Senin, 17 Januari 2011

PLURALISME DALAM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA

PLURALISME DALAM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA
Disampaikan oleh: Bhikkhu Nyanakaruno Thera

Pendahuluan
Setiap orang sebagai anggota masyarakat berhak akan jaminan sosial. Pembangunan sosial dalam politik sosial dan kebijaksanaan sosial dapat dipandang sebagai perubahan sosial yang positif. Namun disayangkan, perubahan sosial yang terjadi justru dipolitisir oleh kepentingan individu/perorangan, yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan sosial dan memungkinkan munculnya pertentangan antar kelompok/golongan yang secara substansi menyimpang dari apa yang diharapkan.
Permasalahan kehidupan beragama saat ini justru diakomodasikan untuk memenuhi kepentingan pribadi/golongan dengan menggunakan kedok agama sebagai saranan dan menu yang dirasakan empuk untuk memperoleh dan mengeruk keuntungan pribadi/golongan. Eronisnya, cara demikian sementara ini dianggap oke-oke saja dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya pro dan kontra. Pro dan kontra dalam menilai dan memahami permasalahan ini hendaknya dihadapi dengan suasana hati yang sejuk dan bijaksana sehingga lebih mengedepankan nilai-nilai hakiki manusia dan agama.

Wawasan Pluralisme
Plural berasal dari kata plura, plures (bahasa latin) berarti banyak atau lebih dari satu. Pluralitas mengandung makna adanya perbedaan, seperti yang terjadi dengan kemajukan bahasa, etnis, budaya, ideologi dan agama. Pengakuan terhadap pluralitas bisa dihubungkan dengan fragmentasi, sedangkan sikap atau paham pluralisme mempertalikan kebhinnekaan sebagai suatu kebutuhan bersama yang mempersatukan.

Visi dan Misi Kemasyarakatan Buddhis
Buddha mengajarkan dharma (dhammacakkapavattava sutta) yang pertama kali untuk membebaskan manusia dari penderitaan. Buddha mengajarkan ajarannya dengan pendekatan adanya penderitaan (dukkha), sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan menuju lenyapnya penderitaan. Sesungguhnya Buddha bercita-cita mewujudkan suatu masyarakat Buddhis di tengah-tengah berbagai sistem agama yang ada pada waktu itu. Beliau amat memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan didunia ini. Beliau ingin memperbaiki beberapa kondisi hidup manusia, di dalam masyarakat atau secara individual, dengan tujuan untuk mendukung kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi. Namun sekaligus menekankan pentingnya perkembangan spiritual manusia.
Visi Buddhis didalam tindakan berhubungan dengan kisah bahwa di India pada jaman Buddha, terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah secara demokratis atau Republik-Republik Desa seperti Licchavi dan Vajji. Buddha menyebutkan komunitas-komunitas ini layak diteladani yang lain-lainnya. Beliau menunjukkan bahwa komunitas-komunitas ini memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang mampu memberdayakan mereka untuk berdiri menentang campur tangan pihak luar. Menurut Buddha, ciri-ciri khas yang menonjol dari komunitas-komunitas ini adalah: pertemuan komunitas yang sering diadakan; partisipasi komunitas dalam mengambil keputusan; berkumpul dengan damai, berdiskusi dengan damai, dan bubar dengan damai; menaati hukum yang berlaku; tidak memaksakan hukum yang tak dapat dipatuhi; perlindungan dan kesejahteraan bagi anak-anak, wanita, orang sakit, orang cacat, dan manula; melanjutkan acara-acara kebudayaan tradisional tanpa putus, serta mengundang, menunjang, dan belajar dari para arif-bijaksana seperti para biku dan petapa yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga guna mencari pencerahan spiritual.
Buddha menekankan pada aturan disiplin, yang menyangkut segi duniawi dan spiritual, untuk dapat dipraktekkan. Keadaan demikian sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Buddha dalam kitab Digha Nikaya (D.iii.127) yaitu ‘demi untuk kebaikan dan kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang terhadap dunia, demi kebaikan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.
Kehidupan umat Buddha ditengah-tengah masyarakat, erat sekali berhubungan dengan segala macam gerakan sosial. Buddha mengajarkan kepada umat manusia untuk tidak melarikan diri dari kenyataan-kenyataan hidup yang wajar, melainkan mendorong untuk menghadapi dan memecahkannya dengan usaha sendiri. Seorang Buddhis yang baik tidak akan berpaling dari setiap masalah kemasyarakatan, juga tidak menolak untuk bekerja demi kebaikan umum. Dalam hubungan ini perlu kiranya dikemukakan dua prinsip pandangan Buddhis yaitu:
a. Kehidupan tidak dapat lepas dari saling berhubungan, saling bergantungan dan kerja sama. Bagi orang yang baik, kepentingan orang lain sama pentingnya dengan kepentingannya sendiri. Buddha bersabda: “... orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan sendiri adalah yang terbaik” (A.ii.95; D.iii.223).
b. Namun seseorang tak akan dapat menolong orang lain sebelum ia menolong dirinya sendiri. Oleh karena itu, hendaknya seseorang mengembangkan diri dengan sifat-sifat yang memungkinkannya menjadi sumber kebaikan dan pertolongan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Seperti yang disabdakan oleh Buddha: “tidak mungkin orang yang terperosok ke dalam lumpur dapat menarik orang lain dari lumpur. Hanya orang yang telah bebas dari lumpur dapat menolong orang lain....” (M.i.45).
Setiap orang pada kontek kehidupan bermasyarakat secara langsung maupun tidak langsung saling berhubungan satu sama lain. Pada persoalan kehidupan beragama sebenarnya keanekaragaman merupakan nilai-nilai hakiki dari kehidupan. Eksistensi manusia dalam upaya membangun sosial kemasyarakatan akan sangat tergantung pada sikap individu yang terbuka terhadap perbedaan dimana hal ini tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu kerelaan dan keterbukaan individu dalam menerima perbedaan merupakan aktualisasi kehidupan sosial.
Buddhisme menganggap bahwa satu adalah semua dan semua adalah satu... Apa pun yang kita lakukan, baik atau buruk, mempengaruhi masyarakat dan alam di sekitar kita sebagai satu keseluruhan. Maka dari itu, apabila ingin berbahagia, bukanlah demi untuk kita sendiri, melainkan bersama-sama seluruh masyarakat; bersama-sama kita bahagia, atau menderita, oleh karena alam semesta terikat pada hukum ketergantungan.
Pandangan demikian menghasilkan suatu prinsip moral sosial, yang melihat kepentingan orang lain dalam kepentingan diri sendiri. Orang yang menjalankan prinsip-prinsip moral-sosial ini disebut orang yang baik dan berharga (M.I.341). Orang yang demikian tidak pernah berpikir akan mencelakakan orang lain maupun diri sendiri; sebaliknya, ia selalu memikirkan kebaikan dirinya dan umat manusia seutuhnya, dan ia juga membantu orang lain untuk berbuat kebaikan. Ia tidak menonjolkan diri sendiri dan meremehkan orang lain; ia menghormati dan menyokong mereka yang menjalankan kebenaran (dharma).

Membangun Sosial Kemasyarakatan Antar Agama
Kehidupan beragama merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Munculnya persoalan-persolan antar agama lebih bersumber pada kondisi-kondisi sosial politik yang kurang stabil dan fenomena pemahaman agama yang sempit. Kemudian persoalan-persoalan tersebut diakomodir oleh kepentingan pribadi dan golongan, sehingga menjadikan persoalan yang kompleks.
Kesadaran umat beragama akan pluralitas keberagamaan merupakan kebutuhan bagi upaya untuk membangun sosial kemasyarakatan antar agama. Seperti kajian tersebut di atas agama Buddha menekankan dan menjunjung tinggi upaya kehidupan sosial kemasyarakatan antar agama yang harmonis. Keharmonisan ini telah dibuktikan sendiri oleh Buddha atas permintaan calon siswaNya yang bernama Upali yang ingin menjadi pengikut Buddha. Meskipun Upali menjadi pengikut Buddha tetapi tetap harus menghargai dan menghormati serta membantu mantan gurunya. Demikian besar toleransi Buddha terhadap agama lainnya.
Kehidupan sosial antar agama yang harmonis telah dilaksanakan oleh raja Asoka. Asoka adalah seorang raja Buddhis yang sangat terkenal, karena benar-benar mengamalkan ajaran cinta kasih dan kasih sayang. Asoka membangun sosial kemasyarakat antar agama seperti yang tertulis dalam dekrit Asoka yang berbunyi: “siapapun yang memuji agamanya sendiri dan merendahkan agama lain, hanya akan merendahkan dan mengubur agamanya sendiri”.
Seruan konggres umat Buddha sedunia menjelaskan “yang perlu dilakukan sekarang ini adalah menanamkan minat terhadap apa yang dikenal sebagai inti agama Buddha, yaitu bekerja secara langsung guna menghilangkan keinginan-keinginan yang bersifat pribadi, mengajarkan moralitas dalam rangka mendukung kepentingan masyarakat dan kepentingan negara”.

Enam macam cara kehidupan yang membawa pada keharmonisan (saraniyadhamma) yang dapat dijadikan sebagai upaya membangun sosial kemasyarakatan antar agama yaitu:
1. Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk perbuatan kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettakaya kamma).
2. Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk ucapan kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettavaci kamma).
3. Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk pikiran kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettamano kamma).
4. Memberikan kesempatan kepada para tokoh agama untuk ikut menikmati keuntungan-keuntungan yang telah diperoleh dengan cara yang benar dan tidak mempergunakan sendiri apa yang telah diperolehnya.
5. Selalu menjaga kesucian moralitas sewaktu berkomunikasi dengan pemukanya dan tidak berbuat sesuatu yang melukai perasaan mereka.
6. Hidup harmonis bersama-sama dan tidak bertengkar karena perbedaan pendapat dan pandangan (disarikan dari kitab Digha Nikaya, Sutta Pitaka).
Seseorang yang berkelakuan sesuai dengan hal-hal tersebut akan dicintai dan dihormati oleh orang lain. Cita-cita sosial agama Buddha adalah mencapai tujuan tertinggi yaitu pembebasan akhir spiritual (Nibbana/Nirvana). Sedangkan kesejahteraan duniawi dianggap sebagai sesuatu yang baik. Segala cara yang baik untuk mencapai tujuan yang baik dinamakan tindakan yang baik (dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan), yaitu segala tindakan yang bermanfaat untuk kesejahteraan orang lain maupun diri sendiri.
Tolok ukur kualitas kehidupan manusia di masyarakat adalah watak mereka yang dibentuk oleh tingkah laku sehari-hari. Perilaku bermoral yang disebut perilaku susila menempati kedudukan penting. Buah dari kehidupan susila dalam sosial kemasyakatan adalah memperoleh kebebasan dari sesal, disamping yang bersangkutan akan menikmati hal-hal sebagai berikut: (1) memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran dalam hidup melalui hasil karyanya sendiri. (2) menikmati nama harum dalam masyarakat, (3) menghadapi masyarakat dengan ketetapan hati, tanpa rasa gelisah, (4) kelak meninggal dengan penuh kesadaran, (5) akan terlahir kembali di salah satu alam dewa yang menyenangkan (D.ii.86).
Esensi membangun sosial kemasyarakatan antar agama dalam perspektif agama Buddha adalah menekankan bahwa setiap orang harus melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan kedudukan sosial yang ditentukan oleh hubungan dengan warga masyarakat lain, berdasarkan prinsip-prinsip moral. Hanya dengan demikian orang akan mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan dalam masyarakat. Sebaliknya, orang yang tidak menjalankan kewajiban kedudukan dan tanggung jawabnya dalam masyarakat tidak patut diakui atau dihargai kedudukan sosialnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar