suatu proses yang amat panjang, bukan diciptakan secara gaib selama enam
hari pada sekitar 6,000 tahun yang lampau sebagaimana yang ditafsirkan dari Alkitab.
III. Enam Alam Dewa (devabhûmi)
Ada tiga macam deva atau dewa dalam pandangan Agama Buddha, yaitu
1. Upattideva
dewa sebagai makhluk surgawi berdasarkan kelahirannya,
2. Sammutideva
dewa berdasarkan persepakatan atau perandaian misalnya raja, permaisuri, pangeran dan sebagainya,
3. Visud-dhideva
dewa yang suci terbebas dari segala noda batin yang tidak lain ialah Arahanta.
Dewa yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah merujuk pada pengertian yang pertama, Upattideva, yakni makhluk surgawi yang mengenyam kenikmatan inderawi. Makhluk surgawi dalam pandangan Buddhis tidaklah bersifat kekal.
Mereka bisa mati karena salah satu dari empat sebab: genapnya usia,
habisnya kebajikan, terlena dalam kenikmatan hingga lupa makan, murkah atau irihati. Dalam kebanyakan agama Theistik, surga dipercayai sebagai suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Kepercayaan atas 'kekekalan'
alam surga ini sempat menjadi topik perdebatan yang panjang. Dipercayai bahwa manusia jatuh dari Taman Eden dan mengalami pelbagai penderitaan di dunia ini karena ketakpatuhan nenek-moyang mereka, Adam dan Hawa, terhadap perintah serta larangan Tuhan. Hidup bersama Tuhan di alam surga adalah idam-idaman mereka; menjadi tujuan akhir. Manusia pernah bertinggal di Taman Eden, dan kemudian diusir dari sana. Pertanyaan yang perlu dijawab sekarang ialah: Kalau seandainya kita telah masuk surga, apakah mungkin suatu waktu nanti kita akan diusir lagi dari sana? Jika demikian, bagaimana mungkin surga dianggap sebagai suatu alam yang kekal? Apa makna kekekalan itu sendiri? Dalam pandangan Theistik tersebut, manusia adalah suatu makhluk yang penuh dengan kelemahan serta kekurangan. Sangatlah mustahil bagi seseorang untuk dapat memiliki 'kesempurnaan' batiniah. Bahkan, Tuhan yang
dipercayai sebagai Pencipta yang Mahasempurna sendiri sering dikatakan
masih memiliki sifat 'cemburu', 'irihati', 'murkah' dan sebagainya. Yang
perlu direnungkan ialah, apabila dalam sanubari manusia masih terdapat
kekotoran batiniah semacam itu, seandainya nanti mereka bertinggal di
surga yang kekal, apakah tidak mungkin bahwa akan timbul permasalahan
yang berbuntut pada perbuatan-perbuatan berdosa, misalnya membunuh, mencuri, berzinah, berdusta dan sebagainya? Jika kemungkinan ini benar-benar terjadi, lalu bagaimana nasib manusia nantinya? Apa hukuman bagi pelaku dosa? Dijebloskan ke dalam neraka? Diusir dari surga kekal?
Dalam pandangan Agama Buddha, alam surga di mana para dewa-dewi bertempat tinggal dalam kurun waktu yang berbatas [tidak kekal, tidak selamanya] terbagi menjadi enam alam, yaitu:
1. Câtu-mahârâjikâ,
2. Tâvatimsa,
3. Yâmâ,
4. Tusita,
5. Nimmânaratî,
6. Para-nimmitavasavattî.
1) Alam Câtumahârâjikâ adalah suatu alam surgawi paling rendah yang berada dalam kekuasaan empat raja dewa, yakni: Dhataraööha, Virudhaka,
Virûpakkha, dan Kuvera. Empat raja dewa ini juga dipercayai sebagai pelindung alam manusia, dan karenanya dikenal dengan sebutan 'Catulokapâla'. Dalam Kitab Lokîyapakaraóa, empat dewa pelindung dunia ini dipanggil sebagai Inda, Yama, Varuóa dan Kuvera. Berdasarkan tempat tinggalnya, para dewa-dewi tingkat Câtumahârâjikâ terbagi atas tiga, yaitu:
1. yang berada di daratan (bhumattha),
2. yang berada di po-hon(rukkha).Dalam Kitab Ulasan atas Dhammapada dan Buddhavamsa, para dewa-dewi yang hidup di pohon dimasukkan dalam kelompok bhummattha.
3. yang berada di angkasa (âkâsaööha).
Empat raja dewa serta beberapa dewa lainnya mempunyai 'istana' (vimâna)
khusus bagi diri mereka masing-masing. Bagi yang tak mempunyai istana secara khusus, gunung, sungai, lautan, pohon yang ditinggali itulah istana bagi mereka. Kehidupan di Câtumaharâjikâ berlangsung selama 500 tahun dewa atau kira-kira sembilan juta tahun manusia (Perbandingan usia di alam-alam surga tidaklah sama, tergantung tingkatannya. Satu hari di alam surga tertentu berbanding satu abad di alam manusia, dan ada pula yang lebih lama lagi).
Para dewa-dewi di tingkat Câtumahârâjikâ ada yang cenderung berhati jahat, yaitu:
1. Gandhabbo/Gandhabbî: yang berada di pohon-pohon berbau harum, yang belakangan mungkin dikenali oleh orang-orang Jawa sebagai 'gondoruwo'. Makhluk halus ini sangat melekati tempat tinggalnya. Walaupun pohon tempat tinggalnya ditebang, ia masih tetap mengikuti ke mana pohon itu dipindahkan tidak seperti rukkhadeva lainnya, yang akan mengungsi ke pohon lain yang masih hidup,
2. Kumbhanno/Kumbhannî: penjaga harta pusaka, hutan, dan sebagainya,
3. Nâgo/Nâgî: naga yang memiliki kesaktian, yang mampu menyalin rupa dalam wujud makhluk lain seperti manusia, binatang dan sebagainya,
4. Yakkho/Yakkhinî: raksasa yang gemar menganiaya para penghuni neraka.
2) Alam Tâvatimsa adalah alam surgawi tingkat kedua. Alam ini sebelumnya merupakan tempat tinggal para asurakâya. Nama 'Tâvatimsa' baru dipakai setelah 33 pemuda di bawah pimpinan Mâgha, yang terlahirkan kembali di sini akibat kebajikan yang dilakukan bersama-sama, berhasil menyingkirkan para asurakâya.
Para dewa-dewi di Tâvatimsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
1) Bhummaööha: Sakka beserta 32 dewa pembesar,
2) Âkâsaööha: yang bertinggal dalam istana di angkasa.
Ibukota Tâvatimsa ialah Masakkasâra. Balai Sudhamma menjadi tempat
bagi para dewa-dewi untuk memperbincangkan Kebenaran Dhamma di
bawah asuhan Sakka (Beliau berhasil meraih kesucian tingkat Sotâpatti setelah mendengarkan Brahmajâla Sutta). Brahmâ Sanamkumâra kerap menjadi tamu pembabar Dhamma di sini. Buddha Gotama pernah berkunjung ke alam ini, dan bertinggal selama tiga bulan untuk mewejangkan Abhidhamma kepada ibunda-Nya, yang terlahirkan kembali sebagai putra dewa di alam Tusita. Moggallâna Thera juga pernah beberapa kali pergi ke alam ini, dan dari sejumlah penghuninya, beliau memperoleh kesaksian atas perbuatan-perbuatan bajik yang membawa mereka terlahirkan kembali di sini. Kebajikan ini antara lain ialah merawat ayah-ibu, menghormat sesepuh dalam keluarga, berbicara lemah lembut, menghindari penghasutan, mengikis kekikiran, bersifat jujur, menahan marah. Usia rata-rata para dewa-dewi yang terlahirkan di alam Tâvatimsa ialah 1,000 tahun dewa atau kira-kira 36 juta tahun manusia.
3) Yâmâbhûmi adalah alam surgawi tingkat ketiga, menjadi tempat bagi para dewa-dewi yang terbebas dari segala kesukaran, yang terberkahi
dengan kebahagiaan surgawi. Pemegang kekuasaan dalam alam ini ialah Suyâma. Alam ini berada di angkasa. Dalam alam ini dan tingkat yang lebih tinggi, tidak ada dewa-dewi yang tergolong sebagai bhum-mattha yang bertinggal di daratan. Istana, harta serta tubuh para dewa-dewi di alam ini jauh lebih indah dan halus daripada yang bertinggal di Tâvatimsa. Rentang hidup mereka ialah 2,000 tahun dewa atau kira-kira 142 juta tahun manusia.
4) Tusitabhûmi adalah alam surgawi tingkat keempat. Para dewa-dewi yang hidup di alam ini senantiasa berceria atas keberadaan yang dimiliki. Semua Bodhisatta, sebelum turun ke dunia dan meraih Pencerahan Agung, terlahirkan di alam ini untuk menanti waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha. Demikian pula mereka yang akan menjadi orangtua serta Siswa Utama (Aggasâvaka). Sekarang ini, Bodhisatta Metteyya yang akan menjadi Sammâsambuddha setelah ajaran Buddha Gotama punah dari muka bumi ini sedang berada di alam ini. Usia rata-rata di alam ini ialah 4,000 tahun dewa atau kira-kira 567 juta tahun manusia.
5) Nimmânaratîbhûmi adalah alam surgawi tingkat kelima. Para dewa-dewi di alam ini menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka. Rentang hidup para dewa-dewi di alam ini ialah 8,000 tahun dewa atau kira-kira 2,304 juta tahun manusia.
6) Paranimmittavasavattî adalah alam surgawi tingkat terakhir. Apabila para dewa-dewi di alam Nimmânaratî menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka, para dewa-dewi di alam ini menikmatinya dari apa yang diciptakan atau disediakan oleh yang lain, yang tahu kebutuhan serta keinginan mereka. Usia rata-rata di alam ini ialah 16,000 tahun dewa atau kira-kira 9,216 juta tahun manusia.
IV. Enam Belas Alam Brahma Berbentuk (rûpabhûmi)
Rûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan 'rûpâvacaravipâkacitta' atau kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma berbentuk. Dengan perkataan lain, rûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk. Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jhâna yang luhur. Jhâna dihasilkan dari pengembangan Samatha Kammaööhâna meditasi pemusatan batin pada satu objek demi tercapainya ketenangan.
Alam brahma terdiri atas 16 alam, yakni:
1. tiga alam bagi peraih Jhâna pertama (paöhama),
2. tiga alam bagi peraih Jhâna kedua (dutiya),
3. tiga alam bagi peraih Jhâna ketiga (tatiya),
4. dua alam bagi peraih Jhâna keempat(catuttha),
5. dan lima alam Suddhâvâsa.
Pathamajhânabhûmi, Tiga alam bagi peraih Jhâna pertama ialah:
1. Pârisajjâ: alam ke-hidupan bagi brahma pengikut, yang tidak memiliki
kekuasaan khusus,
2. Purohitâ: alam kehidupan bagi brahma penasihat, yang berkedudukan tinggi sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan,
3. Mahâbrahmâ: alam kehidupan bagi brahma yang memiliki kebajikan khusus
yang besar.
Dutiyajhânabhûmi, Tiga alam kehidupan bagi peraih Jhâna kedua atau Jhâna ketiga ialah
1. Parittâbhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya lebih sedikit daripada brahma yang berada di atasnya,
2. Appamâóâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya cemerlang nirbatas,
3. Âbhassarâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya menyebar luas
dari tubuhnya.
Tatiyajhânabhûmi, Tiga alam bagi peraih Jhâna keempat ialah
1. Parittasubhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya indah tapi lebih
sedikit daripada brahma yang berada di atasnya,
2. Appamâóasubhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya indah nirbatas,
3. Subhakióhâ: alam kehi-dupan bagi brahma yang bercahaya indah di sekujur
tubuhnya.
Catutthajhânabhûmi, Dua alam bagi peraih Jhâna kelima ialah:
1. Vehapphalâ: alam kehidupan bagi brahma yang berpahala sempurna,
yang terbebas dari se-gala bahaya,
2. Asaññasatta: alam kehidupan bagi brahma yang bertumimbal lahir dalam
wujud materi berasal dari perbuatan saja(kammajarûpa). Dalam alam ini sama sekali tidak ada unsur batiniah. Kelahiran di alam brahma ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak terhadap unsur batiniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya (saññâvirâgabhâvanâ). Karena tidak dilengkapi dengan unsur-unsur batiniah, di alam ini sama sekali tidak ada kesempatan untuk mengembangkan kebajikan. Makhluk-makhluk yang terlahirkan secara jasmaniah hanya sekadar menghabiskan akibat perbuatan lampaunya. Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan dalam alam ini.
Suddhâvâsabhûmi adalah suatu alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari nafsu birahi (kâmarâga) dan sebagainya, yaitu para Anâgâmî yang berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima. Makhluk-makhluk lain yang belum mencapai kesucian tingkat Anâgâmî, meskipun berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima, tidak akan terlahirkan di alam ini. Di sinilah para Anâgâmî akan meraih kesucian tingkat Arahatta. Para Bodhisatta tidaklah pernah terlahirkan di alam ini sebab makhluk-makhluk yang terlahirkan di alam ini tidak akan terlahirkan kembali di
alam-alam lain yang lebih rendah. Kadangkala, ketika tidak ada Buddha
yang muncul dalam kurun waktu yang lama, alam ini kosong melompong tanpa penghuni.
Alam ini terbagi menjadi lima tingkat, yaitu:
1. Avihâ: alam kehidupan bagi brahma yang tidak meninggalkan tempat tinggalnya hingga habisnya usia,
2. Atappâ: alam kehidupan bagi brahma yang se-nantiasa berada dalam
ketenangan yang menyejukkan,
3. Sudassâ alam kehidupan bagi brahma yang tubuhnya bercahaya sangat
indah menawan hati,
4. Sudassî: alam kehidupan yang lebih sempurna dalam penglihatan daripada
alam Sudassâ,
5. Akanitthâ: alam kehidupan bagi brahma yang terlengkapi dengan harta
surgawi serta kebahagiaan yang tak ter-tandingi oleh alam mana pun. Ini merupakan alam tertinggi bagi para suciwan.
Para Anâgâmî yang berkemampuan menonjol dalam bidang keyakinan (saddhindrîya) niscaya terlahirkan kembali di alam Avihâ; semangat (viriyindrîya) di alam Atappâ; penyadaran jeli (satindrîya) di alam Sudassâ; pemusatan (samâdhindrîya) di alam Sudassî; kebijaksanaan (paññindrîya) di alam Akanitthâ.
V. Empat Alam Brahma Nirbentuk (arûpabhûmi)
Arûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan empat unsur batiniah yakni kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma nirbentuk (arûpâvacaravipâkacitta). Dengan perkataan lain, arûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma nirbentuk. Meskipun disebut sebagai suatu 'alam' yang mengacu pada tempat atau bentuk, di sini sesungguhnya sama sekali tidak ada unsure jasmaniah sehalus apa pun dan dalam wujud apa pun. Sebutan ini terpaksa dipakai untuk dapat mengacu pada kemunculan serta keberadaan unsur-unsur batiniah tersebut. Kelahiran di alam brahma nirbentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya (rûpavirâgabhâvanâ).
Arûpabhûmi terbagi menjadi empat alam, yakni:
1. Âkâsânañcâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat pathama-arûpajhâna yang berobjek pada angkasa yang nirbatas,
2. Viññânañcâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat dutiya-arûpajhâna yang berobjek pada kesadaran yang nirbatas,
3. Âkiñcaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang
berhasil meraih meditasi tingkat tatiya-arûpajhâna yang berobjek pada
kehampaan,
4. Nevasaññânasaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat catuttha-arûpajhâna yang berobjek pada bukan ingatan bukan pula tanpa-ingatan.
1. Empat Alam Kemerosotan (apâyabhûmi),
2. Satu Alam Manusia (manussabhûmi),
3. Enam Alam Dewa (devabhûmi),
4. Enam Belas Alam Brahma Berbentuk (rûpabhûmi), dan
5. Empat Alam Brahma Nirbentuk (arûpabhûmi).
I. Empat Alam Kemerosotan (Apâyabhûmi)
Istilah 'apâyabhûmi' terbentuk dari tiga kosakata, yakni 'apa' yang berarti 'tanpa, tidak ada', 'aya' yang berarti 'kebajikan', dan 'bhûmi' yang berarti 'alam tempat tinggal makhluk hidup'. Apâyabhûmi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan. Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan tidak ada satu makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian dalam kehidupan sekarang. Alam ini juga sering disebut sebagai 'dugga-tibhûmi'.
'Duggati' terbentuk dari dua kosakata, yakni 'du' yang berarti 'jahat, buruk, sengsara', dan 'gati' yang berarti 'alam tujuan bagi suatu makhluk yang akan bertumimbal lahir'. Duggatibhûmi adalah suatu alam kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai se-bagai suatu padanan, duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama persis cakupannya dengan apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri atas empat alam, yakni:
a) Alam Neraka (Niraya),
b) Binatang (Tiracchâna),
c) Setan (Peta),
d) Iblis (Asurakâya).
Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam duggatibhûmi secara tidak menyeluruh dan langsung.
Empat Alam Kemerosotan, alam manusia dan enam alam dewa termasuk sebagai Alam Nafsu Inderawi (kâmabhûmi).
a) Alam Neraka 'Niraya' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'ni' yang berarti 'bukan, tidak ada' dan 'aya' yang berarti 'kebajikan, kebahagiaan, perkembangan'. Niraya atau neraka adalah suatu alam kehidupan yang penuh derita dan siksaan, tanpa kesempatan untuk berbuat kebajikan, tanpa kebahagiaan, tanpa perkembangan. Neraka dalam pandangan Agama Buddha bukanlah suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Apabila akibat buruk dari suatu kejahatan telah terlunasi, mereka yang terjatuh ke dalam neraka akan dapat terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih tinggi tergantung perbuatan-perbuatan lain yang pernah mereka lakukan sepanjang kehidupan-kehidupan lampau. Konon dikisahkan bahwa Mallikâ, yang pernah melakukan perzinahan dengan seekor anjing, berada dalam alam neraka hanya dalam waktu tujuh hari. (Mallikâ adalah permaisuri kesayangan Raja Pasenadi Kosala). Atas kematiannya, raja bertanya kepada Sang Buddha ke alam manakah gerangan istrinya terlahirkan kembali. Beliau tidak menjawab meskipun ditanya setiap hari selama seminggu penuh karena khawatir kalau raja akan bersedih hati mengetahui penderitaan yang harus ditanggung oleh Mallikâ. Baru setelah Mallikâ keluar dari neraka Avîci dan terlahirkan kembali di Surga Tusita, Beliau memberikan jawaban.) Tidaklah 'adil' untuk menjebloskan suatu makhluk sepanjang hidup (selamanya) dalam neraka hanya karena suatu kejahatan yang pernah dilakukannya dengan mengabaikan semua kebajikannya dan tanpa memberi peluang sedikit pun untuk memperbaiki kehidupannya. Neraka bukanlah suatu tempat pelampiasan kesewenang-wenangan suatu Pencipta Adikodrati yang murkah karena diabaikan atau dikhianati oleh makhluk-makhluk ciptaannya.
Neraka terbagi menjadi dua bagian, yaitu Neraka Besar (Mahâ-niraya)
dan Neraka Kecil (Ussadaniraya).
Neraka besar terdiri atas delapan alam:
1) Sañjîva
alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi dibantai dengan pelbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat kamma yang ditanggung. Mereka yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyiksa makhluk lain yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
2) Kâïasutta
alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji dan sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau para bhikkhu-sâmaóera yang suka melanggar vinaya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
3) Saõghâta
alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga luluh lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pemburu, penjagal dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
4) Dhûmaroruva
alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepengapan. Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau nelayan yang menangkap ikan dengan mempergunakan racun dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
5) Jâlaroruva
alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan. Mereka yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau mencoleng benda-benda yang dipakai untuk pemujaan kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
6) Tâpana
alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di atas besi membara. Mereka yang membakar kota, vihâra, sekolahan dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
7) Patâpana
alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak terpancang di bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa pemberian dâna tidak membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mestika tidak berguna, penghormatan kepada dewa tidak berakibat, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk, ayah-ibu tidak berjasa, tidak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
8) Avîci
alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka yang pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu atau Arahanta, melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah pasamuan Saõgha niscaya akan terlahirkan di alam ini. Avîci kerap diang-gap sebagai alam kehidupan yang paling rendah.
Neraka kecil terdiri atas delapan alam:
1) Angârakâsu
alam neraka yang terpenuhi oleh bara api
2) Loharasa
alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair
3) Kukkula:
alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara
4) Aggisamohaka
alam neraka yang terpenuhi oleh air panas
5) Lohakhumbhî
alam neraka yang merupakan panci tembaga
6) Gûtha
alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk
7) Simpalivana
alam neraka yang merupakan hutan pohon ber-duri
8) Vettaranî
alam neraka yang merupakan air garam berisi duri rotan
b) Alam Binatang 'Tiracchâna' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'tiro' yang berarti 'melintang, membujur', dan 'acchâna' yang berarti 'pergi, berjalan'. Tiracchâna atau binatang adalah suatu makhluk yang umumnya berjalan dengan melintang atau membujur, bukan berdiri tegak seperti manusia.
Dengan pengertian lain, binatang disebut Tiracchâna karena merintangi
jalan menuju pencapaian Jalan dan Pahala. Binatang sesungguhnya tidak
mempunyai alam khusus milik mereka sendiri melainkan hidup di alam
manusia. Binatang memiliki hasrat untuk menikmati kesenangan inderawi
serta berkembang-biak; naluri untuk mencari makan, bersarang, dan
sebagainya; dan perasaan takut mati, mencintai kehidupannya. Binatang
tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan kebajikan dari kejahatan,
kebenaran dari kesesatan, dan sebagainya (dhammasaññâ, conscience) kecuali kalau terlahirkan sebagai calon Buddha (bodhisatta) yang sedang memupuk kesempurnaan. Bodhisatta tidak akan terlahirkan sebagai binatang yang lebih kecil dari burung puyuh [semut misalnya] atau lebih besar dari gajah [dinosaurus misalnya].
Binatang mempunyai banyak jenis yang tak terhitung jumlahnya, namun secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi Empat Macam, yakni:
1. yang tak berkaki seperti ular, ikan, cacing dan lain-lain (apada),
2. yang berkaki dua seperti ayam, bebek, burung dan lain-lain (dvipada),
3. yang berkaki empat seperti gajah, kuda, kerbau dan lain-lain (catuppada),
4. yang berkaki banyak seperti kelabang, udang, kepiting dan lain-lain
(bahuppada).
Dalam pandangan Kristen serta beberapa agama Theistik lainnya,
semua binatang akan musnah setelah kematian. Binatang tidak mempunyai roh. Binatang hanya diakui memiliki naluri (instinct), tanpa akal budi. Karena itu, mereka tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Kebahagiaan maupun penderitaan yang dialami bukan ditentukan oleh perbuatan mereka baik dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan kehidupan yang lampau; melainkan merupakan wewenang serta kehendak Tuhan. Binatang diciptakan semata-mata untuk kepentingan umat manusia yang lebih luhur. Tidak ada surga maupun neraka bagi binatang. Ini menimbulkan dilemma bagi umat Kristen yang menginginkan agar binatang peliharaannya dapat hidup bersama lagi di surga sebagaimana di bumi.
c) Alam Setan 'Peta' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'pa' yang berarti 'ke depan, menyeluruh', dan 'ita' yang berarti 'telah pergi, telah meninggal'. Berbeda dengan makhluk yang berada di alam neraka yang menderita karena tersiksa, peta atau setan hidup sengsara karena kelaparan, kehausan
dan kekurangan. Kejahatan yang membuat suatu makhluk terlahirkan sebagai setan ialah pencurian dsb. Seperti binatang, setan tidak mempunyai alam khusus milik mereka sendiri. Mereka berada di dunia ini dan bertinggal di tempat-tempat seperti hutan, gunung, tebing, lautan, kuburan, dan sebagainya. Beberapa jenis setan mempunyai kemampuan untuk menyalin rupa dalam wujud seperti dewa, manusia, pertapa, binatang, atau hanya menampakkan diri secara samar-samar seperti bayang-bayang gelap dan lain-lain.
Setan terbagi menjadi empat jenis, yakni:
1. yang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa dan sebagainya (paradattupajîvika),
2. yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppîpâsika),
3. yang senantiasa terberangus (nijjhâmataóhika),
4. yang tergolong sebagai iblis atau makhluk yang suram (kâlakañcika).
Jenis yang pertama itu dapat menerima penyaluran jasa karena mereka
bertinggal di sekitar atau di dekat manusia, sehingga dapat mengetahui
pemberian ini dan beranumodanâ [menyatakan kenuragaan atas kebajikan yang diperbuat oleh makhluk lain]. Apabila tak tahu dan tak beranumodanâ, penyaluran jasa ini tidak dapat diterima. Orang yang pada saat-saat menjelang kematian mempunyai ke-31 melekatan yang amat kuat pada kekayaan, harta benda, sanak-keluarga, dan sebagainya niscaya akan terlahirkan di alam setan ini.
Dalam Vinaya dan Lakkhaóa-samyutta, disebutkan adanya 21 macam setan, yaitu:
1. yang hanya bertulang tanpa daging (aööhisaõkha-sika),
2. yang hanya berdaging tanpa tulang (maõsapesika),
3. yang berdaging benjol (maõsapióòa),
4. yang tak berkulit (nicchavirisa),
5. yang berbulu seperti pisau (asiloma),
6. yang berbulu seperti tombak (sat-tiloma),
7. yang berbulu seperti anak panah (usuloma),
8. yang berbulu seperti jarum (sûciloma),
9. yang berbulu seperti jarum jenis kedua (duti-yasûciloma),
10. yang berpelir besar (kumbhaóòa),
11. yang terbenam dalam tahi (gûthakûpanimugga),
12. yang makan tahi (gûthakhâdaka),
13. yang berjenis betina tanpa kulit (nicchavitaka),
14. yang berbau busuk (duggandha),
15. yang bertubuh bara api (ogilinî),
16. yang tak berkepala(asîsa),
17. yang berperawakan seperti bhikkhu,
18. yang berperawakan seperti bhikkhunî,
19. yang berperawakan seperti calon bhikkhunî(sikkhamâna),
20. yang berperawakan seperti sâmanera,
21. yang berperawakan seperti sâmanerî.
Sementara itu, Kitab Lokapaññatti serta Chagatidîpanî menyebutkan
adanya 12 macam setan, yaitu:
1. yang makan ludah, dahak dan mun-tahan(vantâsikâ),
2. yang makan mayat manusia atau binatang(kuópâsa),
3. yang makan tahi (gûthakhâdaka),
4. yang berlidah api(ag-gijâlamukha),
5. yang bermulut sekecil lubang jarum (sûcimukha),
6. yang terdorong keinginan tiada habis (taóhaööita),
7. yang bertubuh hitam pekat (sunijjhâmaka),
8. yang berkuku panjang dan runcing (satthaõga),
9. yang bertubuh sangat besar (pabbataõga),
10. yang bertubuh seperti ular piton (ajagaraõga),
11. yang menderita di siang hari tetapi menikmati kesenangan surgawi di malam hari (vemânika),
12. yang memiliki kesak-tian(mahiddhika).
d) Alam Iblis 'Asurakâya' terbentuk atas tiga kosakata, yaitu 'a' yang merupakan unsur pembalik, 'sura' yang berarti 'cemerlang, gemilang', dan 'kâya' yang berarti 'tubuh'. Namun, yang dimaksud dengan 'tak cemerlang' di
sini bukanlah tidak adanya cahaya yang memancar dari tubuh, melainkan
suatu kehidupan yang merana dan serba kekurangan sehingga membuat
batin tidak berceria. Istilah 'asura' mungkin juga berasal dari kisah
kejatuhan dari Surga Tâvatimsa [terkalahkan oleh Sakka dan pengikutnya]
akibat minuman memabukkan (surâ). Sejak itu, mereka bersumpah untuk
tidak meminumnya lagi. Karena sebelumnya pernah bertinggal di alam
kedewaan, asurakâya kadangkala juga disebut sebagai 'pubbadevâ'.
Asurakâya atau iblis terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. iblis berupa dewa(deva-asurâ)
2. iblis berupa setan (peti-asurâ),
3. iblis berupa penghuni neraka (niraya-asurâ).
Deva-asurâ terdiri atas vepacitti, râhu, subali,pahâra, sambaratî, dan vinipâtika. Peti-asurâ terdiri atas kâlakañcika,vemânika, dan âvuddhika. Niraya-asurâ hanya terdiri atas satu jenis, yaitu yang menderita kelaparan dan hidupnya bergelantungan seperti kelelawar.
II. Satu Alam Manusia (manussabhûmi)
Manussa' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'mano' yang berarti 'pikiran, batin' dan 'ussa' yang berarti 'tinggi, luhur, meningkat, berkembang'. Manussa atau manusia adalah suatu makhluk yang berkembang serta kukuh batinnya [mano ussanti etesanti=manussâ], yang tahu serta memahami sebab yang layak [kâranâkaranam manatijânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang bermanfaat dan tak bermanfaat [atthânattam manati jânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang merupakan kebajikan dan kejahatan [kusalâkusalam manati jânâtîti=manusso]. Manusia bertinggal di empat tempat, yaitu Uttarakurudîpa, Pubbavidehadîpa, Aparagoyânadîpa, dan Jambudîpa. Umat manusia yang berada di Uttarakurudîpa berusia sampai seribu tahun, yang berada di Pubbavidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun, yang berada di Aparagoyânadîpa berusia sampai lima ratus tahun, sedangkan yang berada di Jambudîpa berusia tidak menentu, tergantung kadar kebajikan serta kesilaan yang dimiliki. Pernah terjadi bahwa umat manusia tidak begitu mengindahkan kebajikan serta kesilaan sehingga usia rata-rata umat manusia menjadi sependek 10 tahun. Pada zaman Buddha Gotama, usia rata-rata umat manusia ialah 100 tahun. Diprakirakan bahwa setiap satu abad, usia manusia memendek selama satu tahun. Karena Buddha Go-tama telah mangkat sejak dua puluh lima abad
yang lampau, usia rata-rata umat manusia pada saat sekarang ini ialah 75 tahun.
Seorang Sammâsambuddha tidak akan muncul apabila usia rata-rata manusia
lebih pendek dari 100 tahun karena kesempatan bagi kebanyakan orang untuk dapat memahami kebenaran Dhamma terlalu singkat, tetapi juga tidak akan muncul apabila lebih panjang dari 100,000 tahun karena kebanyakan orang akan merasa sulit untuk dapat menembus hakikat ketakkekalan atau kefanaan hidup. Beliau hanya terlahirkan di Jambudîpa, tidak pernah terlahirkan di tiga tempat lainnya apalagi di alam-alam kehidupan selain alam manusia.
Kitab Majjhima Nikâya bagian Mûlapannâsaka memberikan penjelasan secara terinci mengapa manusia mempunyai keadaan yang berbeda. Orang yang dalam kehidupan lampau suka membinasakan atau membunuh makhluk lain niscaya akan terlahirkan sebagai manusia dengan umur pendek; yang suka menganiaya atau menyiksa makhluk lain niscaya akan dihinggapi banyak penyakit; yang suka murkah atau marah niscaya akan berparas buruk; yang suka cemburu atau irihati nis-caya akan tak berwibawa; yang suka berdana atau murah hati niscaya
akan memiliki kekayaan melimpah; yang suka bersikap angkuh atau sombong niscaya akan terlahirkan di keluarga yang rendah; yang tak gemar menimba ilmu pengetahuan atau memperdalam pengertian Dhamma niscaya akan terlahirkan dengan sedikit kebijaksanaan. Demikian pula kebalikannya. Selaras dengan ilmu pengetahuan modern, dalam Aggañña Sutta disebutkan bahwa umat manusia di bumi ini adalah suatu hasil evolusi yang panjang. Manusia bukanlah suatu makhluk yang pada saat pertama kali muncul / lahir di dunia ini sudah berbentuk, berupa atau berwujud sebagaimana yang tertampak pada saat sekarang ini. Dalam wejangan tersebut juga dijelaskan bahwa bumi beserta isinya ini terbentuk dalam suatu proses yang amat panjang, bukan diciptakan secara gaib selama enam
hari pada sekitar 6,000 tahun yang lampau sebagaimana yang ditafsirkan dari Alkitab.
III. Enam Alam Dewa (devabhûmi)
Ada tiga macam deva atau dewa dalam pandangan Agama Buddha, yaitu
1. Upattideva
dewa sebagai makhluk surgawi berdasarkan kelahirannya,
2. Sammutideva
dewa berdasarkan persepakatan atau perandaian misalnya raja, permaisuri, pangeran dan sebagainya,
3. Visud-dhideva
dewa yang suci terbebas dari segala noda batin yang tidak lain ialah Arahanta.
Dewa yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah merujuk pada pengertian yang pertama, Upattideva, yakni makhluk surgawi yang mengenyam kenikmatan inderawi. Makhluk surgawi dalam pandangan Buddhis tidaklah bersifat kekal.
Mereka bisa mati karena salah satu dari empat sebab: genapnya usia,
habisnya kebajikan, terlena dalam kenikmatan hingga lupa makan, murkah atau irihati. Dalam kebanyakan agama Theistik, surga dipercayai sebagai suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Kepercayaan atas 'kekekalan'
alam surga ini sempat menjadi topik perdebatan yang panjang. Dipercayai bahwa manusia jatuh dari Taman Eden dan mengalami pelbagai penderitaan di dunia ini karena ketakpatuhan nenek-moyang mereka, Adam dan Hawa, terhadap perintah serta larangan Tuhan. Hidup bersama Tuhan di alam surga adalah idam-idaman mereka; menjadi tujuan akhir. Manusia pernah bertinggal di Taman Eden, dan kemudian diusir dari sana. Pertanyaan yang perlu dijawab sekarang ialah: Kalau seandainya kita telah masuk surga, apakah mungkin suatu waktu nanti kita akan diusir lagi dari sana? Jika demikian, bagaimana mungkin surga dianggap sebagai suatu alam yang kekal? Apa makna kekekalan itu sendiri? Dalam pandangan Theistik tersebut, manusia adalah suatu makhluk yang penuh dengan kelemahan serta kekurangan. Sangatlah mustahil bagi seseorang untuk dapat memiliki 'kesempurnaan' batiniah. Bahkan, Tuhan yang
dipercayai sebagai Pencipta yang Mahasempurna sendiri sering dikatakan
masih memiliki sifat 'cemburu', 'irihati', 'murkah' dan sebagainya. Yang
perlu direnungkan ialah, apabila dalam sanubari manusia masih terdapat
kekotoran batiniah semacam itu, seandainya nanti mereka bertinggal di
surga yang kekal, apakah tidak mungkin bahwa akan timbul permasalahan
yang berbuntut pada perbuatan-perbuatan berdosa, misalnya membunuh, mencuri, berzinah, berdusta dan sebagainya? Jika kemungkinan ini benar-benar terjadi, lalu bagaimana nasib manusia nantinya? Apa hukuman bagi pelaku dosa? Dijebloskan ke dalam neraka? Diusir dari surga kekal?
Dalam pandangan Agama Buddha, alam surga di mana para dewa-dewi bertempat tinggal dalam kurun waktu yang berbatas [tidak kekal, tidak selamanya] terbagi menjadi enam alam, yaitu:
1. Câtu-mahârâjikâ,
2. Tâvatimsa,
3. Yâmâ,
4. Tusita,
5. Nimmânaratî,
6. Para-nimmitavasavattî.
1) Alam Câtumahârâjikâ adalah suatu alam surgawi paling rendah yang berada dalam kekuasaan empat raja dewa, yakni: Dhataraööha, Virudhaka,
Virûpakkha, dan Kuvera. Empat raja dewa ini juga dipercayai sebagai pelindung alam manusia, dan karenanya dikenal dengan sebutan 'Catulokapâla'. Dalam Kitab Lokîyapakaraóa, empat dewa pelindung dunia ini dipanggil sebagai Inda, Yama, Varuóa dan Kuvera. Berdasarkan tempat tinggalnya, para dewa-dewi tingkat Câtumahârâjikâ terbagi atas tiga, yaitu:
1. yang berada di daratan (bhumattha),
2. yang berada di po-hon(rukkha).Dalam Kitab Ulasan atas Dhammapada dan Buddhavamsa, para dewa-dewi yang hidup di pohon dimasukkan dalam kelompok bhummattha.
3. yang berada di angkasa (âkâsaööha).
Empat raja dewa serta beberapa dewa lainnya mempunyai 'istana' (vimâna)
khusus bagi diri mereka masing-masing. Bagi yang tak mempunyai istana secara khusus, gunung, sungai, lautan, pohon yang ditinggali itulah istana bagi mereka. Kehidupan di Câtumaharâjikâ berlangsung selama 500 tahun dewa atau kira-kira sembilan juta tahun manusia (Perbandingan usia di alam-alam surga tidaklah sama, tergantung tingkatannya. Satu hari di alam surga tertentu berbanding satu abad di alam manusia, dan ada pula yang lebih lama lagi).
Para dewa-dewi di tingkat Câtumahârâjikâ ada yang cenderung berhati jahat, yaitu:
1. Gandhabbo/Gandhabbî: yang berada di pohon-pohon berbau harum, yang belakangan mungkin dikenali oleh orang-orang Jawa sebagai 'gondoruwo'. Makhluk halus ini sangat melekati tempat tinggalnya. Walaupun pohon tempat tinggalnya ditebang, ia masih tetap mengikuti ke mana pohon itu dipindahkan tidak seperti rukkhadeva lainnya, yang akan mengungsi ke pohon lain yang masih hidup,
2. Kumbhanno/Kumbhannî: penjaga harta pusaka, hutan, dan sebagainya,
3. Nâgo/Nâgî: naga yang memiliki kesaktian, yang mampu menyalin rupa dalam wujud makhluk lain seperti manusia, binatang dan sebagainya,
4. Yakkho/Yakkhinî: raksasa yang gemar menganiaya para penghuni neraka.
2) Alam Tâvatimsa adalah alam surgawi tingkat kedua. Alam ini sebelumnya merupakan tempat tinggal para asurakâya. Nama 'Tâvatimsa' baru dipakai setelah 33 pemuda di bawah pimpinan Mâgha, yang terlahirkan kembali di sini akibat kebajikan yang dilakukan bersama-sama, berhasil menyingkirkan para asurakâya.
Para dewa-dewi di Tâvatimsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
1) Bhummaööha: Sakka beserta 32 dewa pembesar,
2) Âkâsaööha: yang bertinggal dalam istana di angkasa.
Ibukota Tâvatimsa ialah Masakkasâra. Balai Sudhamma menjadi tempat
bagi para dewa-dewi untuk memperbincangkan Kebenaran Dhamma di
bawah asuhan Sakka (Beliau berhasil meraih kesucian tingkat Sotâpatti setelah mendengarkan Brahmajâla Sutta). Brahmâ Sanamkumâra kerap menjadi tamu pembabar Dhamma di sini. Buddha Gotama pernah berkunjung ke alam ini, dan bertinggal selama tiga bulan untuk mewejangkan Abhidhamma kepada ibunda-Nya, yang terlahirkan kembali sebagai putra dewa di alam Tusita. Moggallâna Thera juga pernah beberapa kali pergi ke alam ini, dan dari sejumlah penghuninya, beliau memperoleh kesaksian atas perbuatan-perbuatan bajik yang membawa mereka terlahirkan kembali di sini. Kebajikan ini antara lain ialah merawat ayah-ibu, menghormat sesepuh dalam keluarga, berbicara lemah lembut, menghindari penghasutan, mengikis kekikiran, bersifat jujur, menahan marah. Usia rata-rata para dewa-dewi yang terlahirkan di alam Tâvatimsa ialah 1,000 tahun dewa atau kira-kira 36 juta tahun manusia.
3) Yâmâbhûmi adalah alam surgawi tingkat ketiga, menjadi tempat bagi para dewa-dewi yang terbebas dari segala kesukaran, yang terberkahi
dengan kebahagiaan surgawi. Pemegang kekuasaan dalam alam ini ialah Suyâma. Alam ini berada di angkasa. Dalam alam ini dan tingkat yang lebih tinggi, tidak ada dewa-dewi yang tergolong sebagai bhum-mattha yang bertinggal di daratan. Istana, harta serta tubuh para dewa-dewi di alam ini jauh lebih indah dan halus daripada yang bertinggal di Tâvatimsa. Rentang hidup mereka ialah 2,000 tahun dewa atau kira-kira 142 juta tahun manusia.
4) Tusitabhûmi adalah alam surgawi tingkat keempat. Para dewa-dewi yang hidup di alam ini senantiasa berceria atas keberadaan yang dimiliki. Semua Bodhisatta, sebelum turun ke dunia dan meraih Pencerahan Agung, terlahirkan di alam ini untuk menanti waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha. Demikian pula mereka yang akan menjadi orangtua serta Siswa Utama (Aggasâvaka). Sekarang ini, Bodhisatta Metteyya yang akan menjadi Sammâsambuddha setelah ajaran Buddha Gotama punah dari muka bumi ini sedang berada di alam ini. Usia rata-rata di alam ini ialah 4,000 tahun dewa atau kira-kira 567 juta tahun manusia.
5) Nimmânaratîbhûmi adalah alam surgawi tingkat kelima. Para dewa-dewi di alam ini menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka. Rentang hidup para dewa-dewi di alam ini ialah 8,000 tahun dewa atau kira-kira 2,304 juta tahun manusia.
6) Paranimmittavasavattî adalah alam surgawi tingkat terakhir. Apabila para dewa-dewi di alam Nimmânaratî menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka, para dewa-dewi di alam ini menikmatinya dari apa yang diciptakan atau disediakan oleh yang lain, yang tahu kebutuhan serta keinginan mereka. Usia rata-rata di alam ini ialah 16,000 tahun dewa atau kira-kira 9,216 juta tahun manusia.
IV. Enam Belas Alam Brahma Berbentuk (rûpabhûmi)
Rûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan 'rûpâvacaravipâkacitta' atau kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma berbentuk. Dengan perkataan lain, rûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk. Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jhâna yang luhur. Jhâna dihasilkan dari pengembangan Samatha Kammaööhâna meditasi pemusatan batin pada satu objek demi tercapainya ketenangan.
Alam brahma terdiri atas 16 alam, yakni:
1. tiga alam bagi peraih Jhâna pertama (paöhama),
2. tiga alam bagi peraih Jhâna kedua (dutiya),
3. tiga alam bagi peraih Jhâna ketiga (tatiya),
4. dua alam bagi peraih Jhâna keempat(catuttha),
5. dan lima alam Suddhâvâsa.
Pathamajhânabhûmi, Tiga alam bagi peraih Jhâna pertama ialah:
1. Pârisajjâ: alam ke-hidupan bagi brahma pengikut, yang tidak memiliki
kekuasaan khusus,
2. Purohitâ: alam kehidupan bagi brahma penasihat, yang berkedudukan tinggi sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan,
3. Mahâbrahmâ: alam kehidupan bagi brahma yang memiliki kebajikan khusus
yang besar.
Dutiyajhânabhûmi, Tiga alam kehidupan bagi peraih Jhâna kedua atau Jhâna ketiga ialah
1. Parittâbhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya lebih sedikit daripada brahma yang berada di atasnya,
2. Appamâóâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya cemerlang nirbatas,
3. Âbhassarâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya menyebar luas
dari tubuhnya.
Tatiyajhânabhûmi, Tiga alam bagi peraih Jhâna keempat ialah
1. Parittasubhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya indah tapi lebih
sedikit daripada brahma yang berada di atasnya,
2. Appamâóasubhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya indah nirbatas,
3. Subhakióhâ: alam kehi-dupan bagi brahma yang bercahaya indah di sekujur
tubuhnya.
Catutthajhânabhûmi, Dua alam bagi peraih Jhâna kelima ialah:
1. Vehapphalâ: alam kehidupan bagi brahma yang berpahala sempurna,
yang terbebas dari se-gala bahaya,
2. Asaññasatta: alam kehidupan bagi brahma yang bertumimbal lahir dalam
wujud materi berasal dari perbuatan saja(kammajarûpa). Dalam alam ini sama sekali tidak ada unsur batiniah. Kelahiran di alam brahma ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak terhadap unsur batiniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya (saññâvirâgabhâvanâ). Karena tidak dilengkapi dengan unsur-unsur batiniah, di alam ini sama sekali tidak ada kesempatan untuk mengembangkan kebajikan. Makhluk-makhluk yang terlahirkan secara jasmaniah hanya sekadar menghabiskan akibat perbuatan lampaunya. Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan dalam alam ini.
Suddhâvâsabhûmi adalah suatu alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari nafsu birahi (kâmarâga) dan sebagainya, yaitu para Anâgâmî yang berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima. Makhluk-makhluk lain yang belum mencapai kesucian tingkat Anâgâmî, meskipun berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima, tidak akan terlahirkan di alam ini. Di sinilah para Anâgâmî akan meraih kesucian tingkat Arahatta. Para Bodhisatta tidaklah pernah terlahirkan di alam ini sebab makhluk-makhluk yang terlahirkan di alam ini tidak akan terlahirkan kembali di
alam-alam lain yang lebih rendah. Kadangkala, ketika tidak ada Buddha
yang muncul dalam kurun waktu yang lama, alam ini kosong melompong tanpa penghuni.
Alam ini terbagi menjadi lima tingkat, yaitu:
1. Avihâ: alam kehidupan bagi brahma yang tidak meninggalkan tempat tinggalnya hingga habisnya usia,
2. Atappâ: alam kehidupan bagi brahma yang se-nantiasa berada dalam
ketenangan yang menyejukkan,
3. Sudassâ alam kehidupan bagi brahma yang tubuhnya bercahaya sangat
indah menawan hati,
4. Sudassî: alam kehidupan yang lebih sempurna dalam penglihatan daripada
alam Sudassâ,
5. Akanitthâ: alam kehidupan bagi brahma yang terlengkapi dengan harta
surgawi serta kebahagiaan yang tak ter-tandingi oleh alam mana pun. Ini merupakan alam tertinggi bagi para suciwan.
Para Anâgâmî yang berkemampuan menonjol dalam bidang keyakinan (saddhindrîya) niscaya terlahirkan kembali di alam Avihâ; semangat (viriyindrîya) di alam Atappâ; penyadaran jeli (satindrîya) di alam Sudassâ; pemusatan (samâdhindrîya) di alam Sudassî; kebijaksanaan (paññindrîya) di alam Akanitthâ.
V. Empat Alam Brahma Nirbentuk (arûpabhûmi)
Arûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan empat unsur batiniah yakni kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma nirbentuk (arûpâvacaravipâkacitta). Dengan perkataan lain, arûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma nirbentuk. Meskipun disebut sebagai suatu 'alam' yang mengacu pada tempat atau bentuk, di sini sesungguhnya sama sekali tidak ada unsure jasmaniah sehalus apa pun dan dalam wujud apa pun. Sebutan ini terpaksa dipakai untuk dapat mengacu pada kemunculan serta keberadaan unsur-unsur batiniah tersebut. Kelahiran di alam brahma nirbentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya (rûpavirâgabhâvanâ).
Arûpabhûmi terbagi menjadi empat alam, yakni:
1. Âkâsânañcâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat pathama-arûpajhâna yang berobjek pada angkasa yang nirbatas,
2. Viññânañcâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat dutiya-arûpajhâna yang berobjek pada kesadaran yang nirbatas,
3. Âkiñcaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang
berhasil meraih meditasi tingkat tatiya-arûpajhâna yang berobjek pada
kehampaan,
4. Nevasaññânasaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat catuttha-arûpajhâna yang berobjek pada bukan ingatan bukan pula tanpa-ingatan.
Sabtu, 20 November 2010
CERITA JATAKA VIDHURA YANG BIJAK
Permaisuri Naga Mahukan Jantung Vidhura
Pada suatu masa, Bodhisatta kita dilahirkan sebagai seorang yang sangat bijak, bernama Vidhura Pandita, di dalam bandar Indapatta, dalam negeri Kuru yang diperintah oleh raja bernama Dhananjaya. Vidhura Pandita sungguh bijak mengajar ajaran-ajaran yang mulia kepada orang ramai dan semua raja dari Jambu-dipa datang untuk mendengar khutbahnya.
Suatu hari, empat orang pertapa turun dari Gunung Himalaya untuk meminta sedekah di Kala-campa, dalam negeri Amga. Empat orang penduduk di situ nampak pertapa itu dan merasa senang hati dengan keadaan rupa paras pertapa-pertapa itu. Mereka memberi makanan dan membina tempat tinggal untuk pertapa-pertapa itu di dalam taman mereka. Selesai makan, pertapa-perapa itu pergi dari situ untuk meneruskan penghijrahan dan amalan mereka. Seorang daripada mereka pergi ke Syurga Tiga Puluh Tiga Dewa-Dewa, seorang pergi ke alam Naga-Naga, yang seorang lagi ke alam Supannas (pari burung-burung), dan yang keempatnya pergi ke taman Migacira kepunyaan Raja Dhananjaya.
Sekembalinya dari sana, tiap-tiap orang pertapa itu bercerita tentang perkara-perkara yang mengkagumkan di tempat-tempat yang mereka lawati. Keempat-empat orang biasa tadi mempunyai hasrat supaya ia dilahirkan semula di tempat-tempat itu. Mereka membuat berbagai-bagai amalan seperti bersedekah; dan setelah mereka mati, salah seorang daripadanya dilahirkan sebagai Raja Sakka, seorang dilahirkan di alam Naga, seorang lagi dilahir semula di dalam istana Raja Supanna dan yang keempat sebagai putera Raja Dhananjaya. Keempat-empat pertapa dilahirkan semula di dunia Brahma.
Putera Raja Dhananjaya juga bernama Dhananjaya. Selepas Raja mangkat, Putera Dhananjaya menjadi raja. Baginda merupakan raja yang baik dan termasyhur kerana kemahiran baginda bermain buah dadu. Baginda mengikut kata-kata nasihat Vidhura Pandita. Baginda memberi sedekah, mematuhi Sila dan mengamalkan Sila pada hari Uposatha. Pada suatu hari Uposatha, Raja pergi ke taman untuk bertafakur ,Raja Sakka mendapati diri baginda tidak dapat bersemadi di syurga lalu turun ke taman itu. Varuna, raja Naga juga tidak dapat bertafakur di alam Naga dan datang ke taman yang sama. Dan Raja Supana juga turun untuk bersemadi di taman raja itu. .
Apabila senja menjelang, keempat-empat mereka tadi bangun dari tempat duduk masing-masing dan berdiri di pinggir tasik diraja. Mereka memandang antara satu sama lain dengan penuh kasih sayang, kerana mereka telah bersahabat baik sebelum itu. Raja Sakka memulakan perbualan, "Kita adalah empat orang raja sekarang, apakah kebaikan yang paling unggul dan mumi daripada setiap orang daripada kita ini ?"
Varuna, raja Naga menjawab, "Raja Supanna ini musuh kami. Tetapi bila beta memandangnya, beta tidak menaruh apa-apa kemarahan. Oleh itu kebaikan betalah yang paling unggul."
Mendengar kata-kata Raja Naga, Raja Supanna berkata, "Naga adalah makanan utama beta; tapi walaupun beta nampak makanan itu di sana, beta menahan kelaparan dan tidak membunuhnya untuk dijadikan makanan. Oleh itu kebaikan betalah yang paling finggi. "
Kemudian Raja Sakka pula menyambungi "Beta meninggalkan segala-gala yang gemilang di syurga, dan turun ke dunia untuk berbuat baik. Oleh yang demikian, kebaikan betalah yang paling agung."
Akhimya Raja Dhananjaya berkata: "Hari ini beta meninggalkan istana serta enam belas ribu gadis-gadis penari untuk menjadi pertapa di taman ini. Dengan itu, kebaikan betalah yang paling murni.
"Jadi tiap-tiap orang raja itu mengaku kebaikan diri mereka masing-masing yang paling agung. Mereka bertanya Raja Dhananjaya, "0 Raja! Adakah sesiapa yang bijak di istana ini yang boleh menyelesaikan masalah kita ?"
" Ya, sahabatku. Saya mempunyai Vidhura Pandita yang boleh menyelesaikan kesangsian kita; kita akan ke tempatnya," kata Raja Dhananjaya.
Keempat-empat raja itu pun pergi berjumpa Vidhura Pandita serta mengemukakan masalah mereka. Selepas mendengar keterangan daripada mereka, Vidhura menerangkan kebaikan setiap orang daripada mereka itu adalah satu dan sama saja. Raja-raja itu sungguh gembira dengan jawapannya. Raja Sakka menghadiahkan sehelai jubah sutera yang sangat indah kepada Vidhura. Raja Supanna memberinya kalungan bunga keemasan. Raja Varuna pula memberi sebiji permata dan Raja Dhananjaya menghadiahkan seribu ekor lembu dan barang-barang lain.
Apabila permaisuri Raja Naga, Vimala, melihat permata yang dipakai di leher suaminya sudah tiada lagi, baginda bertanyakan suaminya ke manakah permata itu. Raja menerangkan bahawa baginda sungguh suka hati dengan Vidhura Pandita lalu memberi kepadanya. Setelah permaisuri mendengar tentang keagungan Vidhura Pandita daripada raja, baginda juga berniat hendak mendengar khutbah beliau.
Selepas itu Permaisuri berfikir, "Kalau beta memberitahu raja beta hendak mendengar Vidhura Pandita berkhutbah berkenaan Dhamma, dan menyuruh Vidhura dibawa ke mari, mungkin baginda tidak akan membawanya ke mari. Lebih baik beta berpura-pura gering." Dengan itu baginda pun berbaring di atas katil berpura-pura gering.
Apabila Raja tidak melihat Permaisuri, baginda bertanya kalau apa-apa yang tak kena. Dayang-dayang menyatakan permaisuri sedang gering. Raja segera pergi ke tempat permaisuri sedang berehat dan bertanya tentang kegeringannya. Permaisuri menyatakan baginda inginkan jantung Vidhura dan akan mati jika tidak mendapatnya.
Raja Varuna mempunyai seorang puteri yang cantik bernama Irandati. Raja menyuruh puteri mencari seorang suami yang dapat membawa jantung Vidhura Pandita kepada baginda. Dengan itu puteri pergi memetik bunga di Gunung Himalaya dan menaburkannya di atas tanah. Kemudian, dia menari dan menyanyi dengan merdu sekali sambil berkata, "Siapa yang menjadi suamiku, aku akan buatkan dia amat bahagia !"
Pada ketika itu, seorang jeneral bernama Punnaka sedang menunggang kuda melalui tempat itu. Jeneral itu ialah anak saudara kepada Raja Vessavana yang agung itu. Semasa dia melalui Gunung Hitam, Punnaka terdengar dendangan puteri Irandati. Suara puteri itu meresap masuk ke dalam kulitnya hinggalah ketulangnya kerana dia pemah mendengar suara itu dalam kehidupannya yang lampau. "0 Puan ! Usahlah risau. Saya akan membawa jantung Vidhura untukmu."
Punnaka tidak berani hendak pergi mendapatkan jantung Vidhura tanpa kebenaran Raja Vessavana. Punnaka pergi berjumpa Raja tetapi pada saat itu Raja sedang sibuk menyelesaikan pergaduhan di antara dua dewa. Raja Vessavana tidak mendengar apa yang Punnaka katakan. Kemudian raja bertitah kepada salah satu daripada dewa-dewa itu, "Pergilah kamu tinggal di dalam istanamu."Apabila Punnaka mendengar perkataan "kamu pergilah", dia berpura-pura seolah-olah raja membenarkan dia pergi. Maka dia pun menunggang kuda ajaibnya pergi dari situ.
Ketika dalam penerbangannya ke udara, dia berfikir, "Vidhura Pandita mempunyai ramai pengikut, tentu dia tidak boleh diambil dengan paksaan; tetapi Raja Dhananjaya tekenal dengan kemahiran baginda dalam
perjudian. Saya akan mengalahkan baginda dan mengambil Vidhura Pandita. Saya akan membawa sebiji permata kepunyaan pemerintah dunia. Tentu raja itu mahukannya." Punnaka kemudiannya menyamar diri menjadi seorang Brahmin yang bernama Kaccayana dan pergi mengadap Raja Dhananjaya.
Punnaka mempunyai seekor kuda ajaib. la boleh terbang dan lari dengan sungguh pantas, dan apabila Punnaka menghulurkan tangannya, kuda itu dapat berdiri di atas tapak tangannya. Raja Dhananjaya lebih berminat kepada permata ajaib itu. Bermacam-macam benda boleh dilihat di dalamnya- orang-orang, binatang-binatang, alat-alat muzik, gunung-ganang dan sebagainya.
Kata Punnaka, "0 Tuanku! Jika Tuanku menang dalam perjudian dengan patik, patik akan memberi permata ajab ini kepada Tuanku. Tetapi apakah yang Tuanku akan beri sekiranya patik menang ?"
"Beta akan memberi apa saja yang kamu pinta, kecuali badan dan payung putih beta." jawab Raja.
Akhimya Raja dan Punnaka masuk ke dewan perjudian dan mengeluarkan sebuah meja perak serta sebiji dadu emas. Bonda kepada raja itu adalah dewi yang menjaga baginda. Dewi ini menolong baginda supaya memenangi permainan itu. Apabila Punnaka sedar bonda raja itu sedang menggunakan kuasanya untuk menolong baginda, dia mencelikkan matanya dengan luas seperti orang yang marah dan memandang kepada dewi itu. Dewi itu menjadi takut dan terus berundur dari situ. Oleh yang demikian, raja pun kalahlah dalam perjudian yang menggunakan buah dadu itu.
Vidhura Dan Yakkha
Setelah Raja Dhananjaya kalah kepada Punnaka dalam perjudian yang. menggunakan buah dadu itu, baginda bertanya apakah hadiah yang Punnaka mahu. Jawab Punnaka, dia mahukan menteri baginda, Vidhura Pandita. Raja sungguh terperanjat dan berkata, "Dia adalah menteri beta yang tidak boleh dibandingkan dengan harta benda !"
"Adakah kamu ini hamba atau kerabat diraja?" Punnaka menyoal Vidhura. Vidhura menjawab, bahawa dia adalah hamba raja dan boleh diberi kepada sesiapa saja. Oleh itu Punnaka pun mengambilnya. Tetapi sebelum meninggalkan negerinya, Vidhura meminta izin untuk berkhutbah kepada isteri-isteri dan anak-anaknya terlebih dahulu. Pada hari ketiga, setelah habis memberi tunjuk ajar dan nasihat kepada keluarganya, dia dengan tenangnya mengikuti Punnaka.
Kemudian Vichura pergi mengadap raja untuk mengucapkan selamat tinggal. Raja amat sedih dan hiba kerana Vidhura terpaksa pergi. "Beta akan menghantar seorang Brahmin muda untuk melakukan sesuatu, kemudian kita akan membunuh Punnaka." Tetapi Vidhura menasihati raja, bahawa seseorang raja tidak patut membuat pekerjaan yang keji seperti itu. Akhirnya Punaka pun membawa Vidhura pergi dari situ.
Punnaka memandang Vidhura lalu berkata, "Kamu sekarang ini sedang mengorak langkah daripada hidup kepada mati; perjalanan yang jauh sedang menunggumu. Peganglah ekor kuda ajaibku; kamu tidak akan dapat melihat dunia manusia lagi.
Jawab Vidhura, "Saya tidak takut kepada sesiapapun sebab saya tidak pernah mengkhianati sesiapa sama ada dengan cara pemikiran, percakapan atau perlakuan saya. Oleh itu, tiada sesiapapun yang boleh mengkhianati saya ". Kemudian dia pun memegang ekor kuda itu. Dengan keadaan demikian, mereka berkuda di angkasa menuju ke Gunung Hitam. Vidhura tidak pun tercedera disebabkan oleh pokok-pokok atau batu-batu.
Punnaka seterusnya cuba menakutkan Vidhura. Dia menjelma dirinya. menjadi hantu, tetapi Vidhura tidak takut sedikit pun. Kemudian dia bertukar menjadi singa, kemudian menjadi seekor gajah; selepas itu menjadi seekor ular yang sangat besar. Vidhura. masih juga tidak gentar. Punnaka cuba pula membuat
angin yang bertiup kencang, tetapi Vidhura tetap membisu. Lepas itu dia meletakkan Vidhura di atas puncak gunung dan menukar dirinya menjadi seekor gajah yang amat besar. Dia menggegarkan dan menggoyang gunung itu dari kiri ke kanan, dan dari kanan ke kiri tak ubah seperti sebatang pokok palma. Namun demikian Vidhura tidak takut. Seterusnya Punnaka masuk ke dalam gunung itu dan membuat suatu bunyi yang sungguh kuat dan menakutkan; tetapi semua usahanya gagal untuk menakutkan Vidhura.
Dia terlintas suatu fikiran, "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!" Dia menangkap Vidhura, sambil berdiri di atas kemuncak gunung itu, Punnaka menghayun Vidhura dalam keadaan kepalanya ke bawah. Semasa ianya dihayun sedemikian, Vidhura menyoal Punnaka, "Apakah sebabnya maka kamu hendak membunuh saya ?" Selepas sebab-musababnya diberitahu, Vidhura pun fahamlah bahawa kata-kata Permaisuri itu telah disalah tafsir. Permaisuri itu bukannya inginkan jantung di dalam badan Vidhura. Apa yang baginda mahukan ialah jantung kebijaksanaannya.
Vidhura meminta Punnaka mendengar dia berkhutbah terlebih dahulu. Selepas itu dia rela memberi jantungnya. Setelah Punnaka mendengar khutbah Vidhura, dia menyedari tentang kejahatan yang telah dilakukannya. Lantarannya dia telah membebaskan Vidhura. Walau bagaimanapun Vidhura tidak terus pulang ke negerinya. Sebaliknya dia menyuruh Punnaka membawanya ke alam naga untuk membetulkan segala sangkaan yang salah itu.
Punnaka membawa Vidhura berjumpa Raja Naga. Vidhura berdiam diri sahaja, dan Raja Naga sangkakan dia takut. Tetapi Vidbura menjelaskan, dia tidak takut walaupun kepada mati. Vidhura seterusnya bertanya Raja Naga, sama ada baginda tahu bagaimana baginda boleh dilahirkan dalam dunia yang penuh kegembiraan, dengan berbagai-bagai perkara yang gilang-gemilang. Raja Naga menerangkan baginda telah membuat amalan-amalan yang baik di masa silam. "Semasa kami menjadi manusia dulu," kata raja, "isteri beta dan beta sendiri hidup dengan penuh keimanan. Kami menjaga sami-sami dan Brahmin di rumah kami. Kami menghadiahkan bunga malai, air wangi, ubat-ubatan, lampu-lampu, kerusi-kerusi, tempat-tempat berehat, kain baju, katil-katil, makanan dan minuman. Disebabkan pemberian itulah kami dilahirkan di alam Naga dan di istana yang indah permai ini.
"Oleh itu Tuanku patutlah meneruskan amalan baik itu supaya Tuanku akan dapat tinggal di istana lagi."
"Tetapi di sini tiada sami atau Brahmin yang mana beta boleh memberi sedekah,"jawab Raja.
"Naga-naga di sini mempunyai anak-anak dan isteri-isteri mereka. Hindarilah daripada melakukan kejahatan terhadap mereka, sama ada dari segi perlakuan atau percakapan. Dengan itu Tuanku akan tetap di sini sepanjang hayat; dan selepas mangkat, akan pergi ke dunia dewa-dewa.
Raja Naga sungguh suka hati mendengar ajaran Vidhura itu. Fikir baginda, "Beta akan membawanya kepada Vimala dan biarkan dia mendengar nasihat-nasihatnya." Apabila Vimala melihat Vidhura, baginda menyembah memberi hormat. Alangkah bahagianya hati baginda ketika itu. Vidhura berkhutbah kepada permaisuri Vimala. Selepas itu ia berkata, "Usahlah risau, 0 Naga! Saya sudah ke mari untuk apa jua pun puan hendak guna badan patik, atau jantung dan daging patik, patik sedia menyerah diri dan akan menurut segala hasrat puan."
"Kebijaksanaanmu laksana jantung bagi orang-orang yang arif," kata Raja Naga. "Kami sungguh bahagia hari ini kerana kebijaksanaanmu. Biarlah orang yang membawa tuan ke mari mendapatkan bakal isterinya dan membawa tuan pulang ke negeri Kuru hari ini juga. "
Pada awal pagi, hari yang sama. Raja Dhananjaya bermimpi. Mimpi baginda begini: Di pintu istana raja terdapat sebatang pokok besar yang mana dahannya umpama kebijaksanaan, rantingnya umpama
kebaikan, serta buah-buahnya terdiri daripada lima hasil tenusu (susu, minyak sapi, dadih susu, mentega dan susu cair yang lemaknya telah diasingkan)
Pokok ini ditutup dengan gajah-gajah, kuda-kuda yang dihiasi dengan kain-kain penutup yang indah-indah. Ramai orang yang datang menyembahnya dengan penuh hormat. Tiba-tiba datang seorang berkulit hitam memakai kain merah, subang yang terdiri daripada bunga merah, membawa senjata di tangannya lalu menebang pokok itu di umbinya. Orang ramai merayu supaya jangan dipotong pokok itu, tetapi tidak dihiraukannya. Kemudian diheretnya pokok itu pergi dari situ.
Raja Dhananjaya tahu maksud mimpi baginda. Vidhura diibaratkan sebagai pokok itu dan Punnaka orang yang memotongnya. Raja menitahkan rakyat jelata berkumpul di dalam Dewan Kebenaran menunggu kepulangan Vidhura Pandita dan Punnaka. Apabila Vidhura tiba. Raja menyuruh beliau duduk berhampiran dengan pintu di tengah-tengah majlis perhimpunan di dalam Dewan Kebenaran itu. Kemudian Punnaka dan Puteri Irandati meninggalkan mereka untuk pulang ke kota mereka di kayangan.
Setiap orang sangat sukahati dapat bertemu dengan Vidhura Pandita semula. Raja bertanya kepada Vidhura, "Bagaimana Brahmin muda itu boleh melepaskan kamu?" Lalu diterang oleh Vidhura segala apa yang telah berlaku:
"O Tuanku! Orang yang tuanku katakan orang muda itu bukannya sembarangan orang. Beliau ialah Punnaka, menteri kepada Raja Vessanvana. Punnaka mencintai puteri Irandati, iaitu puteri Raja Naga yang bernama Varuna. Dia bercadang hendak membunuh patik untuk mendapatkan puteri yang dicintainya itu. Sekarang dia sudah pun beristerikan puteri idamannya itu. Patik dibenarkan pulang. Raja Naga pula memberi permata baginda kepada patik." Vidhura juga menjelaskan bagaimana Raja Naga tersalah faham akan kehendak permaisuri yang sebenarnya. Bukannya jantung daripada badan Vidhura yang dikehendaki baginda; tetapi kebijaksanaan serta khutbah Vidhura yang baginda ingin mendengamya.
Raja beserta sekalian rakyat begitu gembira sekali, sehinggakan mereka mengadakan perayaan sebulan lamanya. Bodhisatta berkhutbah kepada Raja dan sekalian orang dengan menyuruh mereka melakukan perbuatan yang baik serta memberi sedekah. Selepas raja mangkat, baginda dilahirkan di syurga dewa-dewa.
Jika seseorang mendampingi dan mengikuti orang bijak yang sudi membetulkan kesalahannya,
diumpamakan dia telah menjejakkan langkah ke khazanah.
Dia akan mendapat keuntungan dan bukannya kerugian.
( Dhammapada, ayat 76 )
Orang yang bijak harus menasihati orang lain,
memberi tunjuk ajar demi mencegah mereka melakukan kejahatan.
Ia dipandang mulia oleh orang baik-baik, sebaliknya dicemuhi oleh orang yang jahat.
( Dhammapada, ayat 77 )
Pada suatu masa, Bodhisatta kita dilahirkan sebagai seorang yang sangat bijak, bernama Vidhura Pandita, di dalam bandar Indapatta, dalam negeri Kuru yang diperintah oleh raja bernama Dhananjaya. Vidhura Pandita sungguh bijak mengajar ajaran-ajaran yang mulia kepada orang ramai dan semua raja dari Jambu-dipa datang untuk mendengar khutbahnya.
Suatu hari, empat orang pertapa turun dari Gunung Himalaya untuk meminta sedekah di Kala-campa, dalam negeri Amga. Empat orang penduduk di situ nampak pertapa itu dan merasa senang hati dengan keadaan rupa paras pertapa-pertapa itu. Mereka memberi makanan dan membina tempat tinggal untuk pertapa-pertapa itu di dalam taman mereka. Selesai makan, pertapa-perapa itu pergi dari situ untuk meneruskan penghijrahan dan amalan mereka. Seorang daripada mereka pergi ke Syurga Tiga Puluh Tiga Dewa-Dewa, seorang pergi ke alam Naga-Naga, yang seorang lagi ke alam Supannas (pari burung-burung), dan yang keempatnya pergi ke taman Migacira kepunyaan Raja Dhananjaya.
Sekembalinya dari sana, tiap-tiap orang pertapa itu bercerita tentang perkara-perkara yang mengkagumkan di tempat-tempat yang mereka lawati. Keempat-empat orang biasa tadi mempunyai hasrat supaya ia dilahirkan semula di tempat-tempat itu. Mereka membuat berbagai-bagai amalan seperti bersedekah; dan setelah mereka mati, salah seorang daripadanya dilahirkan sebagai Raja Sakka, seorang dilahirkan di alam Naga, seorang lagi dilahir semula di dalam istana Raja Supanna dan yang keempat sebagai putera Raja Dhananjaya. Keempat-empat pertapa dilahirkan semula di dunia Brahma.
Putera Raja Dhananjaya juga bernama Dhananjaya. Selepas Raja mangkat, Putera Dhananjaya menjadi raja. Baginda merupakan raja yang baik dan termasyhur kerana kemahiran baginda bermain buah dadu. Baginda mengikut kata-kata nasihat Vidhura Pandita. Baginda memberi sedekah, mematuhi Sila dan mengamalkan Sila pada hari Uposatha. Pada suatu hari Uposatha, Raja pergi ke taman untuk bertafakur ,Raja Sakka mendapati diri baginda tidak dapat bersemadi di syurga lalu turun ke taman itu. Varuna, raja Naga juga tidak dapat bertafakur di alam Naga dan datang ke taman yang sama. Dan Raja Supana juga turun untuk bersemadi di taman raja itu. .
Apabila senja menjelang, keempat-empat mereka tadi bangun dari tempat duduk masing-masing dan berdiri di pinggir tasik diraja. Mereka memandang antara satu sama lain dengan penuh kasih sayang, kerana mereka telah bersahabat baik sebelum itu. Raja Sakka memulakan perbualan, "Kita adalah empat orang raja sekarang, apakah kebaikan yang paling unggul dan mumi daripada setiap orang daripada kita ini ?"
Varuna, raja Naga menjawab, "Raja Supanna ini musuh kami. Tetapi bila beta memandangnya, beta tidak menaruh apa-apa kemarahan. Oleh itu kebaikan betalah yang paling unggul."
Mendengar kata-kata Raja Naga, Raja Supanna berkata, "Naga adalah makanan utama beta; tapi walaupun beta nampak makanan itu di sana, beta menahan kelaparan dan tidak membunuhnya untuk dijadikan makanan. Oleh itu kebaikan betalah yang paling finggi. "
Kemudian Raja Sakka pula menyambungi "Beta meninggalkan segala-gala yang gemilang di syurga, dan turun ke dunia untuk berbuat baik. Oleh yang demikian, kebaikan betalah yang paling agung."
Akhimya Raja Dhananjaya berkata: "Hari ini beta meninggalkan istana serta enam belas ribu gadis-gadis penari untuk menjadi pertapa di taman ini. Dengan itu, kebaikan betalah yang paling murni.
"Jadi tiap-tiap orang raja itu mengaku kebaikan diri mereka masing-masing yang paling agung. Mereka bertanya Raja Dhananjaya, "0 Raja! Adakah sesiapa yang bijak di istana ini yang boleh menyelesaikan masalah kita ?"
" Ya, sahabatku. Saya mempunyai Vidhura Pandita yang boleh menyelesaikan kesangsian kita; kita akan ke tempatnya," kata Raja Dhananjaya.
Keempat-empat raja itu pun pergi berjumpa Vidhura Pandita serta mengemukakan masalah mereka. Selepas mendengar keterangan daripada mereka, Vidhura menerangkan kebaikan setiap orang daripada mereka itu adalah satu dan sama saja. Raja-raja itu sungguh gembira dengan jawapannya. Raja Sakka menghadiahkan sehelai jubah sutera yang sangat indah kepada Vidhura. Raja Supanna memberinya kalungan bunga keemasan. Raja Varuna pula memberi sebiji permata dan Raja Dhananjaya menghadiahkan seribu ekor lembu dan barang-barang lain.
Apabila permaisuri Raja Naga, Vimala, melihat permata yang dipakai di leher suaminya sudah tiada lagi, baginda bertanyakan suaminya ke manakah permata itu. Raja menerangkan bahawa baginda sungguh suka hati dengan Vidhura Pandita lalu memberi kepadanya. Setelah permaisuri mendengar tentang keagungan Vidhura Pandita daripada raja, baginda juga berniat hendak mendengar khutbah beliau.
Selepas itu Permaisuri berfikir, "Kalau beta memberitahu raja beta hendak mendengar Vidhura Pandita berkhutbah berkenaan Dhamma, dan menyuruh Vidhura dibawa ke mari, mungkin baginda tidak akan membawanya ke mari. Lebih baik beta berpura-pura gering." Dengan itu baginda pun berbaring di atas katil berpura-pura gering.
Apabila Raja tidak melihat Permaisuri, baginda bertanya kalau apa-apa yang tak kena. Dayang-dayang menyatakan permaisuri sedang gering. Raja segera pergi ke tempat permaisuri sedang berehat dan bertanya tentang kegeringannya. Permaisuri menyatakan baginda inginkan jantung Vidhura dan akan mati jika tidak mendapatnya.
Raja Varuna mempunyai seorang puteri yang cantik bernama Irandati. Raja menyuruh puteri mencari seorang suami yang dapat membawa jantung Vidhura Pandita kepada baginda. Dengan itu puteri pergi memetik bunga di Gunung Himalaya dan menaburkannya di atas tanah. Kemudian, dia menari dan menyanyi dengan merdu sekali sambil berkata, "Siapa yang menjadi suamiku, aku akan buatkan dia amat bahagia !"
Pada ketika itu, seorang jeneral bernama Punnaka sedang menunggang kuda melalui tempat itu. Jeneral itu ialah anak saudara kepada Raja Vessavana yang agung itu. Semasa dia melalui Gunung Hitam, Punnaka terdengar dendangan puteri Irandati. Suara puteri itu meresap masuk ke dalam kulitnya hinggalah ketulangnya kerana dia pemah mendengar suara itu dalam kehidupannya yang lampau. "0 Puan ! Usahlah risau. Saya akan membawa jantung Vidhura untukmu."
Punnaka tidak berani hendak pergi mendapatkan jantung Vidhura tanpa kebenaran Raja Vessavana. Punnaka pergi berjumpa Raja tetapi pada saat itu Raja sedang sibuk menyelesaikan pergaduhan di antara dua dewa. Raja Vessavana tidak mendengar apa yang Punnaka katakan. Kemudian raja bertitah kepada salah satu daripada dewa-dewa itu, "Pergilah kamu tinggal di dalam istanamu."Apabila Punnaka mendengar perkataan "kamu pergilah", dia berpura-pura seolah-olah raja membenarkan dia pergi. Maka dia pun menunggang kuda ajaibnya pergi dari situ.
Ketika dalam penerbangannya ke udara, dia berfikir, "Vidhura Pandita mempunyai ramai pengikut, tentu dia tidak boleh diambil dengan paksaan; tetapi Raja Dhananjaya tekenal dengan kemahiran baginda dalam
perjudian. Saya akan mengalahkan baginda dan mengambil Vidhura Pandita. Saya akan membawa sebiji permata kepunyaan pemerintah dunia. Tentu raja itu mahukannya." Punnaka kemudiannya menyamar diri menjadi seorang Brahmin yang bernama Kaccayana dan pergi mengadap Raja Dhananjaya.
Punnaka mempunyai seekor kuda ajaib. la boleh terbang dan lari dengan sungguh pantas, dan apabila Punnaka menghulurkan tangannya, kuda itu dapat berdiri di atas tapak tangannya. Raja Dhananjaya lebih berminat kepada permata ajaib itu. Bermacam-macam benda boleh dilihat di dalamnya- orang-orang, binatang-binatang, alat-alat muzik, gunung-ganang dan sebagainya.
Kata Punnaka, "0 Tuanku! Jika Tuanku menang dalam perjudian dengan patik, patik akan memberi permata ajab ini kepada Tuanku. Tetapi apakah yang Tuanku akan beri sekiranya patik menang ?"
"Beta akan memberi apa saja yang kamu pinta, kecuali badan dan payung putih beta." jawab Raja.
Akhimya Raja dan Punnaka masuk ke dewan perjudian dan mengeluarkan sebuah meja perak serta sebiji dadu emas. Bonda kepada raja itu adalah dewi yang menjaga baginda. Dewi ini menolong baginda supaya memenangi permainan itu. Apabila Punnaka sedar bonda raja itu sedang menggunakan kuasanya untuk menolong baginda, dia mencelikkan matanya dengan luas seperti orang yang marah dan memandang kepada dewi itu. Dewi itu menjadi takut dan terus berundur dari situ. Oleh yang demikian, raja pun kalahlah dalam perjudian yang menggunakan buah dadu itu.
Vidhura Dan Yakkha
Setelah Raja Dhananjaya kalah kepada Punnaka dalam perjudian yang. menggunakan buah dadu itu, baginda bertanya apakah hadiah yang Punnaka mahu. Jawab Punnaka, dia mahukan menteri baginda, Vidhura Pandita. Raja sungguh terperanjat dan berkata, "Dia adalah menteri beta yang tidak boleh dibandingkan dengan harta benda !"
"Adakah kamu ini hamba atau kerabat diraja?" Punnaka menyoal Vidhura. Vidhura menjawab, bahawa dia adalah hamba raja dan boleh diberi kepada sesiapa saja. Oleh itu Punnaka pun mengambilnya. Tetapi sebelum meninggalkan negerinya, Vidhura meminta izin untuk berkhutbah kepada isteri-isteri dan anak-anaknya terlebih dahulu. Pada hari ketiga, setelah habis memberi tunjuk ajar dan nasihat kepada keluarganya, dia dengan tenangnya mengikuti Punnaka.
Kemudian Vichura pergi mengadap raja untuk mengucapkan selamat tinggal. Raja amat sedih dan hiba kerana Vidhura terpaksa pergi. "Beta akan menghantar seorang Brahmin muda untuk melakukan sesuatu, kemudian kita akan membunuh Punnaka." Tetapi Vidhura menasihati raja, bahawa seseorang raja tidak patut membuat pekerjaan yang keji seperti itu. Akhirnya Punaka pun membawa Vidhura pergi dari situ.
Punnaka memandang Vidhura lalu berkata, "Kamu sekarang ini sedang mengorak langkah daripada hidup kepada mati; perjalanan yang jauh sedang menunggumu. Peganglah ekor kuda ajaibku; kamu tidak akan dapat melihat dunia manusia lagi.
Jawab Vidhura, "Saya tidak takut kepada sesiapapun sebab saya tidak pernah mengkhianati sesiapa sama ada dengan cara pemikiran, percakapan atau perlakuan saya. Oleh itu, tiada sesiapapun yang boleh mengkhianati saya ". Kemudian dia pun memegang ekor kuda itu. Dengan keadaan demikian, mereka berkuda di angkasa menuju ke Gunung Hitam. Vidhura tidak pun tercedera disebabkan oleh pokok-pokok atau batu-batu.
Punnaka seterusnya cuba menakutkan Vidhura. Dia menjelma dirinya. menjadi hantu, tetapi Vidhura tidak takut sedikit pun. Kemudian dia bertukar menjadi singa, kemudian menjadi seekor gajah; selepas itu menjadi seekor ular yang sangat besar. Vidhura. masih juga tidak gentar. Punnaka cuba pula membuat
angin yang bertiup kencang, tetapi Vidhura tetap membisu. Lepas itu dia meletakkan Vidhura di atas puncak gunung dan menukar dirinya menjadi seekor gajah yang amat besar. Dia menggegarkan dan menggoyang gunung itu dari kiri ke kanan, dan dari kanan ke kiri tak ubah seperti sebatang pokok palma. Namun demikian Vidhura tidak takut. Seterusnya Punnaka masuk ke dalam gunung itu dan membuat suatu bunyi yang sungguh kuat dan menakutkan; tetapi semua usahanya gagal untuk menakutkan Vidhura.
Dia terlintas suatu fikiran, "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!" Dia menangkap Vidhura, sambil berdiri di atas kemuncak gunung itu, Punnaka menghayun Vidhura dalam keadaan kepalanya ke bawah. Semasa ianya dihayun sedemikian, Vidhura menyoal Punnaka, "Apakah sebabnya maka kamu hendak membunuh saya ?" Selepas sebab-musababnya diberitahu, Vidhura pun fahamlah bahawa kata-kata Permaisuri itu telah disalah tafsir. Permaisuri itu bukannya inginkan jantung di dalam badan Vidhura. Apa yang baginda mahukan ialah jantung kebijaksanaannya.
Vidhura meminta Punnaka mendengar dia berkhutbah terlebih dahulu. Selepas itu dia rela memberi jantungnya. Setelah Punnaka mendengar khutbah Vidhura, dia menyedari tentang kejahatan yang telah dilakukannya. Lantarannya dia telah membebaskan Vidhura. Walau bagaimanapun Vidhura tidak terus pulang ke negerinya. Sebaliknya dia menyuruh Punnaka membawanya ke alam naga untuk membetulkan segala sangkaan yang salah itu.
Punnaka membawa Vidhura berjumpa Raja Naga. Vidhura berdiam diri sahaja, dan Raja Naga sangkakan dia takut. Tetapi Vidbura menjelaskan, dia tidak takut walaupun kepada mati. Vidhura seterusnya bertanya Raja Naga, sama ada baginda tahu bagaimana baginda boleh dilahirkan dalam dunia yang penuh kegembiraan, dengan berbagai-bagai perkara yang gilang-gemilang. Raja Naga menerangkan baginda telah membuat amalan-amalan yang baik di masa silam. "Semasa kami menjadi manusia dulu," kata raja, "isteri beta dan beta sendiri hidup dengan penuh keimanan. Kami menjaga sami-sami dan Brahmin di rumah kami. Kami menghadiahkan bunga malai, air wangi, ubat-ubatan, lampu-lampu, kerusi-kerusi, tempat-tempat berehat, kain baju, katil-katil, makanan dan minuman. Disebabkan pemberian itulah kami dilahirkan di alam Naga dan di istana yang indah permai ini.
"Oleh itu Tuanku patutlah meneruskan amalan baik itu supaya Tuanku akan dapat tinggal di istana lagi."
"Tetapi di sini tiada sami atau Brahmin yang mana beta boleh memberi sedekah,"jawab Raja.
"Naga-naga di sini mempunyai anak-anak dan isteri-isteri mereka. Hindarilah daripada melakukan kejahatan terhadap mereka, sama ada dari segi perlakuan atau percakapan. Dengan itu Tuanku akan tetap di sini sepanjang hayat; dan selepas mangkat, akan pergi ke dunia dewa-dewa.
Raja Naga sungguh suka hati mendengar ajaran Vidhura itu. Fikir baginda, "Beta akan membawanya kepada Vimala dan biarkan dia mendengar nasihat-nasihatnya." Apabila Vimala melihat Vidhura, baginda menyembah memberi hormat. Alangkah bahagianya hati baginda ketika itu. Vidhura berkhutbah kepada permaisuri Vimala. Selepas itu ia berkata, "Usahlah risau, 0 Naga! Saya sudah ke mari untuk apa jua pun puan hendak guna badan patik, atau jantung dan daging patik, patik sedia menyerah diri dan akan menurut segala hasrat puan."
"Kebijaksanaanmu laksana jantung bagi orang-orang yang arif," kata Raja Naga. "Kami sungguh bahagia hari ini kerana kebijaksanaanmu. Biarlah orang yang membawa tuan ke mari mendapatkan bakal isterinya dan membawa tuan pulang ke negeri Kuru hari ini juga. "
Pada awal pagi, hari yang sama. Raja Dhananjaya bermimpi. Mimpi baginda begini: Di pintu istana raja terdapat sebatang pokok besar yang mana dahannya umpama kebijaksanaan, rantingnya umpama
kebaikan, serta buah-buahnya terdiri daripada lima hasil tenusu (susu, minyak sapi, dadih susu, mentega dan susu cair yang lemaknya telah diasingkan)
Pokok ini ditutup dengan gajah-gajah, kuda-kuda yang dihiasi dengan kain-kain penutup yang indah-indah. Ramai orang yang datang menyembahnya dengan penuh hormat. Tiba-tiba datang seorang berkulit hitam memakai kain merah, subang yang terdiri daripada bunga merah, membawa senjata di tangannya lalu menebang pokok itu di umbinya. Orang ramai merayu supaya jangan dipotong pokok itu, tetapi tidak dihiraukannya. Kemudian diheretnya pokok itu pergi dari situ.
Raja Dhananjaya tahu maksud mimpi baginda. Vidhura diibaratkan sebagai pokok itu dan Punnaka orang yang memotongnya. Raja menitahkan rakyat jelata berkumpul di dalam Dewan Kebenaran menunggu kepulangan Vidhura Pandita dan Punnaka. Apabila Vidhura tiba. Raja menyuruh beliau duduk berhampiran dengan pintu di tengah-tengah majlis perhimpunan di dalam Dewan Kebenaran itu. Kemudian Punnaka dan Puteri Irandati meninggalkan mereka untuk pulang ke kota mereka di kayangan.
Setiap orang sangat sukahati dapat bertemu dengan Vidhura Pandita semula. Raja bertanya kepada Vidhura, "Bagaimana Brahmin muda itu boleh melepaskan kamu?" Lalu diterang oleh Vidhura segala apa yang telah berlaku:
"O Tuanku! Orang yang tuanku katakan orang muda itu bukannya sembarangan orang. Beliau ialah Punnaka, menteri kepada Raja Vessanvana. Punnaka mencintai puteri Irandati, iaitu puteri Raja Naga yang bernama Varuna. Dia bercadang hendak membunuh patik untuk mendapatkan puteri yang dicintainya itu. Sekarang dia sudah pun beristerikan puteri idamannya itu. Patik dibenarkan pulang. Raja Naga pula memberi permata baginda kepada patik." Vidhura juga menjelaskan bagaimana Raja Naga tersalah faham akan kehendak permaisuri yang sebenarnya. Bukannya jantung daripada badan Vidhura yang dikehendaki baginda; tetapi kebijaksanaan serta khutbah Vidhura yang baginda ingin mendengamya.
Raja beserta sekalian rakyat begitu gembira sekali, sehinggakan mereka mengadakan perayaan sebulan lamanya. Bodhisatta berkhutbah kepada Raja dan sekalian orang dengan menyuruh mereka melakukan perbuatan yang baik serta memberi sedekah. Selepas raja mangkat, baginda dilahirkan di syurga dewa-dewa.
Jika seseorang mendampingi dan mengikuti orang bijak yang sudi membetulkan kesalahannya,
diumpamakan dia telah menjejakkan langkah ke khazanah.
Dia akan mendapat keuntungan dan bukannya kerugian.
( Dhammapada, ayat 76 )
Orang yang bijak harus menasihati orang lain,
memberi tunjuk ajar demi mencegah mereka melakukan kejahatan.
Ia dipandang mulia oleh orang baik-baik, sebaliknya dicemuhi oleh orang yang jahat.
( Dhammapada, ayat 77 )
Selasa, 16 November 2010
KISAH CANDA KUMARA
Pada zaman silam, di Pupphavatia, ada seorang raja bernama Ekaraja dan puteranya bernama Canda Kumara. Sami bagi keluarga ini ialah seorang Brahmin bernama Khandahala. Dia sangat dihormati oleh raja. Suatu hari raja melantiknya menjadi hakim. Tetapi dia tidak amanah dan banyak menerima rasuah. Pada suatu hari seseorang telah kalah dalam perbicaraannya, walaupun setelah dia memberi rasuah kepada Khandahala. Ketika dia sedang berjalan keluar daripada mahkamah, dia bertemu Putera Canda dan merayu agar putera itu menolongnya.
Putera Canda membawa orang itu kembali ke dalam mahkamah. Kali ini orang itu menang dan mendapat balik semua hartanya. Orang ramai sangat gembira dengan keputusan itu. Mereka bersorak dan bertepuk tangan. Apabila berita ini sampai ke pengetahuan raja, baginda melantik Putera Canda menjadi hakim. Sementara itu Khandahala menjadi semakin miskin kerana tidak lagi dapat menerima rasuah. Dia mula membenci Putera Canda.
Raja Ekaraja bukanlah seorang yang bijak. Pada awal suatu pagi, ketika bangun dari peraduannya, baginda ternampak Syurga Tiga Puluh Tiga Dewa-Dewa dengan segala kegemilangannya. Baginda ingin benar hendak ke sana. "Beta mesti bertanya kepada Khandahala bagaimana hendak ke sana." Inilah peluang yang Khandahala nanti-nantikan. Dia menyembah kepada raja, "Tuanku mestilah memberi banyak hadiah dan membunuh yang tidak patut dibunuh."
Raja bertanya Khandahala apa yang dimaksudkannya. Jawab Brahmin itu, "Tuanku, Tuanku mestilah mengorbankan empat putera, empat permaisuri, empat saudagar yang kaya, empat ekor lembu jantan dan empat ekor kuda." Khandahala berfikir, "Kalau saya mengambil Canda Kumara seorang sahaja, semua orang akan tahu saya membencinya." Oleh itu Khandahala menempatkan Putera Canda bersama-sama dengan orang-orang lain dan binatang-binatang untuk dibunuh.
Khandahala menyuruh raja megumpulkan semua orang dan binatang itu untuk dikorbankan. Sebuah lubang besar digali untuk upacara ini. Apabila orang ramai mendengar tentang pengorbanan yang dahsyat ini, mereka menjadi takut. Tetapi raja mempercayai kata-kata Brahmin yang jahat itu. Baginda bertitah, "Dengan mengorbankan anak-anak dan isteri beta, beta akan dapat pergi ke syurga dewa-dewa."
Raja menitahkan askar-askar membawa Putera Canda. Apabila putera itu diberitahu semuanya adalah rancangan jahat Khandahala, dia pun tahulah pengkhianat itu sebenarnya hendak membunuhnya seorang sahaja. Semua orang yang hendak dikorbankan telah pun dibawa ke tempat yang disediakan. Orang ramai merayu agar raja tidak membunuh mereka, tetapi raja enggan mendengar segala nasihat. Bonda raja merayu;
"Mengorbankan putera-puteramu tidak akan membawamu menikmati kebahagiaan di syurga; Usahlah mendengar tipu helah; inilah sebenarnya jalan ke neraka."
Ayahanda raja juga meminta raja supaya jangan melakukan pengorbanan itu, tetapi raja tidak mendengarnya.
Kemudian Putera Canda merayu kepada ayahandanya:
"Biarlah kami menjadi hamba Khandahala, tapi janganlah ambil nyawa kami, Dalam keadaan berantai, kami akan menjaga kuda-kuda dan gajah-gajahnya, jika itu yang diingini."
"Biarlah kami menjadi hamba Khandahala, tapi janganlah mengambil nyawa kami, dalam keadaan berantai kami akan bersihkan kandang-kandang kudanya, atau perkarangan rumahnya, jika itu yang dikehendaki."
"Serahlah kami untuk menjadi hamba Khandahala atau pun ke tangan sesiapa malah, atau biarkan kami membawa diri ke mana saja meminta sedekah."
Apabila mendengar rayuan puteranya, raja sungguh sedih hati dan dengan air mata yang bercucuran, baginda berkata, "Tiada siapapun yang akan membunuh.putera-putera beta, beta tidak perlu pergi ke syurga dewa-dewa!" Dan baginda pun bertitah supaya mereka dibebaskan.
Waktu itu, Khandahala yang sedang menggali lubang untuk upacara korban itu mendengar raja hendak melepaskan kesemua tahanan itu. Dengan segera dia pergi mengadap raja dan berkata, "Patik sudah pun berkata kepada tuanku adalah amat sukar untuk membuat pengorbanan ini. Mengapakah tuanku berhenti bila kita baru saja mula?" Raja yang bodoh itu mendengar kata-kata Khandahala, sekali lagi menitahkan orang-orang membawa tahanan itu.
Putera Canda sekali lagi meminta raja supaya jangan jadi bodoh:
"Lihatlah burung-burung yang membina sarang-sarang dan menyanyi sepanjang hari,
Mereka sayangkan anak-anak mereka dan Tuanku, adakah Tuanku akan membunuh kami?
Adakah Tuanku fikir Brahmin kejam itu akan melepaskan nyawa tuanku selepas membunuh kami?
Giliranmu akan tiba, 0 Tuanku ! Bukan patik seorang yang akan mati. "
Sekali lagi raja bersedih dan membebaskan mereka semua. Tetapi Brahmin jahat itu berjaya memujuk baginda supaya meneruskan rancangannya. Kali ini, apabila Putera Canda merayu lagi, baginda tidak menghiraukannya. Putera Canda kemudiannya meminta tolong kepada orang-orang yang berada di situ, tetapi mereka takut hendak bersuara. Kemudian Putera Canda menyuruh isterinya merayu kepada raja dan Khandahala supaya jangan membunuh mereka. Raja tidak menghiraukan permintaan mereka.
Putera kepada Canda, Vasula, melihat penyeksaan yang dialami oleh ayahandanya. Dengan langkah yang lemah, Vasula pergi mengadap raja,
"0 bebaskanlah ayahanda saya. Janganlah biarkan saya yang masih kanak-kanak tinggal keseorangan."
Raja merasai seolah-olah jantungnya terbelah dua. Dengan air mata yang berlinangan, dia memeluk cucunya itu dan berkata, "Baiklah, cucunda, nenenda akan beri ayahandamu padamu." Khandahala sekali lagi memberi amaran pada Raja dan sekali lagi Raja menurutnya. Kali ini Khandahala membawa semua tahanan itu ke dalam lubang yang telah digalinya, supaya raja tidak boleh lagi menukar fikirannya.
Semua orang di Pupphavati menangis kerana terlalu sedih. Mereka hendak pergi melihat upacara korban itu, tetapi tidak dapat keluar kerana pintu pagar tidak cukup besar. Khandahala mengarahkan supaya semua pintu-pintu ditutup. Mereka dikurung di dalam kota itu dan menangis kesedihan. Bonda kepada Raja, Permaisuri Gotami, meminta raja membatalkan upacara itu tetapi tidak mendapat jawapan. Baginda kemudiannya menyuruh keempat-empat orang isteri Putera Canda membuat rayuan kepada Raja tetapi tidak juga berhasil. Permaisuri Gotami kemudiannya mula memaki hamun Khandahala.
Berkali-kali mangsa itu merayu supaya raja tidak membunuh mereka, namun raja tidak pedulikan permintaan mereka. Lubang yang digali sudahpun siap. Mereka membawa Putera Canda ke tempat yang disediakan di lubang itu. Khandahala memegang mangkuk emasnya dan mengambil sebilah pedang.
Sambil berdiri di situ dia berkata, "Saya akan memotong lehernya!" Apabila Permaisuri pertama Putera Canda, iaitu Permaisuri Canda, melihat apa yang sedang terjadi, dia mengangkat tangannya menyembah seraya berkata:
"Semoga segala roh-roh di tempat ini - hantu, syaitan dan pari- mendengar kata-kataku ini, Buatlah apa yang aku suruh, kembalikanlah Tuanku kepadaku ! "
"0 dewa-dewa dan dewi-dewi yang berada di sini, aku sujud di kakimu,
Lindungilah aku, dengarlah rayuanku yang tak terdaya ini !"
Raja Sakka, raja kepada segala dewa-dewa mendengar tangisan seta rayuan Permaisuri Canda. Raja Sakka juga nampak apa yang sedang berlaku. Baginda mengambil sebilah tukul besi panas yang merah menyala, mengugut Raja Ekaraja serta menyuraikan orang ramai yang sedang berkumpul di situ. Kemudian Raja Sakka menyuruh raja membebaskan semua tahanan dan menghukum Khandahala kerana kekejamannya.
Orang ramai membunuh Khandhala. Mereka juga hendak membunuh Raja Ekaraja tetapi dilarang oleh Raja Sakka. Sungguh pun mereka tidak membunuh raja itu, tetapi mereka berkata, "Kami tidak mahu dia memerintah atau tinggal di kota ini, kami akan menghalaunya, biar dia tinggal di luar kota." Selepas Ekaraja dibawa ke luar kota, mereka melantik Canda Kumara menjadi raja baru. Raja Canda memberi segala keperluan yang diperlukan oleh Ekaraja, tetapi dia tidak dibenarkan masuk ke kota itu lagi. Waktu Raja Canda keluar dari kota Ekaraja akan ikut bersamanya. Tetapi Ekaraja tidak mahu menggunakan tangannya untuk memberi hormat kepada Raja Canda kerana, fikirnya, dia masih menjadi raja di situ. Dia hanya berkata, "Lanjut usiamu, 0 Tuan !" Raja Canda memberi segala apa yang diminta oleh ayahandanya.
Langganan:
Postingan (Atom)