Jumat, 21 Januari 2011

Cerita Dhammapada Atthakatha

Anak-Anak Mengunjungi Sang Buddha

Pada suatu ketika, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihara Jetavana, Savatthi, terdapat beberapa orang tua yang menjadi pengikut aliran yang sesat. Ketika mereka melihat anak-anak mereka bermain-main dengan anak-anak yang orang tuanya pengikut Sang Buddha, mereka marah dan tidak senang. Setelah anak-anak itu selesai bermain dan pulang ke rumah, mereka segera memarahi anak-anaknya :
"Mulai sekarang, kalau kamu bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu pengikut Pangeran Sakya, kamu tidak usah memberi hormat, dan tidak boleh memasuki pertapaan mereka".
Anak-anaknya disuruh bersumpah, harus mentaati apa yang mereka katakan.
Pada suatu hari, anak-anak pengikut aliran sesat itu sedang bermain-main di luar Vihara Jetavana, tempat Sang Buddha berdiam. Mereka bermain-main di depan pintu gerbang Vihara, setelah lelah bermain, mereka merasa amat haus dan ingin minum. mereka lalu menyuruh salah seorang temannya masuk ke dalam Vihara :
"Kamu masuk dulu ke dalam, mintalah air minum dan bawakan juga untuk kami".
Salah seorang anak laki-laki itu masuk ke Vihara, dan bertemu dengan Sang Buddha. Setelah memberi hormat, ia bercerita bahwa mereka sedang bermain-main di depan Vihara dan sekarang merasa haus, ingin minta air minum.
Sang Buddha berkata :
"Kamu boleh minum air di sini, kalau sudah minum, kembalilah ke teman-temanmu, ajaklah mereka minum di sini".
Kemudian semua anak-anak itu masuk ke dalam Vihara untuk minum. Selesai minum, Sang Buddha mengumpulkan mereka, dan mengajarkan Hukum Alam Semesta dengan kata-kata yang mudah mereka pahami. Akhirnya mereka mengerti dan menjadi murid Sang Buddha.
Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing, dan bercerita kepada orang tua mereka tentang Ajaran Sang Buddha. Beberapa orang tua yang menganut pandangan sesat itu bersedih hati dan menangis:
"Anak kami telah manganut pandangan sesat".
Tetapi ada beberapa orang tua yang pandai dan mengerti Ajaran Sang Buddha. Ketika menyadari kekeliruannya, mereka mendatangi orang tua yang keliru itu dan menjelaskan Ajaran Sang Buddha. Akhirnya mereka semua mengerti akan Dhamma yang Sang Buddha ajarkan, mereka berkata:
"Kami akan menyuruh anak-anak kami melayani Sang Guru Agung kita"
Bersama dengan keluarga masing-masing, mereka berbondong-bondong mengunjungi Sang Buddha.
Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran mereka sudah berubah, segera menerangkan kembali AjaranNya kepada mereka. Sang Buddha mengucapkan syair:
"Mereka yang menganggap tercela terhadap apa yang sebenarnya tidak tercela dan menganggap tidak tercela terhadap apa yang sebenarnya tercela, maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan masuk ke alam sengsara".
(Dhammapada, Niraya Vagga no. 13)
"Mereka yang mengetahui apa yang tercela sebagai tercela, dan apa yang tidak tercela sebagai tidak tercela, maka orang yang menganut pandangan benar seperti itu akan masuk ke alam bahagia".
(Dhammapada, Niraya Vagga no. 14

Senin, 17 Januari 2011

PLURALISME DALAM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA

PLURALISME DALAM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA
Disampaikan oleh: Bhikkhu Nyanakaruno Thera

Pendahuluan
Setiap orang sebagai anggota masyarakat berhak akan jaminan sosial. Pembangunan sosial dalam politik sosial dan kebijaksanaan sosial dapat dipandang sebagai perubahan sosial yang positif. Namun disayangkan, perubahan sosial yang terjadi justru dipolitisir oleh kepentingan individu/perorangan, yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan sosial dan memungkinkan munculnya pertentangan antar kelompok/golongan yang secara substansi menyimpang dari apa yang diharapkan.
Permasalahan kehidupan beragama saat ini justru diakomodasikan untuk memenuhi kepentingan pribadi/golongan dengan menggunakan kedok agama sebagai saranan dan menu yang dirasakan empuk untuk memperoleh dan mengeruk keuntungan pribadi/golongan. Eronisnya, cara demikian sementara ini dianggap oke-oke saja dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya pro dan kontra. Pro dan kontra dalam menilai dan memahami permasalahan ini hendaknya dihadapi dengan suasana hati yang sejuk dan bijaksana sehingga lebih mengedepankan nilai-nilai hakiki manusia dan agama.

Wawasan Pluralisme
Plural berasal dari kata plura, plures (bahasa latin) berarti banyak atau lebih dari satu. Pluralitas mengandung makna adanya perbedaan, seperti yang terjadi dengan kemajukan bahasa, etnis, budaya, ideologi dan agama. Pengakuan terhadap pluralitas bisa dihubungkan dengan fragmentasi, sedangkan sikap atau paham pluralisme mempertalikan kebhinnekaan sebagai suatu kebutuhan bersama yang mempersatukan.

Visi dan Misi Kemasyarakatan Buddhis
Buddha mengajarkan dharma (dhammacakkapavattava sutta) yang pertama kali untuk membebaskan manusia dari penderitaan. Buddha mengajarkan ajarannya dengan pendekatan adanya penderitaan (dukkha), sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan menuju lenyapnya penderitaan. Sesungguhnya Buddha bercita-cita mewujudkan suatu masyarakat Buddhis di tengah-tengah berbagai sistem agama yang ada pada waktu itu. Beliau amat memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan didunia ini. Beliau ingin memperbaiki beberapa kondisi hidup manusia, di dalam masyarakat atau secara individual, dengan tujuan untuk mendukung kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi. Namun sekaligus menekankan pentingnya perkembangan spiritual manusia.
Visi Buddhis didalam tindakan berhubungan dengan kisah bahwa di India pada jaman Buddha, terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah secara demokratis atau Republik-Republik Desa seperti Licchavi dan Vajji. Buddha menyebutkan komunitas-komunitas ini layak diteladani yang lain-lainnya. Beliau menunjukkan bahwa komunitas-komunitas ini memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang mampu memberdayakan mereka untuk berdiri menentang campur tangan pihak luar. Menurut Buddha, ciri-ciri khas yang menonjol dari komunitas-komunitas ini adalah: pertemuan komunitas yang sering diadakan; partisipasi komunitas dalam mengambil keputusan; berkumpul dengan damai, berdiskusi dengan damai, dan bubar dengan damai; menaati hukum yang berlaku; tidak memaksakan hukum yang tak dapat dipatuhi; perlindungan dan kesejahteraan bagi anak-anak, wanita, orang sakit, orang cacat, dan manula; melanjutkan acara-acara kebudayaan tradisional tanpa putus, serta mengundang, menunjang, dan belajar dari para arif-bijaksana seperti para biku dan petapa yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga guna mencari pencerahan spiritual.
Buddha menekankan pada aturan disiplin, yang menyangkut segi duniawi dan spiritual, untuk dapat dipraktekkan. Keadaan demikian sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Buddha dalam kitab Digha Nikaya (D.iii.127) yaitu ‘demi untuk kebaikan dan kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang terhadap dunia, demi kebaikan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.
Kehidupan umat Buddha ditengah-tengah masyarakat, erat sekali berhubungan dengan segala macam gerakan sosial. Buddha mengajarkan kepada umat manusia untuk tidak melarikan diri dari kenyataan-kenyataan hidup yang wajar, melainkan mendorong untuk menghadapi dan memecahkannya dengan usaha sendiri. Seorang Buddhis yang baik tidak akan berpaling dari setiap masalah kemasyarakatan, juga tidak menolak untuk bekerja demi kebaikan umum. Dalam hubungan ini perlu kiranya dikemukakan dua prinsip pandangan Buddhis yaitu:
a. Kehidupan tidak dapat lepas dari saling berhubungan, saling bergantungan dan kerja sama. Bagi orang yang baik, kepentingan orang lain sama pentingnya dengan kepentingannya sendiri. Buddha bersabda: “... orang yang memperhatikan kepentingan orang lain di samping kepentingan sendiri adalah yang terbaik” (A.ii.95; D.iii.223).
b. Namun seseorang tak akan dapat menolong orang lain sebelum ia menolong dirinya sendiri. Oleh karena itu, hendaknya seseorang mengembangkan diri dengan sifat-sifat yang memungkinkannya menjadi sumber kebaikan dan pertolongan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Seperti yang disabdakan oleh Buddha: “tidak mungkin orang yang terperosok ke dalam lumpur dapat menarik orang lain dari lumpur. Hanya orang yang telah bebas dari lumpur dapat menolong orang lain....” (M.i.45).
Setiap orang pada kontek kehidupan bermasyarakat secara langsung maupun tidak langsung saling berhubungan satu sama lain. Pada persoalan kehidupan beragama sebenarnya keanekaragaman merupakan nilai-nilai hakiki dari kehidupan. Eksistensi manusia dalam upaya membangun sosial kemasyarakatan akan sangat tergantung pada sikap individu yang terbuka terhadap perbedaan dimana hal ini tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu kerelaan dan keterbukaan individu dalam menerima perbedaan merupakan aktualisasi kehidupan sosial.
Buddhisme menganggap bahwa satu adalah semua dan semua adalah satu... Apa pun yang kita lakukan, baik atau buruk, mempengaruhi masyarakat dan alam di sekitar kita sebagai satu keseluruhan. Maka dari itu, apabila ingin berbahagia, bukanlah demi untuk kita sendiri, melainkan bersama-sama seluruh masyarakat; bersama-sama kita bahagia, atau menderita, oleh karena alam semesta terikat pada hukum ketergantungan.
Pandangan demikian menghasilkan suatu prinsip moral sosial, yang melihat kepentingan orang lain dalam kepentingan diri sendiri. Orang yang menjalankan prinsip-prinsip moral-sosial ini disebut orang yang baik dan berharga (M.I.341). Orang yang demikian tidak pernah berpikir akan mencelakakan orang lain maupun diri sendiri; sebaliknya, ia selalu memikirkan kebaikan dirinya dan umat manusia seutuhnya, dan ia juga membantu orang lain untuk berbuat kebaikan. Ia tidak menonjolkan diri sendiri dan meremehkan orang lain; ia menghormati dan menyokong mereka yang menjalankan kebenaran (dharma).

Membangun Sosial Kemasyarakatan Antar Agama
Kehidupan beragama merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Munculnya persoalan-persolan antar agama lebih bersumber pada kondisi-kondisi sosial politik yang kurang stabil dan fenomena pemahaman agama yang sempit. Kemudian persoalan-persoalan tersebut diakomodir oleh kepentingan pribadi dan golongan, sehingga menjadikan persoalan yang kompleks.
Kesadaran umat beragama akan pluralitas keberagamaan merupakan kebutuhan bagi upaya untuk membangun sosial kemasyarakatan antar agama. Seperti kajian tersebut di atas agama Buddha menekankan dan menjunjung tinggi upaya kehidupan sosial kemasyarakatan antar agama yang harmonis. Keharmonisan ini telah dibuktikan sendiri oleh Buddha atas permintaan calon siswaNya yang bernama Upali yang ingin menjadi pengikut Buddha. Meskipun Upali menjadi pengikut Buddha tetapi tetap harus menghargai dan menghormati serta membantu mantan gurunya. Demikian besar toleransi Buddha terhadap agama lainnya.
Kehidupan sosial antar agama yang harmonis telah dilaksanakan oleh raja Asoka. Asoka adalah seorang raja Buddhis yang sangat terkenal, karena benar-benar mengamalkan ajaran cinta kasih dan kasih sayang. Asoka membangun sosial kemasyarakat antar agama seperti yang tertulis dalam dekrit Asoka yang berbunyi: “siapapun yang memuji agamanya sendiri dan merendahkan agama lain, hanya akan merendahkan dan mengubur agamanya sendiri”.
Seruan konggres umat Buddha sedunia menjelaskan “yang perlu dilakukan sekarang ini adalah menanamkan minat terhadap apa yang dikenal sebagai inti agama Buddha, yaitu bekerja secara langsung guna menghilangkan keinginan-keinginan yang bersifat pribadi, mengajarkan moralitas dalam rangka mendukung kepentingan masyarakat dan kepentingan negara”.

Enam macam cara kehidupan yang membawa pada keharmonisan (saraniyadhamma) yang dapat dijadikan sebagai upaya membangun sosial kemasyarakatan antar agama yaitu:
1. Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk perbuatan kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettakaya kamma).
2. Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk ucapan kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettavaci kamma).
3. Menyebarkan cinta kasih dalam bentuk pikiran kepada sesama, baik sewaktu mereka ada atau tidak (mettamano kamma).
4. Memberikan kesempatan kepada para tokoh agama untuk ikut menikmati keuntungan-keuntungan yang telah diperoleh dengan cara yang benar dan tidak mempergunakan sendiri apa yang telah diperolehnya.
5. Selalu menjaga kesucian moralitas sewaktu berkomunikasi dengan pemukanya dan tidak berbuat sesuatu yang melukai perasaan mereka.
6. Hidup harmonis bersama-sama dan tidak bertengkar karena perbedaan pendapat dan pandangan (disarikan dari kitab Digha Nikaya, Sutta Pitaka).
Seseorang yang berkelakuan sesuai dengan hal-hal tersebut akan dicintai dan dihormati oleh orang lain. Cita-cita sosial agama Buddha adalah mencapai tujuan tertinggi yaitu pembebasan akhir spiritual (Nibbana/Nirvana). Sedangkan kesejahteraan duniawi dianggap sebagai sesuatu yang baik. Segala cara yang baik untuk mencapai tujuan yang baik dinamakan tindakan yang baik (dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan), yaitu segala tindakan yang bermanfaat untuk kesejahteraan orang lain maupun diri sendiri.
Tolok ukur kualitas kehidupan manusia di masyarakat adalah watak mereka yang dibentuk oleh tingkah laku sehari-hari. Perilaku bermoral yang disebut perilaku susila menempati kedudukan penting. Buah dari kehidupan susila dalam sosial kemasyakatan adalah memperoleh kebebasan dari sesal, disamping yang bersangkutan akan menikmati hal-hal sebagai berikut: (1) memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran dalam hidup melalui hasil karyanya sendiri. (2) menikmati nama harum dalam masyarakat, (3) menghadapi masyarakat dengan ketetapan hati, tanpa rasa gelisah, (4) kelak meninggal dengan penuh kesadaran, (5) akan terlahir kembali di salah satu alam dewa yang menyenangkan (D.ii.86).
Esensi membangun sosial kemasyarakatan antar agama dalam perspektif agama Buddha adalah menekankan bahwa setiap orang harus melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan kedudukan sosial yang ditentukan oleh hubungan dengan warga masyarakat lain, berdasarkan prinsip-prinsip moral. Hanya dengan demikian orang akan mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan dalam masyarakat. Sebaliknya, orang yang tidak menjalankan kewajiban kedudukan dan tanggung jawabnya dalam masyarakat tidak patut diakui atau dihargai kedudukan sosialnya.

BOROBUDUR




Berdasarkan atas tulisan yang terdapat pada “kaki” tertutup dari Candi Borobudur yang berbentuk huruf Jawa kuno yang berasal dari huruf pallawa, maka dapat diperkirakan tahun berdirinya Candi tersebut, yaitu pada tahun 850 Masehi, pada waktu pulau Jawa dikuasai oleh keluarga raja-raja Sailendra antara tahun 832-900. Jadi umurnya sudah lebih dari 1.000 tahun.Candi itu terdiri dari 2 juta bongkah batu, sebagian merupakan dinding-dinding berupa relief yang mengisahkan ajaran Mahayana. Candi tersebut berukuran sisi-sisinya 123 meter, sedang tingginya termasuk puncak stupa yang sudah tidak ada karena disambar petir 42 m. Yang ada sekarang tingginya 31,5 m. Pada hakekatnya Borobudur itu berbentuk stupa, yaitu bangunan suci agama Buddha yang dalam bentuk aslinya merupakan kubah (separoh bola) yang berdiri atas alas dasar dan diberi payung di atasnya.
Candi itu mempunyai 9 tingkat, yaitu : 6 tingkat di bawah,: "tiap sisinya agak menonjol berliku-liku, sehingga memberi kesan bersudut banyak. 3 tingkat diatasnya:'' berbentuk lingkaran. Dan yang paling atas yang disebut sebagai tingkat ke-10 adalah stupa besar ukuran diametrnya 9,90 m, tinggi 7 m.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang yang dulunya dipakai sebagai tempat memuja seperti candi-candi lainnya. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit, kedua tepinya dibatasi oleh dinding candi, mengelilingi candi tingkat demi tingkat.
Dari satu tingkat lainnya di empat penjuru terdapat pintu gerbang masuk ke tingkat lainnya melalui tangga. Di lorong-lorong inilah para umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Upacara itu disebut pradaksima
Tingkat-10
Sejarawan Belanda Dr. J.G. Casparis dalam desertasinya untuk mendapat gelar doctor pada tahun. 1950 mengemukakan, bahwa Borobudur yang bertingkat 10 menggambarkan secara jelas terlihat filsafat agama Buddha Mahayana yang disebut “Dasabodhisatwabhumi”.
Filsafat itu mengajarkan, bahwa setiap orang yang ingin mencapai tingkat kedudukan sebagai Buddha harus melampaui 10 tingkatan Bodhisatwa. Apabila telah melampaui 10 tingkat itu, maka manusia akan mencapai kesempurnaan dan menjadi seorang Buddha.
Perlu diketahui, bahwa menurut ajaran Buddha Mahaya, diamping Buddha Gautama yang kita kenal dalam sejarah, ada pula tokoh-tokoh Buddha lain-lainnya, masing-masing menurut jamannya, baik di jaman lampau maupun di jaman yang akan datang. Buddha di masa datang kini masih berada di dalam sorga dan masih bertingkat Bodhisatwa adalah calon Buddha di masa datang.
Dr. J. G. Casparis berpendapat, bahwa sebenarnya Borobudur merupakan tempat pemujaan nenek moyang raja-raja Sailendra, agar nenek moyang mencapai ke-Buddhaan.
Sepuluh tingkat Borobudur itu juga melambangkan, bahwa nenek moyang raja Sailendra yang mendirikan Borobudur itu berjumlah 10 orang. Berdasarkan prasasti Karangtengah bertahun 824 M dan prasati Kahulunan bertahun 824 M. Dr. J.G. Casparis berpendapat bahwa pendiri Borobudur adalah raja Sailendra bernama Samaratungga, kira-kira disekitar tahun 824. Bangunan raksasa itu kiranya baru dapat diselesaikan oleh puterinya yaitu Ratu Pramodawardhani.
Dalam hal tersebut para ahli belum terdapat kata sepakat.
Tingkatan –Tingkatan Borobudur
Pada tahun 1929 Prof. Dr. W.F. Stutterheim telah mengemukakan teorinya, bahwa Candi Borobudur itu hakekatnya merupakan “tiruan” dari alam semsta yang menurut ajaran Buddha terdiri atas 3 bagian besar, yaitu: (1). Kamadhatu; (2). Rupadhatu; dan (3). Arupadhatu.
Bagian “kaki” melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau nafsu (keinginan) yang rendah, yaitu dunia manusia biasa seperti dunia kita ini.
Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi maish terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan merupakan “alam antara” yang memisahkan “alam bawah” (kamadhatu) dengan “alam atas” (arupadhatu).
Arupadhatu, yaitu “alam atas” atau nirwana, tempat para Buddha bersemayam, dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa. Karena itu bagian Arupadhatu itu digambarkan polos, tidak ber-relief.
Patung-patung Dhayani Buddha
Pada bagian Rupadhatu patung Dhayani Buddha digambarkan terbuka, ditempatkan di lubang dinding seperti di jendela terbuka. Tetapi dibagian Arupadhatu patung-patung itu ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti didalam kurungan. Dari luar masih tampak patung-patung itu samar-samar.
Cara penempatan patung seperti tersebut rupanya dimaksudkan oelh penciptanya untuk melukiskan wujud samar-samar “antara ada dan tiada” sebagai suatu peralihan makna antra Rupadhatu dan Arupadhatu.
Arupa yang artinya tidak berupa atau tidak berwujud sepenuhnya baru tercapai pada puncak dan pusat candi itu yaitu stupa terbesar dan tertinggi yang digambarkan polos (tanpa lubang-lubang), sehingga patung didalamnya sama sekali tidak tampak.
Stupa-stupa kurungan patung-patung di bagian Arupadhatu yang bawah bergaris miring, sedang lubang-lubang seperti yang diatasnya bergaris tegak.
Menurut almarhum Prof. Dr. Sucipta Wirjosaputro lubang-lubang seperti tersebut merupakan lambang tentang proses tingkat-tingkat lenyapnya sisa nafsu yang terakhir.
Lubang-lubang yang bergaris miring (lebih rendah dari lainnya) menggambarkan, bahwa di tingkat itu masih ada sisa-sisa dari nafsu, sedang pada tingkat di atasnya yang bergaris tegak menggambarkan nafsu itu telah terkikis habis, dan hati pun telah lurus.
Reliefnya panjang 3 km; arcanya 505 buah .Relief pada dinding-dinding candi Borobudur itu menurut Drs. Moehkardi dalam intisari jumlahnya ada 1460 adegan, sedang relief yang dekoratief (hiasan) ada 1212 buah. Panjang relief itu kalau disambung-sambung seluruhnya dapat mencapai 2.900 m, jadi hampir 3 km.

Jumlah arcanya ada 505 buah, terdiri dari : -Tingkat ke-1 Rupadhatu ditempat arca-arca Manushi Budha sebanyak 92 buah; -Tiga tingkat selebihnya masing-masing mempunyai 92 buah arca Dhyani Buddha; -Tingkat di atasnya mempunyai 64 arca Dhyani Buddha.
Selanjutnya di tingkat Arupadhatu terdapat pula arca-arca Dhyani Buddha yang dikurung dalam stupa, masing-masing tingkat sebanyak : 32, 24 dan 16 jumlah 72 buah.
Akhirnya di stupa induk paling atas, dahulunya terdapat pula sebuah patung Sang Adhi Buddha, yaitu Buddha tertinggi dalam agama Buddha Mahaya. Maka julah seluruhnya adalah 3 x 92 buah jumlah 432 + 64 + 1 = 505 buah.
Permainan angka yang mengagumkan.
Drs. Moehkardi mengemukakan adanya permainan angka dalam Candi Borobudur yang amat mengagumkan, sebagai berikut :
Jumlah stupa di tingkat Arupadhatu (stupa puncak tidak di hitung) adalah: 32, 24, 26 yang memiliki perbandingan yang teratur, yaitu 4:3:2, dan semuanya habis dibagi 8.
Ukuran tinggi stupa di tiga tingkat tsb. Adalah: 1,9m; 1,8m; masing-masing bebeda 10 cm. Begitu juga diameter dari stupa-stupa tersebut, mempunyai ukuran tepat sama pula dengan tingginya : 1,9m; 1,8m; 1,7m.
Beberapa bilangan di borobudur, bila dijumlahkan angka-angkanya akan berakhir menjadi angka 1 kembali. Diduga bahwa itu memang dibuat demikian yang dapat ditafsirkan : angka 1 melambangkan ke-Esaan Sang Adhi Buddha.
Perhatikan bukti-buktinya dibawah ini :
Jumlah tingkatan Borobudur adalah 10, angka-angka dalam 10 bila dijumlahkan hasilnya : 1 + 0 = 1. Jumlah stupa di Arupadhatu yang didalamnya ada patung-patungnya ada : 32 + 24 + 16 + 1 = 73, angka 73 bila dijumlahkan hasilnya: 10 dan seperti diatas 1 + 0 = 10.
Jumlah patung-patung di Borobudur seluruhnya ada 505 buah. Bila angka-angka didalamnya dijumlahkan, hasilnya 5 + 0 + 5 = 10 dan juga seperti diatas 1 + 0 = 1.
Sang Adhi Buddha dalam agama Buddha Mahaya tidak saja dianggap sebagai Buddha tertinggi, tetapi juga dianggap sebagai Asal dari segala Asal, dan juga asal dari keenam Dhyani Buddha, karenanya ia disebut sebagai “Yang Maha Esa”.
Demikianlah keindahan Borobudur sebagai yang terlihat dan yang terasakan, mengandung filsafat tinggi seperti yang tersimpan dalam sanubari bangsa Timur, khususnya bangsa kita.
Penemuan Borubudur
Tidak pernah terlintas oleh Pemerintah Hindia Belanda bahwa suatu ketika Nusantara ini akan dikuasai oleh Inggris. Gubernur Jenderal yang mengurusi masalah tanah jajahan di Timur, Lord Minto harus mendelegasikan kekuasaan di Nusantara ini kepada Letnan Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap budaya timur, sehingga ketika pada tahun 1814 mendapat laporan tentang ditemukannya reruntuhan yang diperkirakan candi, segera mengutus perwira zeni HC Cornelius untuk ke Bumi Segoro. Itulah awal diketemukannya Borobudur yang terpendam entah sejak kapan dan apa penyebabnya. Misteri yang sampai kini belum terungkap.
Sayang, tahun 1815 Inggris harus angkat kaki dan mengembalikan tanah jajahan kepada Belanda. Bagi Belanda, peninggalan sejarah juga tidak kurang menariknya. Pada 1834 Residen Kedu bernama Hartman yang baru dua tahun menduduki jabatan mengusahakan pembersihan Borobudur. Stupa yang ternyata puncak candi diketahui sudah menganga sejak ditangani Cornelius 20 tahun sebelumnya..
Selama kurun waktu 20 tahun itu tidak ada yang bertanggung jawab terhadap kawasan penemuan. Pada tahun 1842 Hartman melakukan penelitian pada stupa induk. Dalam budaya agama Buddha, stupa didirikan untuk menyimpan relik Buddha atau relik para siswa Buddha yang telah mencapai kesucian. Dalam bahasa agama, relik disebut saririka dhatu, diambil dari sisa jasmani yang berupa kristal selesai dilaksanakan kremasi. Bila belum mencapai kesucian, sisa jasmani tidak berbentuk kristal dan tidak diambil. Bila berupa kristal akan diambil dan ditempatkan di dalam stupa. Diyakini bahwa relik ini mempunyai getaran suci yang mengarahkan pada perbuatan baik. Pada setiap upacara Waisak, relik ini juga dibawa dalam prosesi dari Mendut ke Borobudur untuk ditempatkan pada altar utama di Pelataran Barat. Relik yang seharusnya berada di dalam stupa induk Borobudur hingga kini tidak diketahui siapa yang mengambil dan di mana disimpan.
Demikianlah, Borobudur yang ditemukan pada tahun 1814 mulai ditangani di bawah perintah Hartman antara lain dengan mendatangkan fotografer, pada tahun 1845 bernama Schaefer, namun hasilnya tidak memuaskan. Itulah sebabnya pada tahun 1849 diambil keputusan untuk menggambar saja bangunan Borobudur. Tugas mana dipercayakan pada FC Wilsen yang berhasilkan menyelesaikan 476 gambar dalam waktu 4 tahun. Ada seorang lagi yang ditugaskan untuk membuat uraian tentang Borobudur yang masih berupa duga-duga, yaitu Brumund. Hasil Wilson maupun Brumund diserahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada Leemans pada 1853 yang baru berhasil menyelesaikannya pada 1873 . Selama penggarapan gambar yang duga-duga itu, oleh Hartman Borobudur dijadikan tempat rekreasi. Pada puncaknya didirikan bangunan untuk melihat keindahan alam sambil minum teh. Pembersihan batu-batuan terus berlangsung, ditempel-tempel asal jadi menurut dugaan asal-asalan saja.
Anugerah untuk Raja
Borobudur dibersihkan dari hari ke hari, hingga makin menarik. Sungguh fantastis bagi para penguasa Belanda menikmati pemandangan indah di atas bangunan kuno yang sedemikian besar.
Pada tahun 1896, Raja Thai, Chulalongkorn datang ke Hindia Belanda. Sebagai penganut agama Buddha tentu tidak akan melewatkan untuk menyaksikan bangunan stupa yang didengung-dengungkan oleh para pejabat pemerintah kolonial. Entah bagaimana ceriteranya, Pemerintah Belanda menawarkan Raja untuk membawa bagian dari batu-batuan Borobudur. Menurut catatan tidak kurang dari 8 gerobak melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Diantara yang diangkut ke Negara Gajah Putih tersebut ada 30 lempeng relief dinding candi, 5 buah patung Buddha, 2 patung singa dan 1 pancuran makara.
Bilamana kita berada di istana Raja Bhumibol Adulyagej kita dapat saksikan batu-batuan Borobudur yang terawat baik hingga kini. Sebagai negara yang sebagian besar menganut Buddha, rakyat menyampaikan hormat dihadapan patung Buddha asal Borobudur sebagai lambang kebesaran Gurunya.
Jadi, jauh sebelum batu-batuan Borobudur ditempatkan sebagaimana mestinya, bagian dari batu-batuan yang berada dalam istana dynasti Cakri telah diperlakukan dengan baik, karena keluarga raja di sana mengerti simbol-simbol yang terkandung dalam bagian kecil peninggalan agama yang dianutnya.
Pemugaran
Pada tahun 1882 ada usul untuk membongkar seluruh batu-batuan Borobudur untuk ditempatkan dalam suatu museum. Usul ini tidak disetujui, bahkan mendorong usaha untuk membangun kembali reruntuhan hingga berbentuk candi. Dorongan lain untuk lebih membuka tabir misteri dalah diketemukannya satu lantai lagi dibawah lantai pertama candi oleh Vzerman pada 1885.
Pada tahun 1900 dibentuklah Panitia Khusus perencanaan pemugaran Candi Borobudur. Setelah bekerja dua tahun, maka Panitia menyimpulkan bahwa tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pemugaran yaitu:
Pertama : segera diusahakan penaggulangan bahaya runtuh yang sudah mendesak dengan cara memperkokoh sudut-sudut bangunan, menegakkan kembali dinding-dinding yang miring pada tingkat pertama, memperbaiki gapura-gapura, relung serta stupa, termasuk stupa induk.
Kedua : mengekalkan keadaan yang sudah diperbaiki dengan cara mengadakan pengawasan yang ketat dan tepat, menyempurnakan saluran air dengan jalan memperbaiki lantai-lantai serta lorong-lorong.
Ketiga : menampilkan candi dalam keadaan bersih dan utuh dengan jalan menyingkirkan semua batu-batuan yang lepas untuk dipasang kembali serta menyingkirkan semua bangunan tambahan.

Pada tahun 1905 keluarlah Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda yang menyetujui usul Panitia dengan penyediaan dana sebesar 48.800 gulden untuk menunjuk Insinyur zeni T.van Erp.
Pemugaran dimulai pada Agustus 1907 yang berhasil diselesaikan pada tahun 1911. Dengan demikian, Borobudur dapat dinikmati keindahannya secara utuh.
Setelah proklamasi kemerdekaan, pada tahun 1948 Pemerintah RI yang masih dalam penataan negara memperhatikan kerusakan Borobudur yang sudah diketahui sejak 1929 dengan mendatangkan dua orang ahli purbakala dari India. Sayang usaha ini tidak ada kelanjutannya. Pada tahun 1955 pemerintah RI mengajukan permintaan bantuan kepada Unesco untuk menyelamatkan berbagai candi di Jawa, tidak terkecuali Borobudur . Usaha lebih mantap baru dimulai pada tahun 1960 yang terhenti karena pemberontakan G.30.S/PKI ketika bangsa dan negara mengkonsentrasikan diri menyelematkan masa depan yang hampir saja dikoyak komunis.
Pemugaran candi secara serius baru terlaksana pada masa Orde Baru, melalui SK Presiden RI No.217 tahun 1968 tanggal 4 Juli 1968 dibentuk Panitia Nasional yang bertugas mengumpulkan dana dan melaksanakan pemugaran. Tahun berikutnya Presiden membubarkan Panitia tersebut dan membebankan tugas pemugaran kepada Menteri Perhubungan.
Tahun 1973 diresmikan permulaan pemugaran yang selesai pada tanggal 23 Februari 1983. Usaha penyelamatan ini adalah yang paling mantap dalam sejarah perawatan Borobudur .


Kapan Borobudur didirikan secara pasti belum ditemukan datanya. Dari Prasasti Karangtengah bertahun 824 M maupun Prasasti Sri Kahulungan bertahun 842 menyebutkan bahwa ada tiga buah candi yang didirikan untuk mengagungkan kebesaran Buddha, yaitu Mendut, Pawon dan Borobudur.
Bangunan yang dimaksud adalah Candi Mendut yang didirikan oleh Pramudyawardani, Candi Pawon yang didirikan oleh oleh Indra dan Borobudur yang didirikan oleh raja kondang dynasti Syailendra bernama Smaratungga. Enatah yang mana lebih dahulu didirikan, yang jelas ketiganya mempunyai makna tersendiri dan mempunyai keterikatan yang satu dengan yang lainnya.
Dari relief yang ada, Candi Mendhut didirikan untuk memperingati khotbah pertama Sang Buddha. Pada dinding itu jelas ditawarkan alternatif yang boleh dipilih oleh pengikut Sang Buddha, yaitu hidup meninggalkan keduniawian sebagai bhikkhu (pertapa) atau hidup dalam keduniawian demi kesejahteraan sesama menampilkan kemakmuran bagi bangsa dan negara. Buddha mengajarkan pemilihan termaksud dengan konsekwensi yang pasti dan jelas. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang kehidupan hingga tercapainya Nibbana (Nirvana), maka di Borobudur dijelaskan secara rinci, dari kehidupan penuh nafsu, melalui kelahiran demi kelahiran baik dalam alam binatang, alam dewa atau pun alam manusia hingga akhirnya tidak ada kelahiran lagi yang dinamakan Nibbana itu.
Tetapi untuk mengetahui lebih mendalam akan makna yang tercantum pada dinding Borobudur, batin kita hendaknya dimatangkan dulu di Candi Pawon. Demikianlah makna perjalan ziarah agama Buddha menuju Borobudur.
Dari Mendhut, menyinggahi Pawon menuju Borobudur, bukannya sebaliknya dari yang termegah menuju awal mencari dharma. Ini juga dapat digambarkan kehidupan kita, mula-mula mencari pegangan hidup, memilih diantara alternatif yang tersedia kemudian melalui pendadaran yang penuh sepi dan keprihatinan untuk mencapai kejayaan. Ketiganya terletak pada satu garis lurus dari timur menuju barat.
Relief Borobudur
Candi Borobudur memiliki struktur dasar punden berundak, dengan enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua pelatarannya beberapa stupa.
Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.
Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished Buddha, yang disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.
Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand, Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia

Bilamana kita ingin “membaca” semua relief yang ada pada dinding Candi Borobudur, kita harus mulai dari Gapura Timur. Pada lantai pertama, segera membelok ke kiri berjalan searah jarum jam yang disebut “pradaksina”. Sebagai relief pertama dilukiskan ketika Sang Bodhisatta (Bodhisatva) berada di sorga Tusita, dihantar oleh dewa ketika akan lahir sebagai manusia. Barulah pada dinding ke 13 dilukiskan ketika Permaisuri Maya bermimpi seekor gajah masuk ke dalam rahimnya sebagai pertanda akan melahirkan putra mahkota pada usia lanjut.
Mengelilingi dinding pertama hingga pada ujung Gapura Timur lagi dilukiskan ketika Sang Buddha membabarkan dhamma (dharma) untuk pertama kali dihadapan lima orang pertapa di Taman Isipatana. Kisah kehidupan ini disebut Lilitavistatara.
Membaca relief lantai kedua sampai dengan lantai keempat secara pradaksina dapat disaksikan penggambaran ketiga Sang Bodhisatta tumimbal lahir sebelum kelahirannya yang teakhir sebagai manusia Siddhattha (Siddhartha). Himpunan cerita ini ada yang melukiskan ketika hidup sebagai kelinci, gajah, manusia bahkan dewa. Cerita ini diambil dari kitab kelima dari Sutta Pitaka, bagian dari Khudaka Nikaya yang disebut Jataka. Cerita dari Jataka ini sangat disukai oleh anak-anak beragama Buddha, dan menjadikannya berkeyakinan akan adanya tumimbal lahir sebelum tercapainya Nibbana.

Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Bagan Relief
Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura
Kaki candi asli - ----- Karmawibhangga
160 pigura
Tingkat I - dinding a. Lalitawistara
120 pigura
------- - ----- b. jataka/awadana
120 pigura
------- - langkan a. jataka/awadana 372 pigura
------- - ----- b. jataka/awadana 128 pigura
Tingkat II - dinding Gandawyuha
128 pigura
-------- - langkan jataka/awadana 100 pigura
Tingkat III - dinding Gandawyuha 88 pigura
-------- - langkan Gandawyuha 88 pigura
Tingkat IV - dinding Gandawyuha 84 pigura
-------- - langkan Gandawyuha 72 pigura
-------- Jumlah -------- 1460 pigura
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga


Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi lotus serta menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu.

Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung , baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu. Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa. Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Kalau empat lantai sebelumnya berbentuk bujursangkar, tiga lantai tanpa relief yang disebut Arupa-Datu berbentuk lingkaran. Bagian kesembilan adalah stupa induk.
Masih ada lagi satu lantai basement (bawah tanah) yang hanya dibuka sedikit, disebut Kama-Datu, menggambarkan memenuhan nafsu. Empat lantai berrelief oleh ahli sejarah disebut Rupa-Datu. Itulah sebabnya Borobudur disebut juga “ bangunan suci sepuluh tingkat”. Bagi penggemar sejarah, Borobudur tidak mungkin disaksikan sekali, dua kali bahkan sepuluh kali. Ditelusuri seribu kalipun Borobudur tidak habis-habisnya bercerita. Pancaran Borobudur menembus batas waktu yang mengarungi abad demi abad memancarkan misi yang mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Borobudur bagaikan mutiara yang memancarkan sinar keagungannya sepanjang masa.

Kamis, 13 Januari 2011

PATISANDHI / PUNARBHAVA (Tumimbal Lahir)

sesuai benih yang ditabur itulah yang akan dipetik.
Ungkapan diatas diatur oleh sebuah hukum yang kita kenal dengan istilah kamma (pali) atau karma (sansekerta). Karma ada yang mengatur sebab-akibat di kehidupan ini maupun yang akan datang, ada juga yang mengatur kehidupan suatu makhluk di satu alam dan ada juga yang mengatur dimana sutau makhluk akan dilahirkan.Jenis yang terakhir adalah yang disebut janaka kamma, janaka kamma mengatur kelahiran sesuai dengan macam dan sifatnya, berapa usianya, cantik, ganteng, jelek, kaya, miskin dan sebaginya. Kelahiran yang diatur oleh karma ini tidak lepas dari perbuatan di masa sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa setiap perbuatan akan menimbulkan akibat sesuai perbuatannya.
Terlahir kembali merupakan bukti dari kehidupan yang berulang-ulang dari setiap makhluk yang disebut dengan istilah punabhava (pali) atau punarbhava (sansekerta). Setiap makhluk yang masih diliputi tanha (keinginan tanpa akhir) akan selalu terlahir kembali di salah satu dari 31 alam kehidupan. Dari tiga macam tanha, yang paling berpengaruh dalam kelahiran kembali adalah bhava tanha (keinginan untuk terlahir) meskipun kama tanha (keinginan pemuasan nafsu indera)dan vibhava tanha (keinginan untuk memusnahkan diri). Darimana keinginan-keinginan itu muncul? Dari pikiran keinginan itu muncul oleh ucapan dan perbuatan keinginan itu dicetuskan. Rangkaian ini disebut sabagai karma yang akan menjadikan sebab dari yang diperoleh selanjutnya.

Bhava paccaya jati, jati paccaya jaramarana. Jaramarana paccayupana jati.
Dengan adanya proses menjadi maka terjadilah kelahiran, dengan adanya kelahiran maka terjadilah kelapukan dan kematian. Kelapukan dan kematian menyebabkan kelahiran. Itu adalah mata rantai yang tidak dapat terputus, kelahiran terjadi setelah ada kematian dan kematian terjadi karena ada kelahiran. Makhluk hidup setelah mati (cuti) akan langsung terlahir kembali (patisandhi) tanpa menunggu jeda. Peristiwa kelahiran inilah yang disebut punarbhava, yang dapat terlahir di alamneraka, peta, asura, tiracchana, manusia, deva atau brahma. Punarbhava sering juga disebut patisandhi.
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa punarbhava dan reinkarnasi merupakan dua halyang sama. Itu dikarenakan tidak memahami makna yang sebenarnya. Sesunggunhnya keduanya berbeda sama sekali. Perbedaan yang paling mendasar dari keduanya adalah tentang pandangan roh, jiwa, sukma / atta (atma). Dalam reinkarnasi roh atau atma adalah kekal dan selalu berpindah-pindah dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya. Dalam punarbhava tidak ada roh atau atma yang kekal yang berpindah-pindah pada setiap kelahiran, tetapi kelahiran kembali hanya merupakan proses kesadaran yang berpindah dan berubah di setiap kelahiran baru. Kesadaran makhluk di kehidupan baru berbeda dengan kesadaran pada makhluk di kehidupan lalu.
Agama buddha memandang sukma, roh, jiwa adalah tidak kekal seperti dikatakan dalam hukum tilakhana yaitu anatta, malainkan hanya merupakan proses yang selalu bergerak. Kelahiran kembali juga bukan merupakan perpindahan kehidupan di satu alam ataupun perpindahan kehidupan dari satau alam ke alam yang lain. Kelahiran kembali merupakan kelangsungan proses kesadaran yang bergerak terus karena adanya kekuatan karma.
AJARAN mengenai tumimbal-lahir sangat erat hubungannya dengan Hukum Karma. Ajaran tumimbal-lahir dalam agama Buddha membuktikan adanya kehidupan makhluk yang berulang-ulang.
Tumimbal-lahir (patisandhi/punabbhava) bukan berarti pemindahan atau penjelmaan. Dalam agama Buddha tidak dikenal pemindahan atau penjelmaan dari nama (bathin/jiwa) setelah seseorang meninggal dunia.
Tetapi dikenal dengan istilah "penerusan" (patisandhi) dari nama, disebut Patisandhi-vinnana.
Ketika seseorang akan meninggal dunia, kesadaran-ajal (cuti-citta) mendekati kepadaman dan didorong oleh kekuatan-kekuatan kamma. Kemudian, kesadaran-ajal (cuticitta) padam dan langsung menimbulkan kesadaran penerusan (patisandhi-vinnana) untuk timbul pada salah satu dari 31 Alam Kehidupan (Bhumi 31) sesuai dengan karmanya. Hal ini secara umum disebut pula suatu permulaan dari bentuk kehidupan baru.
Ada 4 cara tumimbal-lahirnya makhluk-makhluk, yaitu :
  1. Jajabuja-Yoni : Makhluk yang lahir dari kandungan, seperti manusia, kuda, kerbau dan lain-lain
  2. Andaja-Yoni : Makhluk yang lahir dari telur, seperti Burung, ayam, bebek dan lain-lain
  3. Sansedaja-Yoni : Makhluk yang lahir dari kelembaban, seperti nyamuk, ikan dan lain-lain.
  4. Opapatika-Yoni : Makhluk yang lahir secara spontan, langsung membesar, seperti para dewa, brahma, makhluk neraka, setan dan lain-lain.
Di samping itu terdapat pula 4 macam tumimbal-lahir secara penerusan kehidupan di 31 Alam Kehidupan, yaitu :
  1. Apaya-Patisandhi : Bertumimbal-Lahir di alam Apaya.
  2. Kamasugati-Patisandhi : Bertumimbal-lahir di alam Kamasugati.
  3. Rupavacara-Patisandhi : Bertumimbal-lahir di alam Rupa-jhana.
  4. Arupavacara-Patisandhi : Bertumimbal-lahir di alam Arupajhana.

Ada 31 Alam Kehidupan yang merupakan tempat diam makhluk-makhluk, sedangkan Nibbana (Nirvana) adalah di luar dari 31 Alam Kehidupan itu. Makhluk-makhluk yang diam di 31 Alam Kehidupan itu masih mengalami kelahiran dan kematian, masih mengalami derita. 31 Alam Kehidupan tidak kekal adanya. Sebaliknya, Nibbana itu terbebas dari kelahiran dan kematian, terbebas dari derita, tidak termusnah, ada dan tidak berubah, kekal adanya.
Jika seseorang belum mencapai kesucian tingkat Arahat, setelah ia meninggal dunia, ia akan dilahirkan kembali dalam salah satu Alam dari 31 Alam Kehidupan sesuai dengan karmanya.

31 ALAM KEHIDUPAN TERBAGI MENJADI TIGA KELOMPOK
1. Kama-Bhumi 11
11 Alam Kehidupan yang makhluk-makhluknya masih senang dengan napsu indera dan melekat pada panca indera.
2. Rupa-Bhumi 16
16 Alam Kehidupan yang makhluk-makhluknya mempunyai Rupa Jhana (Jhana Bermateri, hasil dari melaksanakan Samata Bhavana).
3. Arupa-Bhumi 4
4 Alam Kehidupan yang makhluk-makhluknya mempunyai Arupa Jhana (Jhana Tanpa Bermateri, hasil dari melaksanakan Samatha Bhavana)
I. Kama-Bhumi 11 terdiri dari :
- Apaya-Bhumi 4 (4 alam kehidupan yang menyedihkan), yaitu :
  1. Niraya-Bhumi: Alam Neraka.
  2. Tiracchana-Bhumi : Alam Binatang.
  3. Peta-Bhumi: Alam Setan.
  4. Asurakaya-Bhumi: Alam Raksasa Asura
- Kamasugati-Bhumi 7 (7 alam kehidupan napsu yang menyenangkan) :
  1. Manussa-Bhumi : Alam Manusia.
  2. Catummaharajika-Bhumi : Alam Empat Dewa Raja.
  3. Tavatimsa-Bhumi : Alam 33 Dewa. Di Sorga ini Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma kepada Ratu Mahamaya (Ibunda-Nya) dan para dewa lainnya.
  4. Yama-Bhumi : Alam Dewa Yama.
  5. Tusita-Bhumi : Alam Kenikmatan. Ratu Mahamaya dan Maitreya Bodhisattva diam di Sorga ini.
  6. Nimmanarati-Bhumi : Alam Dewa yang menikmati ciptaannya.
  7. Paranimmita-vasavatti-Bhumi: Alam Dewa yang membantu menyempumakan ciptaan dewa-dewa lainnya.
Penjelasan Apaya-Bhumi 4
a. Suatu alam disebut Niraya-Bhumi (alam neraka) karena alam ini tidak terdapat kesenangan dan kabahagiaan. Niraya-Bhumi (alam neraka) terbagi pula dalam beberapa kelompok alam, diantaranya dikenal kelompok Maha-Naraka 8, yaitu :
1. Sanjiva-Naraka
Makhluk yang diam di Neraka ini mengalami berbagai macam siksaan.
2. Kalasutta-Naraka
Makhluk yang diam di Neraka ini tubuhnya dipotong-potong sampai terpisah.
3. Sanghata-Naraka
Makhluk yang diam di Neraka ini tubuhnya ditindih dengan berbagai macam alat berat.
4. Roruva-Naraka
Makhluk yang diam di Neraka ini mengalami siksaan berat sehingga menjerit-jerit.
5. Maharoruva-Naraka
Makhluk yang diam di Neraka ini mengalami siksaan lebih berat..sehingga suara jerit dan tangisan lebih keras.
6. Tapana-Naraka
Makhluk yang diam di Neraka ini mengalami siksaan dengan api yang menyala di tubuhnya.
7. Mahatapana-Naraka
Makhluk yang diam di Neraka ini mengalami kepanasan sepanjang masa.
8. Avici-Naraka (Devadatta diam di alam Avici Naraka ini).
Makhluk yang diam di Neraka ini mengalami siksaan berat berulang-ulang dalam kelahiran dan kematian di alam Neraka ini: Setelah mati hidup kembali dan disiksa seterusnya.
Pembagian kejahatan yang membawa akibat tumimbal-lahir dalam alam Neraka:
• Membunuh manusia : Terlahir di alam-alam Sanjiva-Naraka dan Kalasutta-Naraka.
• Membunuh binatang : Terlahir di alam-alam Sangata-Naraka dan Roruva-Naraka.
• Mencuri: Terlahir di alam Maharoruva-Naraka.
• Membakar kota: Terlahir di alam Tapana-Naraka.
• Mempunyai pandangan salah: Terlahir di alam Mahatapana-Naraka.
• Melakukan lima perbuatan durhaka : Terlahir di alam Avici-Naraka. 

b. Suatu alam disebut Tiracchana-Bhumi (alam binatang), karena makhluk-makhluk yang diam di alam ini tidak mempunyai tempat yang khusus.
Makhluk binatang ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
• Kelompok makhluk binatang yang dapat dilihat dengan mata.
• Kelompok makhluk binatang yang tidak dapat dilihat dengan mata. 

Makhluk binatang yang berkaki terbagi dalam 4 kelompok, yaitu :
• Apadatiracchana : Kelompok makhluk binatang yang tidak mempunyai kaki, seperti ular, ikan, cacing dan lain-lainnya.
• Dvipadatiracchana : Kelompok makhluk binatang yang mempunyai dua kaki, seperti ayam, burung, bebek dan lain-lainnya.
• Catupadatiracchana : Kelompok makhluk binatang yang mempunyai empat kaki, seperti kerbau, tikus, kuda dan lain-lainnya.
• Bahuppadatiracchana : Kelompok makhluk binatang yang mempunyai banyak kaki, seperti ulat bulu, lipan dan lain-lainnya.
c. Suatu alam disebut Peta-Bhumi (alam setan), karena makhluk yang diam di alam ini jauh dari kesenangan dan kebahagiaan.
Makhluk Setan ini terbagi dalam beberapa kelompok, diantaranya terdapat kelompok-kelompok setan yang disebut PETA 4, PETA 12 dan PETA 21 sebagai tertulis di bawah ini :

PETA 4 (terdapat dalam Kitab Petavatthu-Atthakatha)
1. Paradattupajivika-Peta : Setan yang memelihara hidupnya dengan memakan makanan yang disuguhkan orang dalam upacara sembahyang.
2. Khupapipasika-Peta: Setan yang selalu lapar dan haus.
3. Nijjhamatanhika-Peta: Setan yang selalu kepanasan.
4. Kalakancika-Peta: Setan yang sejenis Asura.
Penjelasan :
Hanya Paradattupajivika-Peta saja yang dapat menerima makanan yang diberikan orang dalam upacara sembahyang serta kiriman jasa dari keluarga. Para Bodhisattva, jika terlahir menjadi setan, akan menjadi Paradattupajivika-Peta, dan tidak akan menjadi setan (peta) yang lain.

PETA 12 (terdapat dalam Kitab Gambhilokapannatti).
1. Vantasa-Peta: Setan yang makan air ludah, dahak dan muntah.
2. Kunapasa-Peta : Setan yang makan mayat manusia dan binatang.
3. Guthakhadaka-Peta: Setan yang makan berbagai kotoran.
4. Aggijalamukha-Peta : Setan yang dimulutnya selalu ada api.
5. Sucimuja-Peta : Setan yang mulutnya sekecil lobang jarum.
6. Tanhattika-Peta: Setan yang dikendalikan oleh napsu keinginan rendah sehingga lapar dan haus.
7. Sunijjhamaka-Peta : Setan yang berbulu hitam seperti arang.
8. Suttanga-Peta : Setan yang mempunyai kuku tangan kaki yang panjang dan tajam seperti pisau.
9. Pabbatanga-Peta: Setan yang bertubuh setinggi gunung.
10. Ajagaranga-Peta : Setan yang bertubuh seperti ular.
11. Vemanika-Peta : Setan yang menderita pada waktu siang, dan senang pada waktu malam dalam kahyangan.
12. Mahidadhika-Peta: Setan yang mempunyai ilmu gaib. 

PETA 21 (terdapat dalam Kitab Suci Vinaya dan Lakkhanasanyutta).
1. Attisankhasika-Peta : Setan yang mempunyai tulang bersambungan, tetapi tidak mempunyai daging.
2. Mansapesika-Peta : Setan yang mempunyai daging terpecah-pecah, tetapi tidak mempunyai tulang.
3. Mansapinada-Peta : Setan yang mempunyai daging berkeping-keping.
4. Nicachaviparisa-Peta : Setan yang tidak mempunyai kulit.
5. Asiloma-Peta: Setan yang berbulu tajam.
6. Sattiloma-Peta : Setan yang berbulu seperti tombak.
7. Usuloma-Peta : Setan yang berbulu panjang seperti anak panah.
8. Suciloma-Peta: Setan yang berbulu sepertijarum.
9. Dutiyasuciloma-Peta: Setan yang berbulu seperti jarum kedua (lebih tajam).
10. Kumabhanda-Peta : Setan yang mempunyai kemaluan sangat besar.
11. Guthakupanimugga-Peta : Setan yang bergelimangan dengan kotoran.
12. Guthakhadaka-Peta: Setan yang makan berbagai macam kotoran.
13. Nicachavitaka-Peta: Setan perempuan yang tidak mempunyai kulit.
14. Dugagandha-Peta : Setan yang baunya sangat busuk.
15. Ogilini-Peta: Setan yang badannya seperti bara api.
16. Asisa-Peta: Setan yang tidak mempunyai kepala.
17. Bhikkhu-Peta : Setan yang berbadan seperti bhikkhu. .
18. Bhikkhuni-Peta : Setan yang berbadan seperti bhikkhuni.
19. Sikkhamana-Peta: Setan yang berbadan seperti Setan yang berbulu seperti pelajar wanita atau calon bhikkhuni.
20. Samanera-Peta : Setan yang berbadan seperti samanera.
21. Samaneri-Peta : Setan yang berbadan seperti samaneri. 

d. Suatu alam disebut Asurakaya-Bhumi (alam raksasa asura), karena makhluk yang diam di alam ini jauh dari kemuliaan, kebebasan, kesenangan dan kebahagiaan.
Penjelasan Kamasugati-Bhumi 7 :
1. Suatu alam disebut Manussa-Bhumi (alam manusia), karena makhluk yang diam di alam ini mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, yang berguna dan yang tidak berguna, yang berfaedah dan yang tidak berfaedah dan lain-lainnya.
Dalam hal ini ada 4 macam Manusia (Manussa 4) yaitu:
  1. Manussa-Naraka: Manusia Naraka. Manusia yang senang membunuh makhluk, seperti berburu, pejagal, algojo, perbuatannya selalu berdasarkan kebencian (dosa).
  2. Manussa-Peta: Manusia Setan. Manusia yang tidak kenaI kebajikan, senang meladeni napsu indera, Kelompok Dewa yang disebut perbuatannya selalu berdasarkan ketamakanlkeserakahan (lobha).
  3. Manussa-Tiracchana: Manusia Binatang. Manusia yang tidak kenaI kebajikan dan kejahatan, keras hati, sombong, senang bicara kasar dan jorok, tidak berbakti pada orang tua, tidak akur dengan saudara, perbuatannya selalu berdasarkan kebodohan bathin (moha).
  4. Manussa-Manussa : Manusia-Manusia. Manusia yang mengetahui yang mana yang baik dan buruk, yang mana patut dilakukan dan tidak dilakukan, yang berfaedah dan tidak berfaedah, mempunyai rasa malu (hiri) berbuat kejahatan dan takut (ottappa) akan akibat dari perbuatan jahat, hidupnya selalu berpedoman dengan dhammavinaya (Tipitaka).
2. Suatu alam disebut Catummaharajika-Bhumi (alam empat raja dewa), karena di alam tersebut diam Empat Raja Dewa yang bernama :
- Davadhatarattha
- Davavirulaka
- Davavirupakkha
- Davakuvera

Catummaharajjika-Bhumi terbagi dalam 3 kelompok yaitu :
a. Bhumamattha-Devata: Para Dewa yang berdiam di atas tanah, seperti para dewa yang diam di gunung, sungai, laut, rumah, cetiya, vihara, candi dan lain-lain.
b. Rukakhattha-Devata : Para Dewa yang diam diatas pohon. Dewa ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
- Kelompok dewa yang mempunyai kahyangan di atas pohon.
- Kelompok dewa yang tidak mempunyai kahyangan di atas pohon.
c. Akasattha-Devata : Para Dewa yang berdiam di angkasa, seperti di bulan, bintang, dan planet lainnya. 

3. Suatu alam disebut Tavatimsa-Bhumi (alam dari 33 dewa), karena dahulu kala ada sekelompok pria yang berjumlah 33 orang yang selalu bekerja sarna dalam berbuat kebaikan, seperti bersama-sama membantu fakir miskin, bersama-sama melaksanakan dana untuk pembangunan vihara, rumah sakit, sekolah dan lain-lainnya. Sewaktu mereka meninggal dunia semuanya terlahir dalam satu alam kehidupan, yang disebut Tavatimsa-Bhumi (alam tiga puluh tiga dewa).
4. Suatu alam disebut Yama-Bhumi (alam dewa yama), karena para dewa yang diam di alam ini terbebas dari kesulitan, yang ada hanya kesenangan.
5. Suatu alam disebut Tusita-Bhumi (alam dewa kenikmatan), karena para dewa yang diam di alam ini terbebas dari kepanasan hati, yang ada hanya kesenangan dan kenikmatan.
6. Suatu alam disebut Nimmanarati-Bhumi (alam dewa yang menikmati ciptaannya), karena para dewa yang diam di alam ini menikmati kesenangan panca indera dari hasil ciptaannya.
7. Suatu alam disebut Paranimmita-vasavatti-Bhumi (alam dewa yang membantu menyempurnakan ciptaan dari dewa-dewa lainnya), karena para dewa yang diam di alam ini, disamping menikmati kesenangan panca indera, juga mampu membantu menyempurnakan ciptaan dewa-dewa lainnya. 

Perbedaan Alam Manusia dengan Alam Dewa :
a. Di Alam Dewa, Ariya-Puggala (Orang Suci) lebih banyak dari Alam Manusia, karena pada jaman Sang Buddha Gotama banyak orang mencapai kesucian tingkat Sotapanna dan Sakadagami setelah mendengar khotbah Dharma langsung dari Sang Buddha Gotama. Kemudian, setelah meninggal dunia mereka terlahir dialam Dewa. Ada juga yang mendengar khotbah Dharma langsung dari Sang Buddha Gotama mencapai kesucian tingkat Anagarni dan Arahat. Mereka yang telah menjadi Anagami, bila meninggal dunia, terlahir di alam Rupa-Brahma.

Tetapi Arahat telah terbebas dari kelahiran dan kematian, mencapai Saupadisesa-nibbana atau Kilesa Parinibbana, setelah Aranat meninggal dunia mereka mencapai Anupadisesanibbana atau Khandha Parinibbana atau Parinibbana.

b. Keistimewaan di Alam Manusia ialah adanya Sangha, ada yang mengajarkan dan belajar Tipitaka, sebagian besar para Bodhisattva lahir di Alam manusia untuk mencapai kesucian tingkat Kebuddhaan. Sebaliknya, di Alam Dewa tidak ada Sangha, dan tidak ada yang mengajarkan Tipitaka. 

II. Rupa-Bhumi 16 terdiri dari :

- PATHAMA JHANA BHUMI 3 : 3 Alam kehidupan Jhana Pertama, yaitu :
  1. Brahma Parisajja Bhumi : Alam pengikut pengikut Brahma.
  2. Brahma Purohita Bhumi : Alam para menteri Brahma.
  3. Maha Brahma Bhumi : Alam Brahma yang besar.
- DUTIYA JHANA BHUMI 3 : 3 Alam kehidupan Jhana Kedua, yaitu :
  1. Brahma Parittabha Bhumi : Alam para Brahma yang kurang cahaya.
  2. Brahma Appamanabha Bhumi : Alam para Brahma yang tak terbatas cahayanya.
  3. Brahma Abhassara Bhumi: Alam para Brahma yang gemerlapan cahayanya.
- TATIYA JHANA BHUMI 3 : 3 Alam Kehidupan Jhana Ketiga, yaitu :
  1. Brahma Parittasubha Bhumi : Alam para Brahma yang kurang auranya.
  2. Brahma Appamanasubha Bhumi : Alam para Brahma yang tak terbatas auranya.
  3. Brahma Subhakinha Bhumi : Alam para Brahma yang auranya penuh dan tetap.
- CATUTTHA JHANA BHUMI 7 : 7 Alam Kehidupan Jhana Keempat, yaitu :
  1. Brahma Vehapphala Bhumi : Alam para Brahma yang besar Pahalanya.
  2. Brahma Asannasatta Bhumi : Alam para Brahma yang kosong dari kesadaran.
Selanjutnya Alam-Alam dari Jhana ke empat ini dinamai Alam Suddhavasa 5, yaitu 5 Alam Kehidupan Yang Murni, Alam Kehidupan khusus untuk para Anagami, yaitu :
  1. Brahma Aviha Bhumi : Alam para Brahma yang tidak bergerak.
  2. Brahma Atappa Bhumi : Alam para Brahma yang suci.
  3. Brahma Sudassa Bhumi : Alam para Brahma yang indah.
  4. Brahma Sudassi Bhumi : Alam para Brahma yang berpandangan terang.
  5. Brahma Akanittha Bhumi : Alam para Brahma yang luhur.
Penjelasan:
Anagami yang tidak mempunyai Catutthajjhanakusala (sutta) atau Palicamajjhana-kusala (Abhidhamma) tidak dapat terlahir di Alam Suddhavasa 5. Beliau yang tidak mempunyai Pancamajjhana-kusala, setelah meninggal, akan terlahir di Alam Rupa-Jhana (bukan Suddhavasa 5) dengan kekuatan "Maggasiddhi-Jhana".

III. Arupa-Bhumi 4 terdiri dari :
1.Akasanancayatana Bhumi : Keadaan dari konsepsi ruangan tanpa batas.
2.Vinnanancayatana Bhumi : Keadaan dari konsepsi kesadaran tanpa batas.
3.Akincanayatana Bhumi ; Keadaan dari konsepsi kekosongan.
4.Nevasannanasannayatana Bhumi : Keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun bukan tidak pencerapan.

Selasa, 11 Januari 2011

Gangguan Dalam Meditasi (PALIBODHA)

Palibodha merupakan gangguan meditasi yang bersifat umum bagi parameditator. Dari sepuluh macam palibodha yang ada sembilan diantaranya adalah gangguan bagi meditator pemula dan gangguan yang terakhir merupakan gangguan bagi meditator lanjut. Agar palibodha dapat teratasi dengan baik ada baiknya bagi para meditator untuk mambuat jadwal tersendiri untuk waktu melaksanakan meditasai yang tujuannya agar lebih disiplin dalam latihan.
Berikut ini merupakan macam-macam palibodha
1. Tempat Tinggal (Avasa)
Merupakan tempat melaksanakan meditasi bagi para pemula. Tempat yang dipandang sebagai penggangu disini adalah tempat yang disekitarnya banyak terdapat keributan. Misalnya disekitar tempat meditasi sedang adapembangunan, dipinggir jalan raya, di dekat pasar, dekat rumah makan, dsb. Yang mana tempat-tempat tersebut dapat menimbulkan potensi gangguan terhadap indera terutama telinga, hidung dan tubuh.

2. Keluarga (Kula)
Keluarga dapat menjadi penghalang biladalam keluraga terdapat masalah-masalah yang belum terpecahkan, sehingga ketika bermeditasi ada anggota keluraga yang mengunjungi untuk menyelesaikan masalah.

3. Pendapatan (Labha)
Seringkali perumah tangga memikirkan penghasilannya ketika hendak berkonsentrasi dalambermeditasi, misalnya ada hutang, ada barang dagangan, dsb. Yang kesemuanya berhubungan dengan uang.

4. Siswa (Gana)
Siswa mrupakan penghalang untuk para guru. Ketika seorang guru akan bermeditasi ada siswa yang mengunjungi untuk meminta petunjuk dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

5. Kegiatan (Kamma)
Kesibukan akan kegiatan sehari-hari sehingga tidak ada kesempatanatau waktu luag untuk bermeditasi.dan pikiran pun terfokus padapekrjaan dan banyak tersita disana, sehingga ketika bermeditasi baying-bayang pekerjaan akan mempengaruhi.

6. Bepergian (Addhana)
Rencana liburan atau bepergian bersama teman maupun keluarga akan menyita waktu untuk melaksanakan meditasi. Dalam parjalanan juga tidak pas momennya untuk bermeditasi. Begitu juga ketika pulang liburan kondisi badan sudah lelah, jasmani tidak segar lagi yang mengakibatkan sulit untuk memusatkan pikiran.

7. Kerabat (Nati)
Halangan ini hamper mirip dengan kula. Hanya saja kerabat disini lebih kepada keluarga yang bukan satu rumah.

8. Sakit (Abadha)
Sakit menyulitkan pikiran susah untuk konsentrasi dikarenakan rasa sakit akan menggangu kesadaran dan pikiran tertuju pada bagian yang sakit.

9. Belajar (Gantha)
Kegitan belajar menghadapi ujian maupun belajar ketika ada tugas-tugas dari sekolah akan banyak menyita waktu untuk bermeditasi,bahkan pikiran akan banyak terkuras konsentrasinya terhadap belajar.

10. Kemampuan Batin (Idhi)
Bukan hanya yang bermeditasi samatha bhavana tetapijuga yang melaksanakan vipassana bhavana mengalami gangguan berupa kemampuan batin. Umumnya gangguan ini berlaku bagi meditator yang sudah lanjut. Kemampuan batin menjadi gangguan dikarenakan yang bersangkutan akan sibuk dengan pencapaiaanya dan menjadi malas melanjutkan meditaasinya. Yang bahkan akan menyebabkan hilangnya kemampuan batin

Senin, 10 Januari 2011

SEJARAH TIPITAKA (uraian)

Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.

SIDANG SANGHA (KONSILI)

Setelah Buddha Parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian atas prakarsa Y.A Maha Kassapa Thera diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya). dengan alasan untuk menyatukan ajaran Buddha yang tersebar di seluruh Jambudipa. sidang sangha ini dilatarbelakangi juga oleh ucapan Bhikkhu Subaddha yang dipandang dapat memecah belah keutuhan ajaran. Dalam kitab Cullavaga disebutkan bahwa bikkhu subadha mrngatakan "jangan bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai dilakukan dan apa yang tidak, yang membuathidupkita menderita; tetapi sekarang kita dapat berbuat apa yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" setelah melalui beberapa pertimbangan maka tercapailah kesepakatan untuk mengadakan sidang sangha.
SIDANG AGUNG I (KONSILI I)
  • Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan
  • Dipimpin oleh YA.Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat.
  • Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha.
  • Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.
Tujuan Sidang:
  • Menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan.
  • Mengulang Dhamma dan Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Kesimpulan/Hasil Konsili I:
  • Sangha tidak akan menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada.(menetapkan vinaya)
  • Mengadili Y.A. Ananda karena :
  1. Tidak memohon agar Sang Buddha hidup selama satu Kalpa
  2. Mengijinkan/Mengusulkan kepada Buddha agar wanita bisa masuk ke dalam sangha
  3. Tidak menanyakan 10 vinaya kecil yang boleh dihapus
  4. Mengijinkan Umat awam untuk menghormat lebih dulu kepada jenazah Sang Buddha
  • Memberikan hukuman brahmadanda (pengucilan) kepada Bhikkhu Chana
  • Agama Buddha masih utuh.(menetapkan sutta)
Keterangan : sebelum sidang dilaksanakan bhikkhu Ananda belum mencapai arahat, tetapi beliau merupakan pembantu tetap Buddha selama 25 tahun jadi dipandang mengetahui lebih dari separo ajaran Buddha. merasa malu karena menjadisatu-satunya peserta yang belum mencapai arahat dengan status sebagai bhikkhu yang selalu mendampingi buddha maka beliau berlatih tekun untuk segera mencapai arahat sehingga pada malam menjelang sidang dimulai bhikkhu Ananda karena ketekunan dan didorong semangat beliau mencapai tataran Arahat.

SIDANG AGUNG II (KONSILI II)
  • Diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I), berlangsung selama 4 bulan. 
  • Latar belakang : dikarenakan ada sekelompok Bhikkhu yang ingin merubah vinaya dengan menghilangkan 10 vinaya kecil yang disebutkan bhikkhu Ananda boleh dirubah pada sidang Sangha I
  • Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu.
  • Sidang diadakan di Vesali
  • Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka.
Tujuan Sidang:
  • Menyatukan Sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika) yang menghendaki untuk memperlunak Vinaya yang sangat keras (tetapi gagal).
Kesimpulan/Hasil Konsili II:
  • Kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya dibicarakan, diakui bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir menyatakan setuju.
  • Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta Sati" atau "Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.
Keterangan: Pada akhir penyelenggaraan Sangha terpecah menjadi dua kelompok, Mahasangika dan Staviravada

SIDANG AGUNG III (KONSILI III)
  • Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I).
  • Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta.
  • Sidang diadakan di Pataliputta.
  • Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka dari Suku Mauriya.
Latar Belakang Sidang:
  • Menertibkan perbedaan pendapat yang mengaktifkan perpecahan Sangha.
  • Memeriksa dan menyempurnakan Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha).
  • Raja Asoka meminta agar para Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.
Kesimpulan / Hasil Konsili III:
  • Menghukum Bhikkhu-Bhikkhu gadungan.
  • Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya,Sutta, dan Abhidhamma). Jadi pengertian Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III.
  • Y.A. Tissa memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang Buddha untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan perhimpunan tersebut berlangsung selama 9 bulan.
  • Keterangan:
  • Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada) dan Mahasanghika.
  • Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa pada Konsili III ini bukan merupakan konsili umum, tetapi hanya merupakan suatu konsili yang diadakan oleh Sthaviravada.

SIDANG AGUNG IV (KONSILI IV)
  • Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM).
  • Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu.
  • Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.
  • Tujuan Sidang:
  • Mencari penyelesaian karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang mengancam Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak lain.
Kesimpulan / Hasil Konsili IV:
  • Mengulang Tipitaka.
  • Menyempurnakan komentar Tipitaka.
  • Menuliskan Tipitaka dan komentarnya untuk pertama kali di atas daun lontar.dengan tujuan agar generasi mendatang mengetahui kemurnian Dhamma dan Vinaya
  • Keterangan : Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV oleh sekte Theravãda.

 SIDANG AGUNG V (KONSILI V)

  • Diadakan pada masa pemerintahan Raja Mindon (Birma) sekitar permulaan Abad ke 20 setelah Buddha Parinibbana (1871 M)
  • Tempat penyelenggaraan Sidang yang keempat ini Di Mandalay
Hasil penting dari Sidang Ke lima ini adalah Tripitaka diprasastikan pada 727 lempeng batu marmer. dan diletakkan di bukit Mandalay

SIDANG AGUNG VI (KONSILI VI)

  • Diadakan di Rangoon (sekarang Yangoon, Myanmar) pada tahun 1956 M. Tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada 2500.
Hasil dari sidang sangha ini adalah penterjemahan Tri Pitaka ke dalam bahasa Inggis, penterjemahan Tri Pitaka ke dalam bahasa inggris sebenarnya sudah dimulai oleh Pali Text Society pada tahun 1889 di Inggris


Sebagai tambahan pengetahuan 

Pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung di Jaladhar (Kashmir). persidangan ini dihadiri 500 Bhikkhu dari 18 sekte, yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Hasil dari sidang ini belum diketahui dengan pasti apa yang telah diputuskan. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).