Selasa, 23 November 2010

MEDITASI SAMATHA BHAVANA SESUAI WATAK

Jalan Utama Berunsur Delapan mengajarkan mengenai Samma Samadhi (meditasi benar). Buddha menegaskan bahwa keberhasilan dalam meditasi juga dipengaruhi oleh pemilihan obyek yang sesuai. untuk itu penting adanya mengetahui diri sendiri agar bisa menentukan obyek yang cocok. adanya kalyana mitta juga penting. pada dasarnya manusia memiliki watak berbeda-beda yang kesemuanya ada tujuh macam. watak merupakan pembawaan yang dihasilkan oleh karmanya. orang yang ingin bermeditasi bila obyek meditasinya tidak sesuai watak dirinya maka akan sulit untuk berkonsentrasi. watak manusia secara umum dibedakan menjadi tujuh buah, ada yang kuat dan ada yang merupakan campuran beberapa watak. berikut ini macam-macam watak manusia dan obyek meditasi yang cocok dari 40 macam obyek meditasi samatha bhavana.
1. Raga Carita (Watak penuh nafsu)
Mereka yang berwatak seperti ini sangat sensitif terhadap nilai-nilai keindahan dan keharmonisan, mudah terpengaruh oleh kecantikan wanita atau ketampanan pria, juga akan keindahan musik, literatur, dan lain-lain, yang pada umumnya memuaskan nafsu indera. dalam memenuhi nafsunya orang berwatak raga carita akan melakukan apa saja. Orang berwatak raga  carita bila bermeditasi hendaknya memilih obyek salah satu dari 10 Asubha dan Kayagatasati. 10 asubha merupakan sepuluh obyek yang menjijikkan dan berupa mayat. 10 Asubha adalah dengan melihat perkembangan mayat, mulai dari mayat masih baru, membengkak, pecah, bernanah, berbelatung, sampai hanya tinggal tengkorak saja. Kayagatasati merupakan perhatian terhadap badan jasmani dengan memperhatikan badan jasmani ini tidak indah dan tidak menarik yang hanya merupakan kumpulan dari macam-macam unsur yang sangat menjijikkan

2. Dosa carita (membenci)
Watak dosa carita pada umumnya mudah tersinggung oleh masalah sangat kecil sekalipun dan juga mudah bosan, jenkel, kesal, marah, cemburu, iri hati, membenci dan dendam. orang dengan watak dosa carita akan nampak selalu marah, tidak ramah kepada orang lain, sehingga tidak suka bersahabat atau mendekati orang lain. watak dosa carita bila bermeditasi watak yang cocok ada 8 buah, yaitu 4 kasina warna (merah, putih, biru, kuning) dan 4 Appamana / Brahma vihara (metta, karuna,mudita, upekkha)

3. Moha carita (ketidaktahuan / kebodohan)
Orang yang berwatak moha carita ditandai dengan kurangnya kekuatan kecerdasan yang harus diimbangi dengan usaha belajar dan mendekati serta meminta penjelasan orang-orang mulia yang berpengetahuan lebih baik. orang berwatak moha carita biasanya berperilaku konyol, karena tindakannya yang nampak tidak wajar. obyek yang cocok untuk orang berwatak moha carita adalah Anapanasati (memperhatiak pernafasan). memperhatikan keluar dan masuknya nafas.

4. Vitakacarita (khawatir)
Orang berwatak vitaka carita pikirannya sering tidak terkendali atau kacau, sering cemas akan kesukaran-kesukaran, mudah sekali merubah prinsip, sehingga berperangai sebagai orang yang tidak punya pendirian tetap. orang seperti ini sulit dipegang pernyataannya, sebab ia selalu nampak gelisah, takut dan tidak tenang. obyek yang cocok untuk orang berwatak moha carita adalah Anapanasati (memperhatiakan pernafasan). memperhatikan keluar dan masuknya nafas.

5. Saddhacarita (mudah percaya)
Mudah percaya merupakan tanda kurangnya kecerdasan. Segala sesuatu yang didengar walaupun belum jelas asal-usulnya ia akan mudah percaya begitu saja dan diterima seperti sudah terbukti. sehingga orang berwatak saddha carita mudah sekali tertipu. orang berwatak seperti ini dalam meditasinya mengembangkan obyek 6 Anussati (perenungan), yatu perenungan tentang Buddha, Dhamma, Sangha, Sila, Caga, dan Devata

6. Buddhicarita (intelek)
Kecerdasan tidak selalu menjadi kuntungan. kelebihan darinya dapat menjadi suatu kerugian apabila tidak disertai sikap batin yang pantas atau tidak berdasar pada pengetahuan benar. kelbihan tersebut justru bisa menyeret kedalam jurang pandangan salah. orang berwatak seperti ini akan selalu menolak pandangan atau informasi yang kurang masuk akal. dia akan selalu menganggap pandangan dirinya yang paling benar. obyek yang cocok untuk orang berwatak ini adalah maranasati (perhatian terhadap kematian), upasamanussati (perenungan tentang ketenangan), aharepatikkulasanna (perenungan terhadap kejijikan makanan), catudhatu-vavatthana (analisa empat unsur pembentuk tubuh).

7. Sabbacarita (campuran/kombinasi dari 6 watak)
Tipe ini dapat berwatak intelek, mudah marah, nafsu besar, bodoh, mudah percaya, atau khawatir. obyek meditasi yang cocok adalah 6 kasina (pathavi, apo, tejo, vayo, akasa, aloka) dan 4 Arupa (Akasanancayatana, Vinnanancayatana, Akincannayatana, N'evasanna N'asannayatana)

31 ALAM KEHIDUPAN

Dalam Agama Buddha dipercayai adanya 31 Alam Kehidupan yang secara garis besarnya terbagi atas:

1. Empat Alam Kemerosotan (apâyabhûmi),

2. Satu Alam Manusia (manussabhûmi),

3. Enam Alam Dewa (devabhûmi),

4. Enam Belas Alam Brahma Berbentuk (rûpabhûmi), dan

5. Empat Alam Brahma Nirbentuk (arûpabhûmi).


I. Empat Alam Kemerosotan (Apâyabhûmi)


Istilah 'apâyabhûmi' terbentuk dari tiga kosakata, yakni 'apa' yang berarti 'tanpa, tidak ada', 'aya' yang berarti 'kebajikan', dan 'bhûmi' yang berarti 'alam tempat tinggal makhluk hidup'. Apâyabhûmi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan. Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan tidak ada satu makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian dalam kehidupan sekarang. Alam ini juga sering disebut sebagai 'dugga-tibhûmi'.

'Duggati' terbentuk dari dua kosakata, yakni 'du' yang berarti 'jahat, buruk, sengsara', dan 'gati' yang berarti 'alam tujuan bagi suatu makhluk yang akan bertumimbal lahir'. Duggatibhûmi adalah suatu alam kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai se-bagai suatu padanan, duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama persis cakupannya dengan apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri atas empat alam, yakni:

a) Alam Neraka (Niraya),

b) Binatang (Tiracchâna),

c) Setan (Peta),

d) Iblis (Asurakâya).

Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam duggatibhûmi secara tidak menyeluruh dan langsung.

Empat Alam Kemerosotan, alam manusia dan enam alam dewa termasuk sebagai Alam Nafsu Inderawi (kâmabhûmi).

a) Alam Neraka 'Niraya' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'ni' yang berarti 'bukan, tidak ada' dan 'aya' yang berarti 'kebajikan, kebahagiaan, perkembangan'. Niraya atau neraka adalah suatu alam kehidupan yang penuh derita dan siksaan, tanpa kesempatan untuk berbuat kebajikan, tanpa kebahagiaan, tanpa perkembangan. Neraka dalam pandangan Agama Buddha bukanlah suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Apabila akibat buruk dari suatu kejahatan telah terlunasi, mereka yang terjatuh ke dalam neraka akan dapat terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih tinggi tergantung perbuatan-perbuatan lain yang pernah mereka lakukan sepanjang kehidupan-kehidupan lampau. Konon dikisahkan bahwa Mallikâ, yang pernah melakukan perzinahan dengan seekor anjing, berada dalam alam neraka hanya dalam waktu tujuh hari. (Mallikâ adalah permaisuri kesayangan Raja Pasenadi Kosala). Atas kematiannya, raja bertanya kepada Sang Buddha ke alam manakah gerangan istrinya terlahirkan kembali. Beliau tidak menjawab meskipun ditanya setiap hari selama seminggu penuh karena khawatir kalau raja akan bersedih hati mengetahui penderitaan yang harus ditanggung oleh Mallikâ. Baru setelah Mallikâ keluar dari neraka Avîci dan terlahirkan kembali di Surga Tusita, Beliau memberikan jawaban.) Tidaklah 'adil' untuk menjebloskan suatu makhluk sepanjang hidup (selamanya) dalam neraka hanya karena suatu kejahatan yang pernah dilakukannya dengan mengabaikan semua kebajikannya dan tanpa memberi peluang sedikit pun untuk memperbaiki kehidupannya. Neraka bukanlah suatu tempat pelampiasan kesewenang-wenangan suatu Pencipta Adikodrati yang murkah karena diabaikan atau dikhianati oleh makhluk-makhluk ciptaannya.

Neraka terbagi menjadi dua bagian, yaitu Neraka Besar (Mahâ-niraya)
dan Neraka Kecil (Ussadaniraya).

Neraka besar terdiri atas delapan alam:

1) Sañjîva

alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi dibantai dengan pelbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat kamma yang ditanggung. Mereka yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyiksa makhluk lain yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

2) Kâïasutta

alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji dan sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau para bhikkhu-sâmaóera yang suka melanggar vinaya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

3) Saõghâta

alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga luluh lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pemburu, penjagal dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

4) Dhûmaroruva

alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepengapan. Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau nelayan yang menangkap ikan dengan mempergunakan racun dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

5) Jâlaroruva

alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan. Mereka yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau mencoleng benda-benda yang dipakai untuk pemujaan kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

6) Tâpana

alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di atas besi membara. Mereka yang membakar kota, vihâra, sekolahan dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

7) Patâpana

alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak terpancang di bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa pemberian dâna tidak membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mestika tidak berguna, penghormatan kepada dewa tidak berakibat, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk, ayah-ibu tidak berjasa, tidak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

8) Avîci

alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka yang pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu atau Arahanta, melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah pasamuan Saõgha niscaya akan terlahirkan di alam ini. Avîci kerap diang-gap sebagai alam kehidupan yang paling rendah.

Neraka kecil terdiri atas delapan alam:

1) Angârakâsu

alam neraka yang terpenuhi oleh bara api

2) Loharasa

alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair

3) Kukkula:

alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara

4) Aggisamohaka

alam neraka yang terpenuhi oleh air panas

5) Lohakhumbhî

alam neraka yang merupakan panci tembaga

6) Gûtha

alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk

7) Simpalivana

alam neraka yang merupakan hutan pohon ber-duri

8) Vettaranî

alam neraka yang merupakan air garam berisi duri rotan

b) Alam Binatang 'Tiracchâna' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'tiro' yang berarti 'melintang, membujur', dan 'acchâna' yang berarti 'pergi, berjalan'. Tiracchâna atau binatang adalah suatu makhluk yang umumnya berjalan dengan melintang atau membujur, bukan berdiri tegak seperti manusia.
Dengan pengertian lain, binatang disebut Tiracchâna karena merintangi
jalan menuju pencapaian Jalan dan Pahala. Binatang sesungguhnya tidak
mempunyai alam khusus milik mereka sendiri melainkan hidup di alam
manusia. Binatang memiliki hasrat untuk menikmati kesenangan inderawi
serta berkembang-biak; naluri untuk mencari makan, bersarang, dan
sebagainya; dan perasaan takut mati, mencintai kehidupannya. Binatang
tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan kebajikan dari kejahatan,
kebenaran dari kesesatan, dan sebagainya (dhammasaññâ, conscience) kecuali kalau terlahirkan sebagai calon Buddha (bodhisatta) yang sedang memupuk kesempurnaan. Bodhisatta tidak akan terlahirkan sebagai binatang yang lebih kecil dari burung puyuh [semut misalnya] atau lebih besar dari gajah [dinosaurus misalnya].

Binatang mempunyai banyak jenis yang tak terhitung jumlahnya, namun secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi Empat Macam, yakni:

1. yang tak berkaki seperti ular, ikan, cacing dan lain-lain (apada),

2. yang berkaki dua seperti ayam, bebek, burung dan lain-lain (dvipada),

3. yang berkaki empat seperti gajah, kuda, kerbau dan lain-lain (catuppada),

4. yang berkaki banyak seperti kelabang, udang, kepiting dan lain-lain
(bahuppada).

Dalam pandangan Kristen serta beberapa agama Theistik lainnya,
semua binatang akan musnah setelah kematian. Binatang tidak mempunyai roh. Binatang hanya diakui memiliki naluri (instinct), tanpa akal budi. Karena itu, mereka tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Kebahagiaan maupun penderitaan yang dialami bukan ditentukan oleh perbuatan mereka baik dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan kehidupan yang lampau; melainkan merupakan wewenang serta kehendak Tuhan. Binatang diciptakan semata-mata untuk kepentingan umat manusia yang lebih luhur. Tidak ada surga maupun neraka bagi binatang. Ini menimbulkan dilemma bagi umat Kristen yang menginginkan agar binatang peliharaannya dapat hidup bersama lagi di surga sebagaimana di bumi.

c) Alam Setan 'Peta' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'pa' yang berarti 'ke depan, menyeluruh', dan 'ita' yang berarti 'telah pergi, telah meninggal'. Berbeda dengan makhluk yang berada di alam neraka yang menderita karena tersiksa, peta atau setan hidup sengsara karena kelaparan, kehausan
dan kekurangan. Kejahatan yang membuat suatu makhluk terlahirkan sebagai setan ialah pencurian dsb. Seperti binatang, setan tidak mempunyai alam khusus milik mereka sendiri. Mereka berada di dunia ini dan bertinggal di tempat-tempat seperti hutan, gunung, tebing, lautan, kuburan, dan sebagainya. Beberapa jenis setan mempunyai kemampuan untuk menyalin rupa dalam wujud seperti dewa, manusia, pertapa, binatang, atau hanya menampakkan diri secara samar-samar seperti bayang-bayang gelap dan lain-lain.

Setan terbagi menjadi empat jenis, yakni:

1. yang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa dan sebagainya (paradattupajîvika),

2. yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppîpâsika),

3. yang senantiasa terberangus (nijjhâmataóhika),

4. yang tergolong sebagai iblis atau makhluk yang suram (kâlakañcika).

Jenis yang pertama itu dapat menerima penyaluran jasa karena mereka
bertinggal di sekitar atau di dekat manusia, sehingga dapat mengetahui
pemberian ini dan beranumodanâ [menyatakan kenuragaan atas kebajikan yang diperbuat oleh makhluk lain]. Apabila tak tahu dan tak beranumodanâ, penyaluran jasa ini tidak dapat diterima. Orang yang pada saat-saat menjelang kematian mempunyai ke-31 melekatan yang amat kuat pada kekayaan, harta benda, sanak-keluarga, dan sebagainya niscaya akan terlahirkan di alam setan ini.

Dalam Vinaya dan Lakkhaóa-samyutta, disebutkan adanya 21 macam setan, yaitu:

1. yang hanya bertulang tanpa daging (aööhisaõkha-sika),

2. yang hanya berdaging tanpa tulang (maõsapesika),

3. yang berdaging benjol (maõsapióòa),

4. yang tak berkulit (nicchavirisa),

5. yang berbulu seperti pisau (asiloma),

6. yang berbulu seperti tombak (sat-tiloma),

7. yang berbulu seperti anak panah (usuloma),

8. yang berbulu seperti jarum (sûciloma),

9. yang berbulu seperti jarum jenis kedua (duti-yasûciloma),

10. yang berpelir besar (kumbhaóòa),

11. yang terbenam dalam tahi (gûthakûpanimugga),

12. yang makan tahi (gûthakhâdaka),

13. yang berjenis betina tanpa kulit (nicchavitaka),

14. yang berbau busuk (duggandha),

15. yang bertubuh bara api (ogilinî),

16. yang tak berkepala(asîsa),

17. yang berperawakan seperti bhikkhu,

18. yang berperawakan seperti bhikkhunî,

19. yang berperawakan seperti calon bhikkhunî(sikkhamâna),

20. yang berperawakan seperti sâmanera,

21. yang berperawakan seperti sâmanerî.

Sementara itu, Kitab Lokapaññatti serta Chagatidîpanî menyebutkan
adanya 12 macam setan, yaitu:

1. yang makan ludah, dahak dan mun-tahan(vantâsikâ),

2. yang makan mayat manusia atau binatang(kuópâsa),

3. yang makan tahi (gûthakhâdaka),

4. yang berlidah api(ag-gijâlamukha),

5. yang bermulut sekecil lubang jarum (sûcimukha),

6. yang terdorong keinginan tiada habis (taóhaööita),

7. yang bertubuh hitam pekat (sunijjhâmaka),

8. yang berkuku panjang dan runcing (satthaõga),

9. yang bertubuh sangat besar (pabbataõga),

10. yang bertubuh seperti ular piton (ajagaraõga),

11. yang menderita di siang hari tetapi menikmati kesenangan surgawi di malam hari (vemânika),

12. yang memiliki kesak-tian(mahiddhika).

d) Alam Iblis 'Asurakâya' terbentuk atas tiga kosakata, yaitu 'a' yang merupakan unsur pembalik, 'sura' yang berarti 'cemerlang, gemilang', dan 'kâya' yang berarti 'tubuh'. Namun, yang dimaksud dengan 'tak cemerlang' di
sini bukanlah tidak adanya cahaya yang memancar dari tubuh, melainkan
suatu kehidupan yang merana dan serba kekurangan sehingga membuat
batin tidak berceria. Istilah 'asura' mungkin juga berasal dari kisah
kejatuhan dari Surga Tâvatimsa [terkalahkan oleh Sakka dan pengikutnya]
akibat minuman memabukkan (surâ). Sejak itu, mereka bersumpah untuk
tidak meminumnya lagi. Karena sebelumnya pernah bertinggal di alam
kedewaan, asurakâya kadangkala juga disebut sebagai 'pubbadevâ'.

Asurakâya atau iblis terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. iblis berupa dewa(deva-asurâ)

2. iblis berupa setan (peti-asurâ),

3. iblis berupa penghuni neraka (niraya-asurâ).

Deva-asurâ terdiri atas vepacitti, râhu, subali,pahâra, sambaratî, dan vinipâtika. Peti-asurâ terdiri atas kâlakañcika,vemânika, dan âvuddhika. Niraya-asurâ hanya terdiri atas satu jenis, yaitu yang menderita kelaparan dan hidupnya bergelantungan seperti kelelawar.

II. Satu Alam Manusia (manussabhûmi)

Manussa' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'mano' yang berarti 'pikiran, batin' dan 'ussa' yang berarti 'tinggi, luhur, meningkat, berkembang'. Manussa atau manusia adalah suatu makhluk yang berkembang serta kukuh batinnya [mano ussanti etesanti=manussâ], yang tahu serta memahami sebab yang layak [kâranâkaranam manatijânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang bermanfaat dan tak bermanfaat [atthânattam manati jânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang merupakan kebajikan dan kejahatan [kusalâkusalam manati jânâtîti=manusso]. Manusia bertinggal di empat tempat, yaitu Uttarakurudîpa, Pubbavidehadîpa, Aparagoyânadîpa, dan Jambudîpa. Umat manusia yang berada di Uttarakurudîpa berusia sampai seribu tahun, yang berada di Pubbavidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun, yang berada di Aparagoyânadîpa berusia sampai lima ratus tahun, sedangkan yang berada di Jambudîpa berusia tidak menentu, tergantung kadar kebajikan serta kesilaan yang dimiliki. Pernah terjadi bahwa umat manusia tidak begitu mengindahkan kebajikan serta kesilaan sehingga usia rata-rata umat manusia menjadi sependek 10 tahun. Pada zaman Buddha Gotama, usia rata-rata umat manusia ialah 100 tahun. Diprakirakan bahwa setiap satu abad, usia manusia memendek selama satu tahun. Karena Buddha Go-tama telah mangkat sejak dua puluh lima abad
yang lampau, usia rata-rata umat manusia pada saat sekarang ini ialah 75 tahun.
Seorang Sammâsambuddha tidak akan muncul apabila usia rata-rata manusia
lebih pendek dari 100 tahun karena kesempatan bagi kebanyakan orang untuk dapat memahami kebenaran Dhamma terlalu singkat, tetapi juga tidak akan muncul apabila lebih panjang dari 100,000 tahun karena kebanyakan orang akan merasa sulit untuk dapat menembus hakikat ketakkekalan atau kefanaan hidup. Beliau hanya terlahirkan di Jambudîpa, tidak pernah terlahirkan di tiga tempat lainnya apalagi di alam-alam kehidupan selain alam manusia.

Kitab Majjhima Nikâya bagian Mûlapannâsaka memberikan penjelasan secara terinci mengapa manusia mempunyai keadaan yang berbeda. Orang yang dalam kehidupan lampau suka membinasakan atau membunuh makhluk lain niscaya akan terlahirkan sebagai manusia dengan umur pendek; yang suka menganiaya atau menyiksa makhluk lain niscaya akan dihinggapi banyak penyakit; yang suka murkah atau marah niscaya akan berparas buruk; yang suka cemburu atau irihati nis-caya akan tak berwibawa; yang suka berdana atau murah hati niscaya
akan memiliki kekayaan melimpah; yang suka bersikap angkuh atau sombong niscaya akan terlahirkan di keluarga yang rendah; yang tak gemar menimba ilmu pengetahuan atau memperdalam pengertian Dhamma niscaya akan terlahirkan dengan sedikit kebijaksanaan. Demikian pula kebalikannya. Selaras dengan ilmu pengetahuan modern, dalam Aggañña Sutta disebutkan bahwa umat manusia di bumi ini adalah suatu hasil evolusi yang panjang. Manusia bukanlah suatu makhluk yang pada saat pertama kali muncul / lahir di dunia ini sudah berbentuk, berupa atau berwujud sebagaimana yang tertampak pada saat sekarang ini. Dalam wejangan tersebut juga dijelaskan bahwa bumi beserta isinya ini terbentuk dalam suatu proses yang amat panjang, bukan diciptakan secara gaib selama enam
hari pada sekitar 6,000 tahun yang lampau sebagaimana yang ditafsirkan dari Alkitab.

III. Enam Alam Dewa (devabhûmi)


Ada tiga macam deva atau dewa dalam pandangan Agama Buddha, yaitu

1. Upattideva

dewa sebagai makhluk surgawi berdasarkan kelahirannya,

2. Sammutideva


dewa berdasarkan persepakatan atau perandaian misalnya raja, permaisuri, pangeran dan sebagainya,

3. Visud-dhideva

dewa yang suci terbebas dari segala noda batin yang tidak lain ialah Arahanta.

Dewa yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah merujuk pada pengertian yang pertama, Upattideva, yakni makhluk surgawi yang mengenyam kenikmatan inderawi. Makhluk surgawi dalam pandangan Buddhis tidaklah bersifat kekal.

Mereka bisa mati karena salah satu dari empat sebab: genapnya usia,
habisnya kebajikan, terlena dalam kenikmatan hingga lupa makan, murkah atau irihati. Dalam kebanyakan agama Theistik, surga dipercayai sebagai suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Kepercayaan atas 'kekekalan'
alam surga ini sempat menjadi topik perdebatan yang panjang. Dipercayai bahwa manusia jatuh dari Taman Eden dan mengalami pelbagai penderitaan di dunia ini karena ketakpatuhan nenek-moyang mereka, Adam dan Hawa, terhadap perintah serta larangan Tuhan. Hidup bersama Tuhan di alam surga adalah idam-idaman mereka; menjadi tujuan akhir. Manusia pernah bertinggal di Taman Eden, dan kemudian diusir dari sana. Pertanyaan yang perlu dijawab sekarang ialah: Kalau seandainya kita telah masuk surga, apakah mungkin suatu waktu nanti kita akan diusir lagi dari sana? Jika demikian, bagaimana mungkin surga dianggap sebagai suatu alam yang kekal? Apa makna kekekalan itu sendiri? Dalam pandangan Theistik tersebut, manusia adalah suatu makhluk yang penuh dengan kelemahan serta kekurangan. Sangatlah mustahil bagi seseorang untuk dapat memiliki 'kesempurnaan' batiniah. Bahkan, Tuhan yang
dipercayai sebagai Pencipta yang Mahasempurna sendiri sering dikatakan
masih memiliki sifat 'cemburu', 'irihati', 'murkah' dan sebagainya. Yang
perlu direnungkan ialah, apabila dalam sanubari manusia masih terdapat
kekotoran batiniah semacam itu, seandainya nanti mereka bertinggal di
surga yang kekal, apakah tidak mungkin bahwa akan timbul permasalahan
yang berbuntut pada perbuatan-perbuatan berdosa, misalnya membunuh, mencuri, berzinah, berdusta dan sebagainya? Jika kemungkinan ini benar-benar terjadi, lalu bagaimana nasib manusia nantinya? Apa hukuman bagi pelaku dosa? Dijebloskan ke dalam neraka? Diusir dari surga kekal?

Dalam pandangan Agama Buddha, alam surga di mana para dewa-dewi bertempat tinggal dalam kurun waktu yang berbatas [tidak kekal, tidak selamanya] terbagi menjadi enam alam, yaitu:

1. Câtu-mahârâjikâ,

2. Tâvatimsa,

3. Yâmâ,

4. Tusita,

5. Nimmânaratî,

6. Para-nimmitavasavattî.

1) Alam Câtumahârâjikâ adalah suatu alam surgawi paling rendah yang berada dalam kekuasaan empat raja dewa, yakni: Dhataraööha, Virudhaka,
Virûpakkha, dan Kuvera. Empat raja dewa ini juga dipercayai sebagai pelindung alam manusia, dan karenanya dikenal dengan sebutan 'Catulokapâla'. Dalam Kitab Lokîyapakaraóa, empat dewa pelindung dunia ini dipanggil sebagai Inda, Yama, Varuóa dan Kuvera. Berdasarkan tempat tinggalnya, para dewa-dewi tingkat Câtumahârâjikâ terbagi atas tiga, yaitu:

1. yang berada di daratan (bhumattha),

2. yang berada di po-hon(rukkha).Dalam Kitab Ulasan atas Dhammapada dan Buddhavamsa, para dewa-dewi yang hidup di pohon dimasukkan dalam kelompok bhummattha.

3. yang berada di angkasa (âkâsaööha).

Empat raja dewa serta beberapa dewa lainnya mempunyai 'istana' (vimâna)
khusus bagi diri mereka masing-masing. Bagi yang tak mempunyai istana secara khusus, gunung, sungai, lautan, pohon yang ditinggali itulah istana bagi mereka. Kehidupan di Câtumaharâjikâ berlangsung selama 500 tahun dewa atau kira-kira sembilan juta tahun manusia (Perbandingan usia di alam-alam surga tidaklah sama, tergantung tingkatannya. Satu hari di alam surga tertentu berbanding satu abad di alam manusia, dan ada pula yang lebih lama lagi).

Para dewa-dewi di tingkat Câtumahârâjikâ ada yang cenderung berhati jahat, yaitu:

1. Gandhabbo/Gandhabbî: yang berada di pohon-pohon berbau harum, yang belakangan mungkin dikenali oleh orang-orang Jawa sebagai 'gondoruwo'. Makhluk halus ini sangat melekati tempat tinggalnya. Walaupun pohon tempat tinggalnya ditebang, ia masih tetap mengikuti ke mana pohon itu dipindahkan tidak seperti rukkhadeva lainnya, yang akan mengungsi ke pohon lain yang masih hidup,

2. Kumbhanno/Kumbhannî: penjaga harta pusaka, hutan, dan sebagainya,

3. Nâgo/Nâgî: naga yang memiliki kesaktian, yang mampu menyalin rupa dalam wujud makhluk lain seperti manusia, binatang dan sebagainya,

4. Yakkho/Yakkhinî: raksasa yang gemar menganiaya para penghuni neraka.

2) Alam Tâvatimsa adalah alam surgawi tingkat kedua. Alam ini sebelumnya merupakan tempat tinggal para asurakâya. Nama 'Tâvatimsa' baru dipakai setelah 33 pemuda di bawah pimpinan Mâgha, yang terlahirkan kembali di sini akibat kebajikan yang dilakukan bersama-sama, berhasil menyingkirkan para asurakâya.

Para dewa-dewi di Tâvatimsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu

1) Bhummaööha: Sakka beserta 32 dewa pembesar,

2) Âkâsaööha: yang bertinggal dalam istana di angkasa.

Ibukota Tâvatimsa ialah Masakkasâra. Balai Sudhamma menjadi tempat
bagi para dewa-dewi untuk memperbincangkan Kebenaran Dhamma di
bawah asuhan Sakka (Beliau berhasil meraih kesucian tingkat Sotâpatti setelah mendengarkan Brahmajâla Sutta). Brahmâ Sanamkumâra kerap menjadi tamu pembabar Dhamma di sini. Buddha Gotama pernah berkunjung ke alam ini, dan bertinggal selama tiga bulan untuk mewejangkan Abhidhamma kepada ibunda-Nya, yang terlahirkan kembali sebagai putra dewa di alam Tusita. Moggallâna Thera juga pernah beberapa kali pergi ke alam ini, dan dari sejumlah penghuninya, beliau memperoleh kesaksian atas perbuatan-perbuatan bajik yang membawa mereka terlahirkan kembali di sini. Kebajikan ini antara lain ialah merawat ayah-ibu, menghormat sesepuh dalam keluarga, berbicara lemah lembut, menghindari penghasutan, mengikis kekikiran, bersifat jujur, menahan marah. Usia rata-rata para dewa-dewi yang terlahirkan di alam Tâvatimsa ialah 1,000 tahun dewa atau kira-kira 36 juta tahun manusia.

3) Yâmâbhûmi adalah alam surgawi tingkat ketiga, menjadi tempat bagi para dewa-dewi yang terbebas dari segala kesukaran, yang terberkahi
dengan kebahagiaan surgawi. Pemegang kekuasaan dalam alam ini ialah Suyâma. Alam ini berada di angkasa. Dalam alam ini dan tingkat yang lebih tinggi, tidak ada dewa-dewi yang tergolong sebagai bhum-mattha yang bertinggal di daratan. Istana, harta serta tubuh para dewa-dewi di alam ini jauh lebih indah dan halus daripada yang bertinggal di Tâvatimsa. Rentang hidup mereka ialah 2,000 tahun dewa atau kira-kira 142 juta tahun manusia.

4) Tusitabhûmi adalah alam surgawi tingkat keempat. Para dewa-dewi yang hidup di alam ini senantiasa berceria atas keberadaan yang dimiliki. Semua Bodhisatta, sebelum turun ke dunia dan meraih Pencerahan Agung, terlahirkan di alam ini untuk menanti waktu yang tepat bagi kemunculan seorang Buddha. Demikian pula mereka yang akan menjadi orangtua serta Siswa Utama (Aggasâvaka). Sekarang ini, Bodhisatta Metteyya yang akan menjadi Sammâsambuddha setelah ajaran Buddha Gotama punah dari muka bumi ini sedang berada di alam ini. Usia rata-rata di alam ini ialah 4,000 tahun dewa atau kira-kira 567 juta tahun manusia.

5) Nimmânaratîbhûmi adalah alam surgawi tingkat kelima. Para dewa-dewi di alam ini menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka. Rentang hidup para dewa-dewi di alam ini ialah 8,000 tahun dewa atau kira-kira 2,304 juta tahun manusia.

6) Paranimmittavasavattî adalah alam surgawi tingkat terakhir. Apabila para dewa-dewi di alam Nimmânaratî menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka, para dewa-dewi di alam ini menikmatinya dari apa yang diciptakan atau disediakan oleh yang lain, yang tahu kebutuhan serta keinginan mereka. Usia rata-rata di alam ini ialah 16,000 tahun dewa atau kira-kira 9,216 juta tahun manusia.

IV. Enam Belas Alam Brahma Berbentuk (rûpabhûmi)

Rûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan 'rûpâvacaravipâkacitta' atau kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma berbentuk. Dengan perkataan lain, rûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk. Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jhâna yang luhur. Jhâna dihasilkan dari pengembangan Samatha Kammaööhâna meditasi pemusatan batin pada satu objek demi tercapainya ketenangan.

Alam brahma terdiri atas 16 alam, yakni:

1. tiga alam bagi peraih Jhâna pertama (paöhama),

2. tiga alam bagi peraih Jhâna kedua (dutiya),

3. tiga alam bagi peraih Jhâna ketiga (tatiya),

4. dua alam bagi peraih Jhâna keempat(catuttha),

5. dan lima alam Suddhâvâsa.

Pathamajhânabhûmi, Tiga alam bagi peraih Jhâna pertama ialah:

1. Pârisajjâ: alam ke-hidupan bagi brahma pengikut, yang tidak memiliki
kekuasaan khusus,

2. Purohitâ: alam kehidupan bagi brahma penasihat, yang berkedudukan tinggi sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan,

3. Mahâbrahmâ: alam kehidupan bagi brahma yang memiliki kebajikan khusus
yang besar.

Dutiyajhânabhûmi, Tiga alam kehidupan bagi peraih Jhâna kedua atau Jhâna ketiga ialah

1. Parittâbhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya lebih sedikit daripada brahma yang berada di atasnya,

2. Appamâóâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya cemerlang nirbatas,

3. Âbhassarâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya menyebar luas
dari tubuhnya.

Tatiyajhânabhûmi, Tiga alam bagi peraih Jhâna keempat ialah

1. Parittasubhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya indah tapi lebih
sedikit daripada brahma yang berada di atasnya,

2. Appamâóasubhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya indah nirbatas,

3. Subhakióhâ: alam kehi-dupan bagi brahma yang bercahaya indah di sekujur
tubuhnya.

Catutthajhânabhûmi, Dua alam bagi peraih Jhâna kelima ialah:

1. Vehapphalâ: alam kehidupan bagi brahma yang berpahala sempurna,
yang terbebas dari se-gala bahaya,

2. Asaññasatta: alam kehidupan bagi brahma yang bertumimbal lahir dalam
wujud materi berasal dari perbuatan saja(kammajarûpa). Dalam alam ini sama sekali tidak ada unsur batiniah. Kelahiran di alam brahma ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak terhadap unsur batiniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya (saññâvirâgabhâvanâ). Karena tidak dilengkapi dengan unsur-unsur batiniah, di alam ini sama sekali tidak ada kesempatan untuk mengembangkan kebajikan. Makhluk-makhluk yang terlahirkan secara jasmaniah hanya sekadar menghabiskan akibat perbuatan lampaunya. Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan dalam alam ini.

Suddhâvâsabhûmi adalah suatu alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari nafsu birahi (kâmarâga) dan sebagainya, yaitu para Anâgâmî yang berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima. Makhluk-makhluk lain yang belum mencapai kesucian tingkat Anâgâmî, meskipun berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima, tidak akan terlahirkan di alam ini. Di sinilah para Anâgâmî akan meraih kesucian tingkat Arahatta. Para Bodhisatta tidaklah pernah terlahirkan di alam ini sebab makhluk-makhluk yang terlahirkan di alam ini tidak akan terlahirkan kembali di
alam-alam lain yang lebih rendah. Kadangkala, ketika tidak ada Buddha
yang muncul dalam kurun waktu yang lama, alam ini kosong melompong tanpa penghuni.

Alam ini terbagi menjadi lima tingkat, yaitu:

1. Avihâ: alam kehidupan bagi brahma yang tidak meninggalkan tempat tinggalnya hingga habisnya usia,

2. Atappâ: alam kehidupan bagi brahma yang se-nantiasa berada dalam
ketenangan yang menyejukkan,

3. Sudassâ alam kehidupan bagi brahma yang tubuhnya bercahaya sangat
indah menawan hati,

4. Sudassî: alam kehidupan yang lebih sempurna dalam penglihatan daripada
alam Sudassâ,

5. Akanitthâ: alam kehidupan bagi brahma yang terlengkapi dengan harta
surgawi serta kebahagiaan yang tak ter-tandingi oleh alam mana pun. Ini merupakan alam tertinggi bagi para suciwan.

Para Anâgâmî yang berkemampuan menonjol dalam bidang keyakinan (saddhindrîya) niscaya terlahirkan kembali di alam Avihâ; semangat (viriyindrîya) di alam Atappâ; penyadaran jeli (satindrîya) di alam Sudassâ; pemusatan (samâdhindrîya) di alam Sudassî; kebijaksanaan (paññindrîya) di alam Akanitthâ.

V. Empat Alam Brahma Nirbentuk (arûpabhûmi)

Arûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan empat unsur batiniah yakni kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma nirbentuk (arûpâvacaravipâkacitta). Dengan perkataan lain, arûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma nirbentuk. Meskipun disebut sebagai suatu 'alam' yang mengacu pada tempat atau bentuk, di sini sesungguhnya sama sekali tidak ada unsure jasmaniah sehalus apa pun dan dalam wujud apa pun. Sebutan ini terpaksa dipakai untuk dapat mengacu pada kemunculan serta keberadaan unsur-unsur batiniah tersebut. Kelahiran di alam brahma nirbentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya (rûpavirâgabhâvanâ).

Arûpabhûmi terbagi menjadi empat alam, yakni:

1. Âkâsânañcâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat pathama-arûpajhâna yang berobjek pada angkasa yang nirbatas,

2. Viññânañcâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat dutiya-arûpajhâna yang berobjek pada kesadaran yang nirbatas,

3. Âkiñcaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang
berhasil meraih meditasi tingkat tatiya-arûpajhâna yang berobjek pada
kehampaan,

4. Nevasaññânasaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat catuttha-arûpajhâna yang berobjek pada bukan ingatan bukan pula tanpa-ingatan.

Sabtu, 20 November 2010

CERITA JATAKA VIDHURA YANG BIJAK

Permaisuri Naga Mahukan Jantung Vidhura
Pada suatu masa, Bodhisatta kita dilahirkan sebagai seorang yang sangat bijak, bernama Vidhura Pandita, di dalam bandar Indapatta, dalam negeri Kuru yang diperintah oleh raja bernama Dhananjaya. Vidhura Pandita sungguh bijak mengajar ajaran-ajaran yang mulia kepada orang ramai dan semua raja dari Jambu-dipa datang untuk mendengar khutbahnya.
Suatu hari, empat orang pertapa turun dari Gunung Himalaya untuk meminta sedekah di Kala-campa, dalam negeri Amga. Empat orang penduduk di situ nampak pertapa itu dan merasa senang hati dengan keadaan rupa paras pertapa-pertapa itu. Mereka memberi makanan dan membina tempat tinggal untuk pertapa-pertapa itu di dalam taman mereka. Selesai makan, pertapa-perapa itu pergi dari situ untuk meneruskan penghijrahan dan amalan mereka. Seorang daripada mereka pergi ke Syurga Tiga Puluh Tiga Dewa-Dewa, seorang pergi ke alam Naga-Naga, yang seorang lagi ke alam Supannas (pari burung-burung), dan yang keempatnya pergi ke taman Migacira kepunyaan Raja Dhananjaya.
Sekembalinya dari sana, tiap-tiap orang pertapa itu bercerita tentang perkara-perkara yang mengkagumkan di tempat-tempat yang mereka lawati. Keempat-empat orang biasa tadi mempunyai hasrat supaya ia dilahirkan semula di tempat-tempat itu. Mereka membuat berbagai-bagai amalan seperti bersedekah; dan setelah mereka mati, salah seorang daripadanya dilahirkan sebagai Raja Sakka, seorang dilahirkan di alam Naga, seorang lagi dilahir semula di dalam istana Raja Supanna dan yang keempat sebagai putera Raja Dhananjaya. Keempat-empat pertapa dilahirkan semula di dunia Brahma.
Putera Raja Dhananjaya juga bernama Dhananjaya. Selepas Raja mangkat, Putera Dhananjaya menjadi raja. Baginda merupakan raja yang baik dan termasyhur kerana kemahiran baginda bermain buah dadu. Baginda mengikut kata-kata nasihat Vidhura Pandita. Baginda memberi sedekah, mematuhi Sila dan mengamalkan Sila pada hari Uposatha. Pada suatu hari Uposatha, Raja pergi ke taman untuk bertafakur ,Raja Sakka mendapati diri baginda tidak dapat bersemadi di syurga lalu turun ke taman itu. Varuna, raja Naga juga tidak dapat bertafakur di alam Naga dan datang ke taman yang sama. Dan Raja Supana juga turun untuk bersemadi di taman raja itu. .
Apabila senja menjelang, keempat-empat mereka tadi bangun dari tempat duduk masing-masing dan berdiri di pinggir tasik diraja. Mereka memandang antara satu sama lain dengan penuh kasih sayang, kerana mereka telah bersahabat baik sebelum itu. Raja Sakka memulakan perbualan, "Kita adalah empat orang raja sekarang, apakah kebaikan yang paling unggul dan mumi daripada setiap orang daripada kita ini ?"
Varuna, raja Naga menjawab, "Raja Supanna ini musuh kami. Tetapi bila beta memandangnya, beta tidak menaruh apa-apa kemarahan. Oleh itu kebaikan betalah yang paling unggul."
Mendengar kata-kata Raja Naga, Raja Supanna berkata, "Naga adalah makanan utama beta; tapi walaupun beta nampak makanan itu di sana, beta menahan kelaparan dan tidak membunuhnya untuk dijadikan makanan. Oleh itu kebaikan betalah yang paling finggi. "
Kemudian Raja Sakka pula menyambungi "Beta meninggalkan segala-gala yang gemilang di syurga, dan turun ke dunia untuk berbuat baik. Oleh yang demikian, kebaikan betalah yang paling agung."
Akhimya Raja Dhananjaya berkata: "Hari ini beta meninggalkan istana serta enam belas ribu gadis-gadis penari untuk menjadi pertapa di taman ini. Dengan itu, kebaikan betalah yang paling murni.
"Jadi tiap-tiap orang raja itu mengaku kebaikan diri mereka masing-masing yang paling agung. Mereka bertanya Raja Dhananjaya, "0 Raja! Adakah sesiapa yang bijak di istana ini yang boleh menyelesaikan masalah kita ?"
" Ya, sahabatku. Saya mempunyai Vidhura Pandita yang boleh menyelesaikan kesangsian kita; kita akan ke tempatnya," kata Raja Dhananjaya.
Keempat-empat raja itu pun pergi berjumpa Vidhura Pandita serta mengemukakan masalah mereka. Selepas mendengar keterangan daripada mereka, Vidhura menerangkan kebaikan setiap orang daripada mereka itu adalah satu dan sama saja. Raja-raja itu sungguh gembira dengan jawapannya. Raja Sakka menghadiahkan sehelai jubah sutera yang sangat indah kepada Vidhura. Raja Supanna memberinya kalungan bunga keemasan. Raja Varuna pula memberi sebiji permata dan Raja Dhananjaya menghadiahkan seribu ekor lembu dan barang-barang lain.
Apabila permaisuri Raja Naga, Vimala, melihat permata yang dipakai di leher suaminya sudah tiada lagi, baginda bertanyakan suaminya ke manakah permata itu. Raja menerangkan bahawa baginda sungguh suka hati dengan Vidhura Pandita lalu memberi kepadanya. Setelah permaisuri mendengar tentang keagungan Vidhura Pandita daripada raja, baginda juga berniat hendak mendengar khutbah beliau.
Selepas itu Permaisuri berfikir, "Kalau beta memberitahu raja beta hendak mendengar Vidhura Pandita berkhutbah berkenaan Dhamma, dan menyuruh Vidhura dibawa ke mari, mungkin baginda tidak akan membawanya ke mari. Lebih baik beta berpura-pura gering." Dengan itu baginda pun berbaring di atas katil berpura-pura gering.
Apabila Raja tidak melihat Permaisuri, baginda bertanya kalau apa-apa yang tak kena. Dayang-dayang menyatakan permaisuri sedang gering. Raja segera pergi ke tempat permaisuri sedang berehat dan bertanya tentang kegeringannya. Permaisuri menyatakan baginda inginkan jantung Vidhura dan akan mati jika tidak mendapatnya.
Raja Varuna mempunyai seorang puteri yang cantik bernama Irandati. Raja menyuruh puteri mencari seorang suami yang dapat membawa jantung Vidhura Pandita kepada baginda. Dengan itu puteri pergi memetik bunga di Gunung Himalaya dan menaburkannya di atas tanah. Kemudian, dia menari dan menyanyi dengan merdu sekali sambil berkata, "Siapa yang menjadi suamiku, aku akan buatkan dia amat bahagia !"
Pada ketika itu, seorang jeneral bernama Punnaka sedang menunggang kuda melalui tempat itu. Jeneral itu ialah anak saudara kepada Raja Vessavana yang agung itu. Semasa dia melalui Gunung Hitam, Punnaka terdengar dendangan puteri Irandati. Suara puteri itu meresap masuk ke dalam kulitnya hinggalah ketulangnya kerana dia pemah mendengar suara itu dalam kehidupannya yang lampau. "0 Puan ! Usahlah risau. Saya akan membawa jantung Vidhura untukmu."
Punnaka tidak berani hendak pergi mendapatkan jantung Vidhura tanpa kebenaran Raja Vessavana. Punnaka pergi berjumpa Raja tetapi pada saat itu Raja sedang sibuk menyelesaikan pergaduhan di antara dua dewa. Raja Vessavana tidak mendengar apa yang Punnaka katakan. Kemudian raja bertitah kepada salah satu daripada dewa-dewa itu, "Pergilah kamu tinggal di dalam istanamu."Apabila Punnaka mendengar perkataan "kamu pergilah", dia berpura-pura seolah-olah raja membenarkan dia pergi. Maka dia pun menunggang kuda ajaibnya pergi dari situ.
Ketika dalam penerbangannya ke udara, dia berfikir, "Vidhura Pandita mempunyai ramai pengikut, tentu dia tidak boleh diambil dengan paksaan; tetapi Raja Dhananjaya tekenal dengan kemahiran baginda dalam
perjudian. Saya akan mengalahkan baginda dan mengambil Vidhura Pandita. Saya akan membawa sebiji permata kepunyaan pemerintah dunia. Tentu raja itu mahukannya." Punnaka kemudiannya menyamar diri menjadi seorang Brahmin yang bernama Kaccayana dan pergi mengadap Raja Dhananjaya.
Punnaka mempunyai seekor kuda ajaib. la boleh terbang dan lari dengan sungguh pantas, dan apabila Punnaka menghulurkan tangannya, kuda itu dapat berdiri di atas tapak tangannya. Raja Dhananjaya lebih berminat kepada permata ajaib itu. Bermacam-macam benda boleh dilihat di dalamnya- orang-orang, binatang-binatang, alat-alat muzik, gunung-ganang dan sebagainya.
Kata Punnaka, "0 Tuanku! Jika Tuanku menang dalam perjudian dengan patik, patik akan memberi permata ajab ini kepada Tuanku. Tetapi apakah yang Tuanku akan beri sekiranya patik menang ?"
"Beta akan memberi apa saja yang kamu pinta, kecuali badan dan payung putih beta." jawab Raja.
Akhimya Raja dan Punnaka masuk ke dewan perjudian dan mengeluarkan sebuah meja perak serta sebiji dadu emas. Bonda kepada raja itu adalah dewi yang menjaga baginda. Dewi ini menolong baginda supaya memenangi permainan itu. Apabila Punnaka sedar bonda raja itu sedang menggunakan kuasanya untuk menolong baginda, dia mencelikkan matanya dengan luas seperti orang yang marah dan memandang kepada dewi itu. Dewi itu menjadi takut dan terus berundur dari situ. Oleh yang demikian, raja pun kalahlah dalam perjudian yang menggunakan buah dadu itu.
Vidhura Dan Yakkha
Setelah Raja Dhananjaya kalah kepada Punnaka dalam perjudian yang. menggunakan buah dadu itu, baginda bertanya apakah hadiah yang Punnaka mahu. Jawab Punnaka, dia mahukan menteri baginda, Vidhura Pandita. Raja sungguh terperanjat dan berkata, "Dia adalah menteri beta yang tidak boleh dibandingkan dengan harta benda !"
"Adakah kamu ini hamba atau kerabat diraja?" Punnaka menyoal Vidhura. Vidhura menjawab, bahawa dia adalah hamba raja dan boleh diberi kepada sesiapa saja. Oleh itu Punnaka pun mengambilnya. Tetapi sebelum meninggalkan negerinya, Vidhura meminta izin untuk berkhutbah kepada isteri-isteri dan anak-anaknya terlebih dahulu. Pada hari ketiga, setelah habis memberi tunjuk ajar dan nasihat kepada keluarganya, dia dengan tenangnya mengikuti Punnaka.
Kemudian Vichura pergi mengadap raja untuk mengucapkan selamat tinggal. Raja amat sedih dan hiba kerana Vidhura terpaksa pergi. "Beta akan menghantar seorang Brahmin muda untuk melakukan sesuatu, kemudian kita akan membunuh Punnaka." Tetapi Vidhura menasihati raja, bahawa seseorang raja tidak patut membuat pekerjaan yang keji seperti itu. Akhirnya Punaka pun membawa Vidhura pergi dari situ.
Punnaka memandang Vidhura lalu berkata, "Kamu sekarang ini sedang mengorak langkah daripada hidup kepada mati; perjalanan yang jauh sedang menunggumu. Peganglah ekor kuda ajaibku; kamu tidak akan dapat melihat dunia manusia lagi.
Jawab Vidhura, "Saya tidak takut kepada sesiapapun sebab saya tidak pernah mengkhianati sesiapa sama ada dengan cara pemikiran, percakapan atau perlakuan saya. Oleh itu, tiada sesiapapun yang boleh mengkhianati saya ". Kemudian dia pun memegang ekor kuda itu. Dengan keadaan demikian, mereka berkuda di angkasa menuju ke Gunung Hitam. Vidhura tidak pun tercedera disebabkan oleh pokok-pokok atau batu-batu.
Punnaka seterusnya cuba menakutkan Vidhura. Dia menjelma dirinya. menjadi hantu, tetapi Vidhura tidak takut sedikit pun. Kemudian dia bertukar menjadi singa, kemudian menjadi seekor gajah; selepas itu menjadi seekor ular yang sangat besar. Vidhura. masih juga tidak gentar. Punnaka cuba pula membuat
angin yang bertiup kencang, tetapi Vidhura tetap membisu. Lepas itu dia meletakkan Vidhura di atas puncak gunung dan menukar dirinya menjadi seekor gajah yang amat besar. Dia menggegarkan dan menggoyang gunung itu dari kiri ke kanan, dan dari kanan ke kiri tak ubah seperti sebatang pokok palma. Namun demikian Vidhura tidak takut. Seterusnya Punnaka masuk ke dalam gunung itu dan membuat suatu bunyi yang sungguh kuat dan menakutkan; tetapi semua usahanya gagal untuk menakutkan Vidhura.
Dia terlintas suatu fikiran, "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!" Dia menangkap Vidhura, sambil berdiri di atas kemuncak gunung itu, Punnaka menghayun Vidhura dalam keadaan kepalanya ke bawah. Semasa ianya dihayun sedemikian, Vidhura menyoal Punnaka, "Apakah sebabnya maka kamu hendak membunuh saya ?" Selepas sebab-musababnya diberitahu, Vidhura pun fahamlah bahawa kata-kata Permaisuri itu telah disalah tafsir. Permaisuri itu bukannya inginkan jantung di dalam badan Vidhura. Apa yang baginda mahukan ialah jantung kebijaksanaannya.
Vidhura meminta Punnaka mendengar dia berkhutbah terlebih dahulu. Selepas itu dia rela memberi jantungnya. Setelah Punnaka mendengar khutbah Vidhura, dia menyedari tentang kejahatan yang telah dilakukannya. Lantarannya dia telah membebaskan Vidhura. Walau bagaimanapun Vidhura tidak terus pulang ke negerinya. Sebaliknya dia menyuruh Punnaka membawanya ke alam naga untuk membetulkan segala sangkaan yang salah itu.
Punnaka membawa Vidhura berjumpa Raja Naga. Vidhura berdiam diri sahaja, dan Raja Naga sangkakan dia takut. Tetapi Vidbura menjelaskan, dia tidak takut walaupun kepada mati. Vidhura seterusnya bertanya Raja Naga, sama ada baginda tahu bagaimana baginda boleh dilahirkan dalam dunia yang penuh kegembiraan, dengan berbagai-bagai perkara yang gilang-gemilang. Raja Naga menerangkan baginda telah membuat amalan-amalan yang baik di masa silam. "Semasa kami menjadi manusia dulu," kata raja, "isteri beta dan beta sendiri hidup dengan penuh keimanan. Kami menjaga sami-sami dan Brahmin di rumah kami. Kami menghadiahkan bunga malai, air wangi, ubat-ubatan, lampu-lampu, kerusi-kerusi, tempat-tempat berehat, kain baju, katil-katil, makanan dan minuman. Disebabkan pemberian itulah kami dilahirkan di alam Naga dan di istana yang indah permai ini.
"Oleh itu Tuanku patutlah meneruskan amalan baik itu supaya Tuanku akan dapat tinggal di istana lagi."
"Tetapi di sini tiada sami atau Brahmin yang mana beta boleh memberi sedekah,"jawab Raja.
"Naga-naga di sini mempunyai anak-anak dan isteri-isteri mereka. Hindarilah daripada melakukan kejahatan terhadap mereka, sama ada dari segi perlakuan atau percakapan. Dengan itu Tuanku akan tetap di sini sepanjang hayat; dan selepas mangkat, akan pergi ke dunia dewa-dewa.
Raja Naga sungguh suka hati mendengar ajaran Vidhura itu. Fikir baginda, "Beta akan membawanya kepada Vimala dan biarkan dia mendengar nasihat-nasihatnya." Apabila Vimala melihat Vidhura, baginda menyembah memberi hormat. Alangkah bahagianya hati baginda ketika itu. Vidhura berkhutbah kepada permaisuri Vimala. Selepas itu ia berkata, "Usahlah risau, 0 Naga! Saya sudah ke mari untuk apa jua pun puan hendak guna badan patik, atau jantung dan daging patik, patik sedia menyerah diri dan akan menurut segala hasrat puan."
"Kebijaksanaanmu laksana jantung bagi orang-orang yang arif," kata Raja Naga. "Kami sungguh bahagia hari ini kerana kebijaksanaanmu. Biarlah orang yang membawa tuan ke mari mendapatkan bakal isterinya dan membawa tuan pulang ke negeri Kuru hari ini juga. "
Pada awal pagi, hari yang sama. Raja Dhananjaya bermimpi. Mimpi baginda begini: Di pintu istana raja terdapat sebatang pokok besar yang mana dahannya umpama kebijaksanaan, rantingnya umpama
kebaikan, serta buah-buahnya terdiri daripada lima hasil tenusu (susu, minyak sapi, dadih susu, mentega dan susu cair yang lemaknya telah diasingkan)
Pokok ini ditutup dengan gajah-gajah, kuda-kuda yang dihiasi dengan kain-kain penutup yang indah-indah. Ramai orang yang datang menyembahnya dengan penuh hormat. Tiba-tiba datang seorang berkulit hitam memakai kain merah, subang yang terdiri daripada bunga merah, membawa senjata di tangannya lalu menebang pokok itu di umbinya. Orang ramai merayu supaya jangan dipotong pokok itu, tetapi tidak dihiraukannya. Kemudian diheretnya pokok itu pergi dari situ.
Raja Dhananjaya tahu maksud mimpi baginda. Vidhura diibaratkan sebagai pokok itu dan Punnaka orang yang memotongnya. Raja menitahkan rakyat jelata berkumpul di dalam Dewan Kebenaran menunggu kepulangan Vidhura Pandita dan Punnaka. Apabila Vidhura tiba. Raja menyuruh beliau duduk berhampiran dengan pintu di tengah-tengah majlis perhimpunan di dalam Dewan Kebenaran itu. Kemudian Punnaka dan Puteri Irandati meninggalkan mereka untuk pulang ke kota mereka di kayangan.
Setiap orang sangat sukahati dapat bertemu dengan Vidhura Pandita semula. Raja bertanya kepada Vidhura, "Bagaimana Brahmin muda itu boleh melepaskan kamu?" Lalu diterang oleh Vidhura segala apa yang telah berlaku:
"O Tuanku! Orang yang tuanku katakan orang muda itu bukannya sembarangan orang. Beliau ialah Punnaka, menteri kepada Raja Vessanvana. Punnaka mencintai puteri Irandati, iaitu puteri Raja Naga yang bernama Varuna. Dia bercadang hendak membunuh patik untuk mendapatkan puteri yang dicintainya itu. Sekarang dia sudah pun beristerikan puteri idamannya itu. Patik dibenarkan pulang. Raja Naga pula memberi permata baginda kepada patik." Vidhura juga menjelaskan bagaimana Raja Naga tersalah faham akan kehendak permaisuri yang sebenarnya. Bukannya jantung daripada badan Vidhura yang dikehendaki baginda; tetapi kebijaksanaan serta khutbah Vidhura yang baginda ingin mendengamya.
Raja beserta sekalian rakyat begitu gembira sekali, sehinggakan mereka mengadakan perayaan sebulan lamanya. Bodhisatta berkhutbah kepada Raja dan sekalian orang dengan menyuruh mereka melakukan perbuatan yang baik serta memberi sedekah. Selepas raja mangkat, baginda dilahirkan di syurga dewa-dewa.
Jika seseorang mendampingi dan mengikuti orang bijak yang sudi membetulkan kesalahannya,
diumpamakan dia telah menjejakkan langkah ke khazanah.
Dia akan mendapat keuntungan dan bukannya kerugian.
( Dhammapada, ayat 76 )
Orang yang bijak harus menasihati orang lain,
memberi tunjuk ajar demi mencegah mereka melakukan kejahatan.
Ia dipandang mulia oleh orang baik-baik, sebaliknya dicemuhi oleh orang yang jahat.
( Dhammapada, ayat 77 )

Selasa, 16 November 2010

KISAH CANDA KUMARA

Pada zaman silam, di Pupphavatia, ada seorang raja bernama Ekaraja dan puteranya bernama Canda Kumara. Sami bagi keluarga ini ialah seorang Brahmin bernama Khandahala. Dia sangat dihormati oleh raja. Suatu hari raja melantiknya menjadi hakim. Tetapi dia tidak amanah dan banyak menerima rasuah. Pada suatu hari seseorang telah kalah dalam perbicaraannya, walaupun setelah dia memberi rasuah kepada Khandahala. Ketika dia sedang berjalan keluar daripada mahkamah, dia bertemu Putera Canda dan merayu agar putera itu menolongnya.
Putera Canda membawa orang itu kembali ke dalam mahkamah. Kali ini orang itu menang dan mendapat balik semua hartanya. Orang ramai sangat gembira dengan keputusan itu. Mereka bersorak dan bertepuk tangan. Apabila berita ini sampai ke pengetahuan raja, baginda melantik Putera Canda menjadi hakim. Sementara itu Khandahala menjadi semakin miskin kerana tidak lagi dapat menerima rasuah. Dia mula membenci Putera Canda.
Raja Ekaraja bukanlah seorang yang bijak. Pada awal suatu pagi, ketika bangun dari peraduannya, baginda ternampak Syurga Tiga Puluh Tiga Dewa-Dewa dengan segala kegemilangannya. Baginda ingin benar hendak ke sana. "Beta mesti bertanya kepada Khandahala bagaimana hendak ke sana." Inilah peluang yang Khandahala nanti-nantikan. Dia menyembah kepada raja, "Tuanku mestilah memberi banyak hadiah dan membunuh yang tidak patut dibunuh."
Raja bertanya Khandahala apa yang dimaksudkannya. Jawab Brahmin itu, "Tuanku, Tuanku mestilah mengorbankan empat putera, empat permaisuri, empat saudagar yang kaya, empat ekor lembu jantan dan empat ekor kuda." Khandahala berfikir, "Kalau saya mengambil Canda Kumara seorang sahaja, semua orang akan tahu saya membencinya." Oleh itu Khandahala menempatkan Putera Canda bersama-sama dengan orang-orang lain dan binatang-binatang untuk dibunuh.
Khandahala menyuruh raja megumpulkan semua orang dan binatang itu untuk dikorbankan. Sebuah lubang besar digali untuk upacara ini. Apabila orang ramai mendengar tentang pengorbanan yang dahsyat ini, mereka menjadi takut. Tetapi raja mempercayai kata-kata Brahmin yang jahat itu. Baginda bertitah, "Dengan mengorbankan anak-anak dan isteri beta, beta akan dapat pergi ke syurga dewa-dewa."
Raja menitahkan askar-askar membawa Putera Canda. Apabila putera itu diberitahu semuanya adalah rancangan jahat Khandahala, dia pun tahulah pengkhianat itu sebenarnya hendak membunuhnya seorang sahaja. Semua orang yang hendak dikorbankan telah pun dibawa ke tempat yang disediakan. Orang ramai merayu agar raja tidak membunuh mereka, tetapi raja enggan mendengar segala nasihat. Bonda raja merayu;
"Mengorbankan putera-puteramu tidak akan membawamu menikmati kebahagiaan di syurga; Usahlah mendengar tipu helah; inilah sebenarnya jalan ke neraka."
Ayahanda raja juga meminta raja supaya jangan melakukan pengorbanan itu, tetapi raja tidak mendengarnya.
Kemudian Putera Canda merayu kepada ayahandanya:
"Biarlah kami menjadi hamba Khandahala, tapi janganlah ambil nyawa kami, Dalam keadaan berantai, kami akan menjaga kuda-kuda dan gajah-gajahnya, jika itu yang diingini."
"Biarlah kami menjadi hamba Khandahala, tapi janganlah mengambil nyawa kami, dalam keadaan berantai kami akan bersihkan kandang-kandang kudanya, atau perkarangan rumahnya, jika itu yang dikehendaki."
"Serahlah kami untuk menjadi hamba Khandahala atau pun ke tangan sesiapa malah, atau biarkan kami membawa diri ke mana saja meminta sedekah."
Apabila mendengar rayuan puteranya, raja sungguh sedih hati dan dengan air mata yang bercucuran, baginda berkata, "Tiada siapapun yang akan membunuh.putera-putera beta, beta tidak perlu pergi ke syurga dewa-dewa!" Dan baginda pun bertitah supaya mereka dibebaskan.
Waktu itu, Khandahala yang sedang menggali lubang untuk upacara korban itu mendengar raja hendak melepaskan kesemua tahanan itu. Dengan segera dia pergi mengadap raja dan berkata, "Patik sudah pun berkata kepada tuanku adalah amat sukar untuk membuat pengorbanan ini. Mengapakah tuanku berhenti bila kita baru saja mula?" Raja yang bodoh itu mendengar kata-kata Khandahala, sekali lagi menitahkan orang-orang membawa tahanan itu.
Putera Canda sekali lagi meminta raja supaya jangan jadi bodoh:
"Lihatlah burung-burung yang membina sarang-sarang dan menyanyi sepanjang hari,
Mereka sayangkan anak-anak mereka dan Tuanku, adakah Tuanku akan membunuh kami?
Adakah Tuanku fikir Brahmin kejam itu akan melepaskan nyawa tuanku selepas membunuh kami?
Giliranmu akan tiba, 0 Tuanku ! Bukan patik seorang yang akan mati. "
Sekali lagi raja bersedih dan membebaskan mereka semua. Tetapi Brahmin jahat itu berjaya memujuk baginda supaya meneruskan rancangannya. Kali ini, apabila Putera Canda merayu lagi, baginda tidak menghiraukannya. Putera Canda kemudiannya meminta tolong kepada orang-orang yang berada di situ, tetapi mereka takut hendak bersuara. Kemudian Putera Canda menyuruh isterinya merayu kepada raja dan Khandahala supaya jangan membunuh mereka. Raja tidak menghiraukan permintaan mereka.
Putera kepada Canda, Vasula, melihat penyeksaan yang dialami oleh ayahandanya. Dengan langkah yang lemah, Vasula pergi mengadap raja,
"0 bebaskanlah ayahanda saya. Janganlah biarkan saya yang masih kanak-kanak tinggal keseorangan."
Raja merasai seolah-olah jantungnya terbelah dua. Dengan air mata yang berlinangan, dia memeluk cucunya itu dan berkata, "Baiklah, cucunda, nenenda akan beri ayahandamu padamu." Khandahala sekali lagi memberi amaran pada Raja dan sekali lagi Raja menurutnya. Kali ini Khandahala membawa semua tahanan itu ke dalam lubang yang telah digalinya, supaya raja tidak boleh lagi menukar fikirannya.
Semua orang di Pupphavati menangis kerana terlalu sedih. Mereka hendak pergi melihat upacara korban itu, tetapi tidak dapat keluar kerana pintu pagar tidak cukup besar. Khandahala mengarahkan supaya semua pintu-pintu ditutup. Mereka dikurung di dalam kota itu dan menangis kesedihan. Bonda kepada Raja, Permaisuri Gotami, meminta raja membatalkan upacara itu tetapi tidak mendapat jawapan. Baginda kemudiannya menyuruh keempat-empat orang isteri Putera Canda membuat rayuan kepada Raja tetapi tidak juga berhasil. Permaisuri Gotami kemudiannya mula memaki hamun Khandahala.
Berkali-kali mangsa itu merayu supaya raja tidak membunuh mereka, namun raja tidak pedulikan permintaan mereka. Lubang yang digali sudahpun siap. Mereka membawa Putera Canda ke tempat yang disediakan di lubang itu. Khandahala memegang mangkuk emasnya dan mengambil sebilah pedang.
Sambil berdiri di situ dia berkata, "Saya akan memotong lehernya!" Apabila Permaisuri pertama Putera Canda, iaitu Permaisuri Canda, melihat apa yang sedang terjadi, dia mengangkat tangannya menyembah seraya berkata:
"Semoga segala roh-roh di tempat ini - hantu, syaitan dan pari- mendengar kata-kataku ini, Buatlah apa yang aku suruh, kembalikanlah Tuanku kepadaku ! "
"0 dewa-dewa dan dewi-dewi yang berada di sini, aku sujud di kakimu,
Lindungilah aku, dengarlah rayuanku yang tak terdaya ini !"
Raja Sakka, raja kepada segala dewa-dewa mendengar tangisan seta rayuan Permaisuri Canda. Raja Sakka juga nampak apa yang sedang berlaku. Baginda mengambil sebilah tukul besi panas yang merah menyala, mengugut Raja Ekaraja serta menyuraikan orang ramai yang sedang berkumpul di situ. Kemudian Raja Sakka menyuruh raja membebaskan semua tahanan dan menghukum Khandahala kerana kekejamannya.
Orang ramai membunuh Khandhala. Mereka juga hendak membunuh Raja Ekaraja tetapi dilarang oleh Raja Sakka. Sungguh pun mereka tidak membunuh raja itu, tetapi mereka berkata, "Kami tidak mahu dia memerintah atau tinggal di kota ini, kami akan menghalaunya, biar dia tinggal di luar kota." Selepas Ekaraja dibawa ke luar kota, mereka melantik Canda Kumara menjadi raja baru. Raja Canda memberi segala keperluan yang diperlukan oleh Ekaraja, tetapi dia tidak dibenarkan masuk ke kota itu lagi. Waktu Raja Canda keluar dari kota Ekaraja akan ikut bersamanya. Tetapi Ekaraja tidak mahu menggunakan tangannya untuk memberi hormat kepada Raja Canda kerana, fikirnya, dia masih menjadi raja di situ. Dia hanya berkata, "Lanjut usiamu, 0 Tuan !" Raja Canda memberi segala apa yang diminta oleh ayahandanya.

Senin, 15 November 2010

Sigalovada Sutta (KOTBAH UNTUK PERUMAH TANGGA)

Demikianlah yang telah kudengar:

Pada suatu hari Sang Bhagava bersemayam di dekat Rajagaha di Veluvana di Kalandakanivapa. Pada waktu itu Sigala yang muda belia, putera seorang kepala keluarga, bangun pagi-pagi sekali, pergi keluar Rajagaha. Dengan rambut dan pakaian basah ia mengangkat tangan yang dirangkap, menyembah berbagai arah bumi dan langit: Timur, Selatan, Barat, Utara, Bawah dan Atas.

Pada pagi itu Sang Bhagava setelah berkemas pagi-pagi sekali dengan mengenakan jubah dan membawa mangkok memasuki Rajagaha untuk Pindapata. Ketika Beliau melihat Sigala yang muda belia sedang memuja, Beliau bertanya:

"Kepada keluarga yang muda belia, mengapa engkau bangun pagi-pagi dan meninggalkan Rajagaha dengan rambut dan pakaian basah, serta memuji berbagai arah bumi dan langit?"

"Bhante, ayah hamba ketika mendekati ajalnya, telah berpesan kepada hamba: 'Ananda yang baik, engkau harus menyembah berbagai arah bumi dan langit'. Demikian Bhante, karena menghormati kata-kata ayah hamba, mengindahkannya, menjunjungnya, menganggap suci, maka hamba bangun pagi-pagi sekali, meninggalkan Rajagaha dan memuja secara demikian."

"Tetapi dalam agama seorang Ariya, wahai kepala keluarga yang muda belia, enam arah itu seharusnya tidak disembah secara demikian."

"Bagaimanakah, Bhante, dalam agama seorang Ariya, enam arah itu harus disembah? Alangkah baiknya, Bhante, jika Sang Bhagava berkenan mengajarkan sebuah ajaran yang membentangkan cara bagaimana enam arah itu harus disembah dalam agama seorang Ariya. "

"Dengarkanlah, kepala keluarga yang muda belia, perhatikanlah kata-kata kami, dan kami akan berbicara"

"Baiklah, Bhante," jawab Sigala yang muda belia.

"Sedemikian jauh, siswa Yang Ariya telah menyingkirkan empat cacat dalam tingkah laku, duhai kepala keluarga yang muda belia. Sebegitu jauh ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat karena empat dorongan, sebegitu jauh ia tidak mengejar enam saluran yang menelan kekayaan. Demikianlah ia menjauhkan
diri dari empat belas cara jahat, dia itu pelindung enam arah, ia telah terlatih sedemikian rupa untuk menaklukkan kedua alam, ia telah terjamin untuk alam sini dan alam sana. Pada saat hancurnya badan jasmani setelah mati, ia akan menitis dalam kehidupan bahagia di Surga.

Apakah empat cacat dalam tingkah laku yang telah ia singkirkan? 1.Membunuh, 2.mencuri, 3.kecabulan, dan 4.kata-kata dusta. Inilah empat cacat dalam perilaku yang telah ia singkirkan."

Setelah Sang Bhagava bersabda demikian, kemudian Beliau bersabda pula:

"Penjagalan kehidupan, pencurian, berdusta, perzinaan; untuk semuannya itu tidak sepatahpun kata pujian diberikan oleh Sang Bijaksana.

Apakah empat dorongan yang membuat orang melakukan perbuatan jahat? Perbuatan jahat dilakukan atas dorongan: 1.Nafsu, 2.kebencian, 3.kebodohan, 4.ketakutan. Siswa Ariya tidak tersesat oleh dorongan-dorongan ini; ia tidak melakukan perbuatan jahat karena dorongan ini."

Setelah Sang Bhagava bersabda demikian, kemudian Beliau bersabda pula:

"Barang siapa melanggar Dhamma, karena nafsu atau kebencian, kebodohan, dan ketakutan, maka nama baiknya akan menjadi suram. Barang siapa yang belum pernah melanggar Dharmma karena nafsu atau kebenciaan, kebodohan, dan ketakutan, maka namabaik akan menjadi penuh dan sempurna, bagaikan rembulan dalam masa purnama siddhi.

Apakah enam saluran untuk menghamburkan kekayaan?

1. Ketagihan minum-minuman yang memabukkan;
2. Sering berkeluyuran di jalan pada waktu yang tidak tepat
3. Mengejar tempat-tempat pelesiran;
4. Gemar berjudi;
5. Mempunyai pergaulan yang buruk;
6. Kebiasaan menganggur.

Terdapat enam bahaya, duhai kepala keluarga yang muda belia, terhadap ketagihan pada minum-minuman yang memabukkan:

1. Kehilangan harta;
2. Bertambahnya percekcokan;
3. Mudah terkena penyakit;
4. Kehilangan watak yang baik;
5. Menampakkan diri secara tidak pantas;
6. Melemahkan daya pikir atau kecerdasan.

Terdapat enam bahaya, duhai kepala keluarga yang muda belia, karena berkeluyuran pada waktu yang tidak tepat:

1. Diri sendiri tanpa penjagaan dan perlindungan
2. Anak isteri tiada penjagaan dan perlindungan
3. Harta bendanya tiada penjagaan dan perlindungan
4. Lebih jauh lagi ia dituduh melakukan berbagai tindakan kejahatan (yang belum jelas).
5. Menjadi sasaran segala macam desas-desus;
6. Ia akan mengalami banyak kesulitan.

Terdapat enam bahaya, duhai kepala keluarga yang muda belia, dari mencari tempat-tempat pelesiran. Ia akan terus menerus berpikir:

1. Di manakah ada tari-tarian?
2. Di manakah ada nyanyi-nyanyian?
3. Di manakah ada musik?
4. Di manakah ada pertunjukan?
5. Di manakah ada gendang dan tambu?
6. Di manakah ada bunyi-bunyian?

Terdapat enam bahaya, duhai kepala keluarga yang muda belia, bagi orang yang
gemar berjudi:

1. Jika menang, ia memperoleh kebencian;
2. Jika kalah, ia tangisi harta bendanya yang telah hilang;
3. Hartanya yang nyata dihamburkan;
4. Di pengadilan kata-katanya tidak berharga;
5. Dipandang rendah oleh sabahat-sahabat dan pejabat-pejabatPemerintah.
6. Ia tidak disukai oleh orang-orang yang mencari menantu laki-laki, karena mereka akan berkata: 'Seorang   
    penjudi tidak akan sanggup memelihara isterinya'.

Terdapat enam bahaya, duhai kepala keluarga yang muda belia, dari pergaulan buruk:

1. Setiap penjudi merupakan sahabat dan kawannya;
2. Setiap pemogok merupakan sahabat dan kawannya;
3. Setiap pemabuk merupakan sahabat dan kawannya;
4. Setiap penipu merupakan sahabat dan kawannya;
5. Setiap tukang memperdayai merupakan sahabat dan kawannya;
6. Setiap tukang berkelahi merupakan sahabat dan kawannya.

Terdapat enam bahaya, duhai kepala keluarga yang muda belia, dari kebiasaan menganggur:

1. Ia berkata: 'Terlalu dingin' dan ia tidak bekerja;
2. Ia berkata: 'Terlalu panas' dan ia tidak bekerja;
3. Ia berkata: 'Terlalu pagi' dan ia tidak bekerja;
4. Ia berkata: 'Terlalu siang' dan ia tidak bekerja;
5. Ia berkata: 'Aku terlalu lapar' dan ia tidak bekerja;
6. Ia berkata: 'Terlalu kenyang' dan ia tidak bekerja;

Sedangkan apa yang harus dilakukan tetap tidak dikerjakan, harta baru tidak ia dapatkan, dan hartanya yang ada menjadi habis."

Setelah Sang Bhagava bersabda demikian, kemudian Sang Buddha bersabda pula: "Beberapa sahabat memuji kawan minum. Beberapa orang mengatakan sahabat baik, sahabat baik. Akan tetapi, yang membuktikan dirinya sebagai kawanmu pada waktu bahaya, dialah yang benar-benar boleh dikatakan seorang sahabat."

"Tidur sewaktu matahari telah terbit dan perzinaan.Terlibat dalam perc ekcokan-percekcokan dan berbuat jahat. Bersahabat dengan orang-orang jahat dan berhati telengas. Inilah enam sebab yang menjadikan orang tergelincir.

Jika ia bersahabat dnegan berkawan dengan orang-orang jahat Mengatur hidupnya dengan cara jahat.Baik di alam ini maupun d alam sana. Orang itu akan terperosok dengan menyedihkan Berjudi dan wanita, minuman keras, tarian dan nyanyian. Tidur di waktu siang, berkeluyuran di waktu malam. Bersahabat dengan orang jahat, berhati telengas. Inilah enam sebab orang terjerumus (ke dalam penderitaan)

Berjudi dengan dadu, minum-minuman keras, ia pergi kepada wanita-wanita yang dicintai bagaikan diri sendiri oleh laki-laki lain.

Mengikuti mereka yang berpikiran gelap, bukan yang berpikiran sadar. Ia menjadi suram bagai bulan terbit dalam purnama tilam.

Peminum-peminum keras, pemiskin, melarat. Haus sewaktu minum, pengejar kedai minuman.
Bagaikan batu ia tenggelam ke dalam hutang-hutang.Cepat sekali ia membawa nista pada keluarganya.

Barang siapa mempunyai kebiasaan untuk tidur di waktu siang, memandang malam sebagai waktu untuk bangun. Orang yang selalu tidak bertanggung-jawab dan ada di isi dengan anggur. Tidak cakap untuk menjadi kepala keluarga. Terlalu dingin, terlalu panas, terlalu siang, demikian keluhan (yang diucapkan).

Demikian orang yang meloloskan dari pekerjaan yang menunggu. Kesempatan-kesempatan lewat untuk selama-lamannya. Akan tetapi, orang yang menganggap dingin, atau panas sebagai hal yang kecil. Ia tidak akan kehilangan kebahagiaannya dengan cara apapun juga.

Terdapat empat macam manusia, duhai kepala keluarga yang muda belia, yang harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabat, yaitu:

1. Orang yang sangat tamak;
2. Orang yang banyak bicara, tetapi tidak berbuat sesuatu;
3. Penjilat;
4. Pemboros.

Dari mereka ini, orang yang pertama disebutkan diatas, ada empat dasar untuk menganggap mereka sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabat, yaitu:

1. Sangat tamak;
2. Memberi sedikit meminta banyak;
3. Melakukan kewajibannya karena takut;
4. Hanya ingat pada kepentingannya sendiri.

Terhadap orang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat sesuatu atas empat alasan untuk dipandang sebagai musuh yang berpura-pura sebagai sahabat, yaitu:

1. Ia menyebutkan persahabatan di masa lampau;
2. Ia menyebutkan persahabatan untuk masa yang akan datang;
3. Ia berusaha mendapatkan kesayangan seseorang dengan kata-kata
kosong;
4. Jika ada kesempatan untuk memberikan jasa kepada seseorang, ia
menyatakan tidak sanggup.

Terhadap orang penjilat ada empat alasan untuk memandang mereka sebagai musuh yang berpura-pura sebagai sahabat, yaitu:

1. Ia menyetujui hal-hal yang salah dan
2. Menjauhkan diri dari hal-hal yang baik;
3. Ia memuji engkau dihadapan seseorang dan
4. Bicara buruk tentang diri seseorang dihadapan orang lain.

Terhadap orang pemboros ada empat alasan untuk memandang mereka sebagai
musuh yang berpura-pura sebagai sahabat, yaitu:
  1. Ia menjadi kawanmu, jika engkau menyerah pada minuman keras;
  2. Ia menjadi kawanmu, jika engkau berkeluyuran di jalanan pada waktu yang tidak tepat;
  3. Ia menjadi kawanmu, jika engkau mencari pertunjukan pentas dan tempat-tempat pelesiran;
  4. Ia menjadi kawanmu, jika engkau gemar berjudi."
Setelah bersabda demikian, kemudian bersabda pula:

"Sabahat yang selalu mencari sesuatu untuk diambil, sahabat-sahabat yang ucapannya berbeda dengan perbuatannya, sahabat yang menjilat dan membuat kamu senang dengan yang demikian. Kawan yang riang gembira dan dijalan sesat. Empat ini adalah musuh-musuh.

Demikianlah, setelah mengenal, biarlah orang bijaksana menghindar jauh dari mereka bagaikan jalan yang berbahaya dan menakutkan.

Ada empat jenis, duhai kepala keluarga yang muda belia, sahabat-sahabat yang harus dipandang sebagai sahabat dengan berhati tulus:

1. Penolong;
2. Sahabat di waktu senang dan susah;
3. Sahabat yang memberi nasihat yang baik;
4. Sahabat yang simpati.

Atas empat dasar sahabat yang menolong harus dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus, yaitu:

1. Ia menjaga dirimu sewaktu kamu tidak siap;
2. Ia menjaga milikmu sewaktu engkau lengah;
3. Ia menjadi pelindungmu sewaktu engkau sedang ketakutan;
4. Jika engkau melakukan tugas, ia memberikan bekal dua kali lipat
(dari yang kamu perlukan).

Atas empat dasar sahabat di waktu senang dan susah yang harus dipandang sebagai sahabat yagn berhati tulus, yaitu:

1. ia menceritakan rahasia-rahasia kepadamu;
2. ia tidak menceritakan rahasia itu kepada orang lain
3. didalam kesusahan ia tidak akan meninggalkanmu;
4. untuk membela dirimu, ia bersedia mengorbankan nyawanya.

Atas empat dasar sahabat yang menasihatkan apa yang harus engkau lakukan sebagai yang berhati tulus, yaitu:

1. ia mencegah engkau berbuat salah;
2. ia menganjurkan engkau berbuat yang benar
3. ia memberitahukan apa yang belum pernah engkau dengar
4. ia tunjukkan padamu jalan ke surga.

Atas empat dasar sahabat yang bersimpati harus dipandang berhati tulus:

1. Ia tidak merasa senang atas kesusahanmu;
2. Ia merasa senang akan kejayaanmu;
3. Ia cegah orang lain bicara jelek tentang dirimu;
4. Ia sanjung setiap orang yang memuji dirimu."

Setelah Sang Bhagava bersabda demikian, kemudian Sang Bhagava bersabda pula:

"Sahabat yang menjadi kawan penolong, sahabat pada waktu senang dan susah, sahabat yang memberikan apa yang engkau butuhkan dan ia yang menggetar dengan simpati untuk dirimu. Empat jenis sahabat ini adalah orang bijaksana yang harus dikenal sebagai sahabat dan kepada empat sahabat ini ia harus menyediakan dirinya bagikan seorang ibu terhadap anak kandungnya sendiri.

Orang bijaksana dan cerdas bercahaya bagaikan api yang berkobar-kobar. Ia yang mengumpulkan kekayaannya dengan cara tidak merugikan (makhluk lain), bagaikan kumbang yang menjelajah mengumpulkan madu, kekayaannya akan bertumpuk-tumpuk bagaikan sarang semut yang semakin tinggi.

Dengan kekayaan yang diperoleh dengan cara demikian, seorang upasaka pantas untuk suatu kehidupan berumah tangga. Ia membagi kekayaannya atas empat bagian. Dengan demikian ia akan mendapat persahabatan.

Satu bagian untuk keperluannya sendiri, Dua bagian untuk menjalankan usahanya.Bagian keempat disimpan sebagai cadangan.Dan cara bagaimanakah, duhai kepala keluarga yag muda belia, siswa yang Ariya melindungi enam arah itu?

Keenam arah itu harus dipandang sebagai berikut:

1. Ibu dan ayah sebagai arah timur;
2. Para guru sebagai arah selatan;
3. Istri dan anak sebagai arah barat;
4. Sahabat dan kawan sebagai arah utara;
5. Pelayan dan buruh sebagai arah bawah;
6. Petapa dan brahmana sebagai arah atas.

Dalam lima cara seorang anak memperlakuklan orang tuannya sebagai arah timur:

1. Dahulu aku ditunjang oleh mereka, sekarang aku kaan menjadi penunjang mereka.
2. Aku akan menjalankan kewajibanku terhadap mereka;
3. Aku akan pertahankan kehormatan keluargaku;
4. Aku akan mengurus warisanku;
5. Aku akan mengatur pemberian sesaji kepada sanak keluargaku yang telah meninggal.

Dalam lima cara orang tua yang diperlalukan demikian, sebagai arah timur menunjukkan kecintaan mereka kepada anak-anaknya:

1. Mereka mencegah ia berbuat kejahatan;
2. Mereka mendorong supaya ia berbuat baik;
3. Mereka melatih ia dalam suatu pekerjaan;
4. Mereka melaksanakan perkawinan yang pantas bagi anaknya;
5. Dan menyerahkan warisan pada waktunya.

Demikianlah arah timur terlindung untuknya, dibuat aman dan terjamin.

Dalam lima cara siswa-siswa harus memperlakukan guru mereka sebagai arah selatan:

1. Dengan bangun dari tempat duduk mereka (memberi hormat);
2. Dengan melayani mereka
3. Dengan tekad baik untuk belajar;
4. Dengan memberikan persembahan kepada mereka;
5. Dan dengan memberikan perhatian sewaktu diberi pelajaran.

Dan dalam lima cara, guru akan diperlakukan demikian sebagai arah selatan akan berbuat kepada murid-muridnya:

1. Mereka melatih siswa itu sedemikian rupa, sehingga ia terlatih
dengan baik.
2. Mereka membuat ia menguasai apa yang telah diajarkan;
3. Mereka mengajarkan secara mendalam ilmu pengetahuan dan kesenian;
4. Mereka bicara baik tentang muridnya di antara sahabat dan
kawan-kawannya;
5. Mereka melengkapi muridnya demi keamanan dalam setiap arah.

Demikianlah arah selatan terlindungi untuknyua, dibuat aman dan terjamin.

Dalam lima cara seorang isteri harus diperlakukan sebagai arah barat oleh suaminya:

1. Dengan perhatian;
2. Dengan keramah-tamahan;
3. Dengan kesetiaan;
4. Dengan menyerahkan kekuasaan kepadanya;
5. Dengan memberikan barang-barang perhiasan kepadanya.

Dalam lima cara ini sang isteri membalas cinta suaminya sebagai arah barat:

1. Kewajiban-kewajibannya dilakukan dengan sebaik-baiknya
2. Berlaku ramah-tamah kepada sanak keluarga dari kedua pihak;
3. Dengan kesetiaan
4. Menjaga barang-barang yang ia bawa
5. Pandai dan rajin mengurus segala pekerjaan rumah tangga.

Demikianlah arah barat ini terlindung untuknya, dibuat aman dan terjamin.

Dalam lima cara anggota keluarga memperlakukan sahabat dan kawannya sebagai arah utara:

1. Dengan murah hati;
2. Ramah tamah;
3. Berbuat untuk kebahagiaan mereka
4. Memperlakukan mereka bagaikan memperlakukan diri sendiri.
5. Menepati janji

Diperlakukan dalam lima cara ini, sebagai arah utara, sahabat dan kawan-kawan akan mencintainya:

1. Melindunginya, jika ia tidak siaga.
2. Dan dalam keadaan yang demikian menjaga harta bendanya;
3. Dalam bahaya ia dapat berlindung pada mereka;
4. Mereka tidak akan meninggalkan dia dalam kesulitan;
5. Mereka menghormati keluargannya.

Demikianlah arah utara terlindung untuknya, dibuat aman dan terjamin.

Dalam lima cara majikan akan memperlakukan pelayan dan buruhnya sebagai arah bawah:

1. Memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan mereka;
2. Memberikan makanan dan upah kepada mereka;
3. Merawat mereka sewaktu sakit;
4. Membagi mereka makanan yang istimewa;
5. Memberikan mereka liburan pada waktu tertentu.

Diperlakukan dalam lima cara itu, pelayan dan pekerja akan menjunjung majikan mereka dalam lima cara:
  1. Mereka bangun lebih pagi daripada majikan mereka;
  2. Mereka beristirahat setelah majikan mereka beristirahat;
  3. Mereka puas dengan apa yang diberikan kepada mereka;
  4. Mereka melakukan kewajiban mereka dengan baik;
  5. Dimana saja mereka akan memuji majikan mereka. 
 Demikianlah arah barat terlindung untuknya, dibuat aman dan terjamin.

Ada lima cara seorang anggota keluarga harus memperlakukan para samana dan brahmana sebagai arah atas:

1. Dengan perbuatan yang ramah tamah;
2. Dengan ucapan yang ramah tamah;
3. Dengan pikiran yang bersih;
4. Membuka pintu bagi mereka;
5. Memberikan mereka keperluan hidup.

Diperlakukan demikian sebagai arah atas, para samana (petapa) dan brahmana memperlakukan para anggota keluarga itu dalam enam cara:
  1. Mereka mencegah anggota keluarga melakukan kejahatan;
  2. Mereka menganjurkan ia berbuat kebaikan;
  3. Pikiran mereka selalu terjaga terhadapnya;
  4. Mereka ajarkan apa yang belum pernah ia dengar;
  5. Mereka memperjelas apa yang telah ia dengar;
  6. Mereka menunjukkan jalan kehidupan ke surga.
Dalam enam cara ini para petapa dan brahmana memperlihatkan cinta-kasih mereka kepada gharavasa.

Demikianlah arah atas melindungi mereka, dibuat aman dan terjamin."

Demikianlah sabda Sang Bhagava. Setelah Sang Bhagava bersabda demikian, kemudian Beliau bersabda lagi:

"Ibu dan ayah adalah arah timur. Dan guru-guru adalah arah selatan. Isteri dan anak-anak arah barat. Sahabat dan kerabat arah utara. Pelayan dan buruh arah bawah Dan arah atas adalah para petapa dan brahmana. Orang yang menjalani kehidupan berkeluarga harus menghormati keenam arah ini.

Orang yang bajik dan bijaksana, Lemah lembut dan sungguh-sungguh Rendah hati dan penurut, Ia yang demikian akan memperoleh kehormatan.

Ia yang bersemangat dan tidak malas Tidak tergoncang oleh kemalangan Perilaku yang tidak tercela dan cerdas, Ia yang demikian akan memperoleh kehormatan.

Orang yang ramah dan bersahabat, Terbuka dan tidak mementingkan diri sendiri, Seorang penurut, penasihat, pemimpin, Ia yang demikian akan memperoleh kehormatan.

Dermawan, ucapan yang ramah, Hidup penuh pengabdian, Berada di atas semua golongan. Selama keadaan menghendakinya

Empat jalan kemenangan ini membuat dunia berputar seperti pisau pasak pada kereta yang berjalan.

Jika hal ini ada di dunia, tiada seorang ibu maupun seorang ayan yagn akan mendapat penghargaan dan penghormatan dari anak mereka sendiri.

Oleh karena empat jalan-kemenangan ini dipuji oleh para bijaksana dalam berbagai cara; kemuliaan yang akan mereka capai dan pujian yang sudah sepantasnya mereka peroleh"

Setelah Sang Bhagava bersabda demikian, Sigala, kepala keluarga yang muda belia, berkata demikian:

"Indah, Bhagava, Indah!

Sang Bhagava, bagaikan seorang yang telah menegakkan apa yang telah roboh, atau membuka apa yang tersembunyi atau menunjukkan jalan kepada yang telah tersesat, atau membawa mampu ke tempat yang gelap sehingga mereka yang mempunyai mata akan dapat melihat. Demikian juga, dhamma yang telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Sang Bhagava.

Saya berlindung kepada Sang Bhagava, kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima saya sebagai siswa, sebagai seorang yang telah berlindung sejak hari ini sampai akhir hayat."